Maira yang tak suka berbasa-basi memilih mengabaikan perasaan pria yang baru saja dia kenal.
Bukannya marah, Devan malah tersenyum lalu keluar dari lift lebih dulu. "Ini meja kerjamu. Apa kamu tahu pekerjaanmu apa?" "Entah, apa pun pekerjanya yang penting aku nggak kerja dengan atasanmu." Devan kembali menyunggingkan senyum. "Tapi sayangnya kamu akan selalu menempel dengan atasanku. Mulai hari ini kamu akan menjadi sekretaris Pak Nathan dan ini semua jadwal kerjanya," jelas Devan sembari memberikan tab ke hadapan Maira. Sekretaris? bagaimana bisa dia menjadi sekretaris mantan kekasihnya. "Apa ini rencana Mila untuk menjebakku," batin Maira. "Apa di sini nggak ada lowongan pekerjaan yang lain?" "Untuk saat ini hanya membutuhkan sekretaris. Aku dengar sebelumnya kamu juga menjadi sekretaris di sebuah perusahaan besar." "Wah, sepertinya rubah betina itu memberikan profil lengkap tentangku." "Rubah betina, maksudmu?" tanya Devan bingung. "By the way berapa usiamu?" Maira mengambil tab dari tangan Devan lalu duduk di kursinya. "Berhentilah berbasa-basi, bukannya kamu sudah tahu berapa usiaku?!" Devan menelan ludah, dia tak menyangka keramahtamahannya itu tak dianggap oleh wanita yang baru dia kenal. Ditengah ketegangan itu suara ketukan sepatu mencuri perhatian keduanya. Maira segera memalingkan wajahnya saat melihat pria yang tak ingin dia lihat berjalan ke arahnya. "Selamat pagi Pak. Tumben sekali datang pagi biasanya datang pas jam makan siang," goda Devan. "Oh ya, ini Maira sekretaris baru Bapak." Bukannya menjawab, Nathan hanya mendengus lalu masuk ke dalam ruang kerjanya diikuti Devan. "Wanita itu, kenapa kamu nggak menyapanya?" "Aku sudah bertemu dengan dia kemarin." "Bertemu dengan dia, kemarin? Ah ... jangan-jangan kamu membatalkan acara makan siang dengan Selly karena ingin bertemu dengan Maira?" Nathan mengangkat kepala. "Tutup mulutmu, aku membatalkan acara itu karena urusan bisnis." "Benarkah? Apa Maira sudah punya kekasih?" Tiba-tiba Nathan menghentikan aktivitasnya lalu menoleh ke arah Devan. "Sebaiknya kamu kerja, selama di sini aku akan mengawasimu." Pria itu pun berdecak kemudian mendekati Nathan. "Jangan dekati milikku." "Milikmu?" "Iya, Maira. Aku akan mendekatinya. Sebagai Kakak yang baik sebaiknya kamu mendukung hubunganku dengan keponakan kita itu." "Apa?" Nathan hanya diam menatap adik sepupunya itu. Bagaimana bisa dia ingin mengencani mantan kekasihnya yang tiba-tiba menjadi keponakannya itu. "Apa kamu serius ingin berkencan dengan dia?" "Iya, sepertinya dia tipeku. Cantik, berpendidikan, susah di sentuh. Sepertinya mendekati Maira akan membuatku semakin bergairah." Devan menyeringai kemudian pergi dari ruangan Nathan. Dengan kesal dia pun menggebrak meja lalu duduk di kursinya. "Sial, kenapa aku harus terlibat dengan Maira," gumamnya. Suara ketukan mengalihkan perhatian Nathan. "Permisi." Dari suaranya saja Nathan tahu jika itu suara Maira. Wanita itu pun masuk ke dalam ruangan lalu membuka buku kecil yang diberikan Devan. "Aku akan menyampaikan jadwal Bapak hari ini. Jam 11.00 ada meeting dengan para staf, jam 14.00 pergi ke rumah sakit dan jam 18.00 kencan dengan Cindy." "Hm." Hanya itu jawaban Nathan dan cukup membuat Maira kesal. "Sebentar, apa aku juga harus mengurus jadwal kencanmu?" "Iya ... kenapa, kamu keberatan? Kalau kamu nggak suka kamu bisa keluar dari sini!" hardik Nathan seolah menantang Maira. Seketika wajah Maira berubah. "Dengar, selama aku bekerja sebagai sekretaris aku nggak pernah mengurusi urusan pribadi atasanku. Kalau kamu ingin aku melakukannya harusnya kamu membayar gaji tambahan untukku." Sebisa mungkin Maira berusaha untuk tak peduli dan terlihat cemburu dengan kehidupan mantan kekasihnya itu. "Kamu tenang saja, aku akan membayarmu." Maira berdecak, bahkan dia tidak tahu berapa gaji yang ditawarkan olehnya. Setelah mengatakan itu Maira pun berbalik ke arah pintu. "Tunggu, Maira. Kita harus bicara." Detik demi detik terus bergulir, Maira hanya diam sambil menunggu Nathan mulai berbicara. Namun, sayangnya menit demi menit pun berlalu begitu cepat hingga akhirnya Maira pun jengah karena terlalu lama berdiri. “Kalau nggak ada yang ingin disampaikan sebaiknya aku kembali ke mejaku. Permisi ….” “Aku belum bicara,” ucapnya menghentikan langkah Maira. Dia pun kembali berbalik menatap mantan kekasihnya yang kini sudah jadi atasannya itu. “Kalau itu penting cepatlah bicara.” “Berpura-puralah kita tak saling mengenal.” Maira berdecak mendengar ucapan Nathan. “Apa selama ini aku terlihat akrab denganmu? Aku bahkan nggak sudi melihat wajahmu, kalau saja Papa dan wanita itu tak menyuruhku bekerja denganmu mungkin saat ini aku sudah menghindarimu lebih dulu.” Nathan menyeringai lalu berucap, “Baguslah, aku harap kamu bisa profesional saat kerja di sini," jelasnya. “Kamu tenang saja, aku bahkan tak mau tau lagi tentangmu.”Pelukan Nathan semakin erat, Maira hanya diam merasakan aroma tubuh pria yang begitu dia rindukan. Perlahan Nathan mengurai pelukannya, menatap kedua mata Maira dalam-dalam. Tanpa aba-aba, Nathan mencium bibir Maira. Mencurahkan kerinduannya yang beberapa hari ini tak bisa dia luapkan. “Aku akan menikah,” ucap Maira saat bibir keduanya perlahan menjauh. “Menikah?” “Hm, aku akan menikah dengan Devan,” jawab Maira sekenanya sambil melihat reaksi pria yang ada di hadapannya. Namun, pria itu hanya diam seolah tak bisa mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. “Jadi mulai sekarang jaga sikapmu karena sebentar lagi aku akan menjadi istri dari keponakanmu." "Apa kamu serius?" tanya Nathan meyakinkan diri. "Apa wajahku terlihat main-main?" Seketika Nathan tertawa. "Ayolah, hubungan kalian nggak akan berjalan dengan mulus." "Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?" "Karena aku tahu siapa Tanteku sebenarnya. Dia hanya akan memanfaatkanmu saja, apa lagi sekarang kamu seorang C
Perlahan aku membuka mata saat mendengar seseorang masuk ke dalam kamar.“Mbak Aisyah sudah sadar,” ucap Aira. Aku pikir Mas Arya yang datang ternyata Aira menampilkan senyuman yang biasa dia tunjukkan.“Mbak mau minum atau makan sesuatu? Aku panggilkan Dokter dulu ya.”Sengaja aku membiarkan dia mengoceh tak mau menimpali ucapannya. Tak lama terdengar suara Mas Arya membuatku sedikit lega.Namun, bukan hanya Mas Arya yang datang tetapi mertuaku juga ikut masuk bersama Abyan.“Sayang, kamu sudah sadar?”“Iya, Mas,” jawabku lalu menoleh ke arah mertuaku. Bukannya menyapaku wanita paruh baya itu malah sibuk bermain dengan Abyan.“Aisyah, syukurlah kalau kamu baik-baik saja,” ucap ayah mertua yang mengalihkan perhatianku.“Iya, Ayah. Maaf sudah merepotkan.”Ayah hanya tersenyum lalu duduk di sofa. Bukannya ingin disapa ibu mertuaku, hanya saja wanita itu benar-benar tak menaruh perhatian untukku.“Ibu,” panggil Abyan.Suara pintu terbuka mengalihkan semua perhatian yang ada di sana. Tak
Keduanya saling bertatapan, sebelum akhirnya Maira beranjak dari sofa lalu keluar dari apartemen Nathan. Dijadikan pemuas nafsu, membuat Maira geram. Angannya terlalu jauh, dia pikir bisa mengambil hati Nathan dan merubah arah pikirannya. Ternyata selama ini dia salah, tetap saja dia akan di buang jika waktunya tiba. Pagi harinya, Maira sudah siap dengan setelan kerja berwarna putih yang membalut tubuhnya. Tak lupa dia mengkerli rambutnya agar terlihat bergelombang. Saat melewati pintu apartemen Nathan dia berpura-pura tak melihat lalu masuk ke dalam lift. “Devan,” ucap Maira terkejut melihat pria itu tengah berdiri tepat saat pintu lift terbuka. “Hai.” Maira masuk ke dalam lift yang sama menuju basement apartemen. “Beberapa hari nggak ketemu banyak sekali perubahan,” puji Maira. “Berubah menjadi tampan kan? Aku yakin penampilanku ini bisa meluluhkan hatimu,” ungkapnya panjang lebar. Maira tertawa mendengar candaan yang biasa Devan ucapkan. “Hm, kamu terlihat
Maira terus mengetuk jemarinya di atas meja. Hari sudah larut tapi dia begitu gelisah dan tak bisa tidur.Dia terus melihat layar ponsel berharap Nathan menghubunginya. Namun pria itu sama sekali tak memberi kabar bahkan mengabaikan pesannya.“Apa aku ke rumahnya saja? Tapi kalau aku ke sana, ada si rubah betina yang juga tinggal di rumah itu,” gumamnya.Tak karuan, Maira pun memilih keluar dari dalam kamar untuk mencari angin. Namun, tepat saat dia membuka pintu pria yang sedari tadi dia tunggu sedang duduk di sofa.“Kapan kamu datang?” tanya Maira seraya duduk di samping Nathan.“Barusan, aku pikir kamu sudah tidur,” jawabnya.Maira menyandarkan kepalanya di bahu Nathan, merasakan aroma tubuh pria yang dia rindukan akhir-akhir ini.“Sepertinya Selly tak meninggalkan parfum ditubuhmu,” cibir Maira.“Sebelum ke sini aku sudah mandi untuk menghilangkan jejak dia.”Ucapan Nathan cukup membuat Maira memicingkan matanya. Dia lalu bergeser seolah tak ingin bersentuhan dengan Nathan.“Aku
Suara dentuman pintu begitu nyaring terdengar seolah meluapkan emosi. Iya, Maira begitu kesal karena Adi berani mengancamnya dengan foto dirinya dan Nathan.“Sial, ternyata dia memata-mataiku. Apa dia masih punya foto lain? Argh, kenapa aku harus berurusan dengan dia,” kesal Maira.Tak tinggal diam Maira pun menghubungi Nathan. Terdengar suara sambungan telepon yang terhubung.[Halo.]“Kamu di mana, ada yang ingin aku bicarakan?”[Aku lagi di luar. Apa itu sangat penting? Kalau nggak kita bisa bicara lewat telepon.]“Ini tentang Selly dan dalang di balik semuanya,” ungkap Maira.[Maksudmu?]“Ternyata ada seseorang yang memata-matai kita, bahkan dia yang memberitahu Selly soal hubungan kita.”[Oh begitu.]Maira sedikit menggeser teleponnya tak menyangka dengan respon Nathan yang terdengar biasa saja.“Kamu dengar aku kan?”[Hm, kita bicara nanti.]Setelah mengatakan itu Maira terlihat sangat kesal hingga mengumpat tak jelas.Sementara itu di tempat lain, Nathan sedang duduk bersama se
Suasana terasa canggung saat Toni keluar dari ruang kerja Maira, meninggal mereka berdua.Maira kembali ke meja kerjanya membiarkan ibu tirinya itu berdiri di ambang pintu.“Apa ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Maira sinis.Mila berdecak tak percaya, sifat Maira berubah seketika saat mereka hanya berdua.“Ternyata sikapmu bisa berubah seketika.”“Aku mencoba menirumu. Bukannya kamu juga seperti itu, di depan Papa dan Nathan terlihat seperti Ibu Peri sedangkan saat nggak ada mereka wajah iblis-mu di perlihatkan,” cibir Maira tak kalah pedas.Mila berjalan mendekati Maira menatapnya dengan sinis. “Kamu sama sekali nggak mengenalku, Maira. Aku bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.”“Uuhhh … takut. Lakukan apa yang kamu inginkan, tapi perlu kamu ingat kalau tembok saja punya telinga.”Mila mengepalkan tangannya dia lalu berbalik meninggalkan Maira begitu saja.“Dasar rubah betina, kamu pikir aku takut dengan ancamanmu,” gumam Maira.Dia lalu mengambil