Setelah mengatakan semua yang ada di hatinya, Maira pun keluar dari ruang Nathan. Matanya mendelik ke arah pintu sambil mengepalkan tangannya.
Tanpa dia sadari buliran air mata pun menetes begitu saja, bohong kalau dia bisa menghindar dari Nathan. Apa lagi hubungan yang terjalin di antara keduanya pun cukup lama dan tak semudah itu melupakannya. "Argh sial, kenapa aku terjebak di sini?" gumamnya sembari menyeka air mata yang terus menerus. Meski masih baru menjadi sekretaris Nathan dengan sistem yang berbeda tetap saja mudah bagi Maira untuk mempelajari semuanya meski tak ada yang menjelaskan kepadanya. Pengalaman sebagai sekretaris saat bekerja di Singapura pun membuat Maira tak seperti anak baru di kantor barunya. “Ehm … permisi.” Maira mendongak melihat wajah Devan yang tersenyum menatapnya. “Sudah waktunya makan siang, bagaimana kalau kita makan siang bersama?” Maira melihat jam yang menunjukkan pukul dua belas kemudian beranjak dari kursinya. Tanpa menjawab ucapan Devan, dia pun berjalan lebih dulu. Namun, tepat melewati ruang Nathan tiba-tiba saja pintunya terbuka. “Hai, Bos. Mau makan siang?” sapa Devan berbasa basi. Nathan hanya bergumam lalu berjalan masuk ke dalam lift lebih dulu di ikuti Maira dan Devan. “Makanan apa yang kamu suka?” bisik Devan. “Apa saja, aku suka semua makanan yang penting bukan racun.” Devan pun tertawa mendengar ucapan Maira. “Baiklah kalau begitu bagaimana kalau kita makan di kantin bawah.” Maira hanya mengangguk dan kembali fokus dengan ponsel yang ada di tangannya. "Aku dengar dari Tante kalau kamu masih jomblo," tutur Devan dengan santai. Jemari Maira pun terhenti saat berselancar di atas ponselnya. "Apa masalah pribadiku sangat menarik untukmu. Kenapa kamu nggak cari tahu juga siapa mantan kekasihku?" cibir Maira sembari melirik ke arah Nathan dan menunggu reaksinya. "Mantan ...? Ah, aku juga harus mencari tahu soal itu." "Iya, akan menarik kalau kamu bisa tahu siapa mantan kekasihku," sahut Maira. “Ehm, Devan bukannya ada yang harus kita bahas?” sela Nathan mencoba mengalihkan pembicaraan keduanya seolah tak ingin rahasianya terbongkar. Seketika Devan pun terdiam seolah sedang memikirkan sesuatu. “Sepertinya nggak ada lagi yang perlu kita bahas, semua sudah aku email,” jelasnya. Pintu lift pun terbuka, Maira melangkahkan kaki lebih dulu tanpa rasa hormat ke atasannya. “Jangan ganggu hubunganku dengan dia, oke!” Devan menyeringai sambil menepuk pundak Nathan. *** Sudut bibir Nathan terangkat, matanya masih memandangi punggung mantan kekasihnya itu. "Dasar wanita bodoh!" gumamnya. “Hai, Nathan.” Seorang wanita berparas cantik berjalan mendekatinya. “Selly, bukannya kita kencan nanti sore?” “Memangnya aku nggak boleh datang ke kantor kamu. Lagi pula kencan itu formalitas, tanpa kencan kita juga akan menikah kan,” ucapnya sambil merangkul lengan Nathan. “Aku lapar, kita makan, yuk!” Nathan pun menyingkirkan tangan Selly dari lengannya. “Kita makan di luar saja.” Wanita itu pun tersenyum lalu berjalan beriringan dengan Nathan. Sesekali dia melirik Nathan seolah mencari celah agar bisa menarik perhatiannya. “Tadi aku lihat Devan bersama seorang wanita. Apa itu kekasihnya?” “Bukan, mereka hanya rekan kerja.” “Benarkah, kalau begitu bagaimana kalau Devan kita jodohkan saja dengan temanku.” Nathan pun berbalik menatap Selly. “Jangan menjodohkan orang lain. Biarkan dia mencari kebahagiaannya sendiri.” Nathan lalu masuk ke dalam mobil. “Bukannya kita juga dijodohkan, tapi aku senang dijodohkan denganmu.” Tak menjawab, Nathan menginjak pedal gas— mengemudikan mobilnya dengan kencang. Sepanjang perjalanan Selly terus mengoceh membuat Nathan jengah. Meski begitu, pikirannya masih tertuju pada Maira, dia tak ingin hubungannya dulu diketahui Devan. “Bagaimana kalau pernikahan kita di percepat?” Nathan tak bergeming. “Sayang, kamu mau kan menikah denganku?” “Ini waktu pendekatan kita untuk mengenal satu sama lain. Aku nggak mau menikahi wanita yang sifatnya tak cocok denganku.” Seketika Selly terdiam, ucapan Nathan cukup membuatnya sakit hati. Namun, dia tak mau kehilangan kesempatan untuk menikah dengan pria kaya yang bisa memenuhi kebutuhannya. “Ehm, memangnya wanita seperti apa yang kamu suka?” Mendengar ucapan Selly, Nathan pun menggambarkan wanita yang dia impikan. “Tinggi 160cm, tubuh mungil tapi berisi, bermata coklat, senyumnya sangat manis, berkepribadian menarik dan cantik tentunya.” “Apa kamu sudah bertemu dengan wanita seperti itu atau itu hanya akal-akalan kamu untuk menghindariku?” “Aku bahkan berkencan dengan wanita seperti itu.” Kesal, Selly pun membuang muka tak ingin membahas lagi wanita yang cukup membuatnya insecure. “Apa kamu dan wanita itu masih memiliki hubungan?” Nathan berdecak lalu menjawab, “Kita sudah putus.” Sudut bibir Selly terangkat. “Syukurlah. Aku yakin wanita itu mendapatkan pria yang lebih tampan darimu.” “Tampan?” gumam Nathan. Dia lalu ingat jika saat ini Maira sedang makan siang bersama Devan. Dengan cepat Nathan memutar setirnya untuk kembali ke kantor. “Sayang, bukannya kita mau makan?” “Aku lupa ada pekerjaan yang harus aku kerjakan sebelum meeting jam dua nanti.” “Terus aku gimana?” “Kamu pulang saja, bukannya kamu bawa mobil?” “Kalau aku menolak pulang bagaimana?” “Maksudmu?” “Biarkan aku menemanimu di kantor. Aku janji tak akan mengganggu pekerjaanmu. Aku akan menunggumu di ruang kerjamu dengan patuh.” Tidak ingin memikirkan hal yang bukan-bukan, Nathan pun tak ambil pusing dengan permintaan Selly hingga akhirnya mobil yang dikemudikan sampai di depan lobi. Langkah Nathan melambat saat melihat punggung Maira yang berjalan ke arah lift. “Dia sudah makan, lalu dimana Devan?” batinnya. Nathan melirik ke arah Maira yang sedang berdiri di sampingnya. “Sayang ….” Maira menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang wanita yang bergelayut manja di lengan Nathan. Mereka pun masuk ke dalam lift. Nathan dan Selly sengaja berdiri di belakang Maira melewatinya begitu saja. “Atur jadwal meeting, aku ingin meeting jam setengah satu,” jelas Nathan. Maira hanya melirik, dia tahu saat ini Nathan sedang bicara dengannya kemudian menjawab, “Baik, Pak.” Hawa panas pun menjalar di tubuh Maira, bohong kalau dia tak cemburu melihat Nathan dengan mudahnya mendapatkan wanita baru. Tepat saat pintu lift terbuka Maira keluar lebih dulu, tapi langkahnya terhenti lalu berbalik. “Untuk laporan penjualan sudah di email dan berkasnya akan aku simpan di atas meja Bapak, tolong segera ditandatangani.” “Oke.” Selly yang melihat tingkah Maira pun sedikit kesal karena tak ada rasa hormat sama sekali ke atasannya itu. “Siapa wanita itu, apa dia sekretarismu?" "Iya," jawab Nathan singkat. "Kaku sekali, bukannya sekretaris itu harus hormat ke atasannya, kenapa tingkah seperti itu ke atasan, nggak sopan?” “Dia keponakanku.” “Apa?”Pelukan Nathan semakin erat, Maira hanya diam merasakan aroma tubuh pria yang begitu dia rindukan. Perlahan Nathan mengurai pelukannya, menatap kedua mata Maira dalam-dalam. Tanpa aba-aba, Nathan mencium bibir Maira. Mencurahkan kerinduannya yang beberapa hari ini tak bisa dia luapkan. “Aku akan menikah,” ucap Maira saat bibir keduanya perlahan menjauh. “Menikah?” “Hm, aku akan menikah dengan Devan,” jawab Maira sekenanya sambil melihat reaksi pria yang ada di hadapannya. Namun, pria itu hanya diam seolah tak bisa mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. “Jadi mulai sekarang jaga sikapmu karena sebentar lagi aku akan menjadi istri dari keponakanmu." "Apa kamu serius?" tanya Nathan meyakinkan diri. "Apa wajahku terlihat main-main?" Seketika Nathan tertawa. "Ayolah, hubungan kalian nggak akan berjalan dengan mulus." "Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?" "Karena aku tahu siapa Tanteku sebenarnya. Dia hanya akan memanfaatkanmu saja, apa lagi sekarang kamu seorang C
Perlahan aku membuka mata saat mendengar seseorang masuk ke dalam kamar.“Mbak Aisyah sudah sadar,” ucap Aira. Aku pikir Mas Arya yang datang ternyata Aira menampilkan senyuman yang biasa dia tunjukkan.“Mbak mau minum atau makan sesuatu? Aku panggilkan Dokter dulu ya.”Sengaja aku membiarkan dia mengoceh tak mau menimpali ucapannya. Tak lama terdengar suara Mas Arya membuatku sedikit lega.Namun, bukan hanya Mas Arya yang datang tetapi mertuaku juga ikut masuk bersama Abyan.“Sayang, kamu sudah sadar?”“Iya, Mas,” jawabku lalu menoleh ke arah mertuaku. Bukannya menyapaku wanita paruh baya itu malah sibuk bermain dengan Abyan.“Aisyah, syukurlah kalau kamu baik-baik saja,” ucap ayah mertua yang mengalihkan perhatianku.“Iya, Ayah. Maaf sudah merepotkan.”Ayah hanya tersenyum lalu duduk di sofa. Bukannya ingin disapa ibu mertuaku, hanya saja wanita itu benar-benar tak menaruh perhatian untukku.“Ibu,” panggil Abyan.Suara pintu terbuka mengalihkan semua perhatian yang ada di sana. Tak
Keduanya saling bertatapan, sebelum akhirnya Maira beranjak dari sofa lalu keluar dari apartemen Nathan. Dijadikan pemuas nafsu, membuat Maira geram. Angannya terlalu jauh, dia pikir bisa mengambil hati Nathan dan merubah arah pikirannya. Ternyata selama ini dia salah, tetap saja dia akan di buang jika waktunya tiba. Pagi harinya, Maira sudah siap dengan setelan kerja berwarna putih yang membalut tubuhnya. Tak lupa dia mengkerli rambutnya agar terlihat bergelombang. Saat melewati pintu apartemen Nathan dia berpura-pura tak melihat lalu masuk ke dalam lift. “Devan,” ucap Maira terkejut melihat pria itu tengah berdiri tepat saat pintu lift terbuka. “Hai.” Maira masuk ke dalam lift yang sama menuju basement apartemen. “Beberapa hari nggak ketemu banyak sekali perubahan,” puji Maira. “Berubah menjadi tampan kan? Aku yakin penampilanku ini bisa meluluhkan hatimu,” ungkapnya panjang lebar. Maira tertawa mendengar candaan yang biasa Devan ucapkan. “Hm, kamu terlihat
Maira terus mengetuk jemarinya di atas meja. Hari sudah larut tapi dia begitu gelisah dan tak bisa tidur.Dia terus melihat layar ponsel berharap Nathan menghubunginya. Namun pria itu sama sekali tak memberi kabar bahkan mengabaikan pesannya.“Apa aku ke rumahnya saja? Tapi kalau aku ke sana, ada si rubah betina yang juga tinggal di rumah itu,” gumamnya.Tak karuan, Maira pun memilih keluar dari dalam kamar untuk mencari angin. Namun, tepat saat dia membuka pintu pria yang sedari tadi dia tunggu sedang duduk di sofa.“Kapan kamu datang?” tanya Maira seraya duduk di samping Nathan.“Barusan, aku pikir kamu sudah tidur,” jawabnya.Maira menyandarkan kepalanya di bahu Nathan, merasakan aroma tubuh pria yang dia rindukan akhir-akhir ini.“Sepertinya Selly tak meninggalkan parfum ditubuhmu,” cibir Maira.“Sebelum ke sini aku sudah mandi untuk menghilangkan jejak dia.”Ucapan Nathan cukup membuat Maira memicingkan matanya. Dia lalu bergeser seolah tak ingin bersentuhan dengan Nathan.“Aku
Suara dentuman pintu begitu nyaring terdengar seolah meluapkan emosi. Iya, Maira begitu kesal karena Adi berani mengancamnya dengan foto dirinya dan Nathan.“Sial, ternyata dia memata-mataiku. Apa dia masih punya foto lain? Argh, kenapa aku harus berurusan dengan dia,” kesal Maira.Tak tinggal diam Maira pun menghubungi Nathan. Terdengar suara sambungan telepon yang terhubung.[Halo.]“Kamu di mana, ada yang ingin aku bicarakan?”[Aku lagi di luar. Apa itu sangat penting? Kalau nggak kita bisa bicara lewat telepon.]“Ini tentang Selly dan dalang di balik semuanya,” ungkap Maira.[Maksudmu?]“Ternyata ada seseorang yang memata-matai kita, bahkan dia yang memberitahu Selly soal hubungan kita.”[Oh begitu.]Maira sedikit menggeser teleponnya tak menyangka dengan respon Nathan yang terdengar biasa saja.“Kamu dengar aku kan?”[Hm, kita bicara nanti.]Setelah mengatakan itu Maira terlihat sangat kesal hingga mengumpat tak jelas.Sementara itu di tempat lain, Nathan sedang duduk bersama se
Suasana terasa canggung saat Toni keluar dari ruang kerja Maira, meninggal mereka berdua.Maira kembali ke meja kerjanya membiarkan ibu tirinya itu berdiri di ambang pintu.“Apa ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Maira sinis.Mila berdecak tak percaya, sifat Maira berubah seketika saat mereka hanya berdua.“Ternyata sikapmu bisa berubah seketika.”“Aku mencoba menirumu. Bukannya kamu juga seperti itu, di depan Papa dan Nathan terlihat seperti Ibu Peri sedangkan saat nggak ada mereka wajah iblis-mu di perlihatkan,” cibir Maira tak kalah pedas.Mila berjalan mendekati Maira menatapnya dengan sinis. “Kamu sama sekali nggak mengenalku, Maira. Aku bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.”“Uuhhh … takut. Lakukan apa yang kamu inginkan, tapi perlu kamu ingat kalau tembok saja punya telinga.”Mila mengepalkan tangannya dia lalu berbalik meninggalkan Maira begitu saja.“Dasar rubah betina, kamu pikir aku takut dengan ancamanmu,” gumam Maira.Dia lalu mengambil