LOGINMaira menyeringai saat Nathan keluar dari lift lebih dulu. Namun, sedetik kemudian Maira menghirup oksigen disekitar sebanyak-banyaknya karena merasa sesak didada.
Jujur, jantungnya berdegup kencang saat menatap kedua mata Nathan. Kalau saja dia tidak bisa mengendalikan dirinya mungkin saat itu juga dia sudah mencium bibir mantan kekasihnya itu. Brak! Dentuman pintu menyadarkan Maira dari pikiran liarnya. Dia lalu mengambil tab untuk memeriksa jadwal atasannya itu. “Bali, apa dia juga punya bisnis di Bali?” gumam Maira lalu mengecek semua yang di butuhkan atasannya selama di sana. Setelah memastikan riwayat perjalanan ke Bali, Maira pun pergi ke ruangan Nathan. “Permisi.” Nathan tak bergeming, pandangannya masih fokus ke layar ponselnya. “Hari ini ada jadwal ke Bali untuk mengecek perkembangan pembangunan resort.” “Atur penerbangan nanti sore.” “Baik Pak. Ini berkas pendapatan minggu ini dan dokumen dari beberapa perusahaan yang ingin mengajukan kerjasama dengan perusahaan kita.” “Periksa saja dokumen itu dan analisa perjanjian seperti apa yang diinginkan perusahaan mereka dan keuntungan bagi kita.” “Bukannya itu tugas Devan?” Nathan mengangkat kepalanya— berucap, “Tujuan kamu bekerja di sini itu untuk mengetahui lajur bisnis. Jadi kamu harus belajar semuanya agar tak menyusahkan Papamu nanti.” “Bukankah seharusnya kamu mengajariku lebih dulu?" Nathan menatap Maira dengan tajam. "Gunakan otakmu!" Ucapan Nathan cukup menusuk hati Maira, dengan kasar dia mengambil dokumen lalu kembali ke mejanya. "Sial, beraninya dia meremehkan aku," gumamnya sambil melempar dokumen. Namun, saat dia melihat ponselnya seutas senyum pun terpatri. *** Maira bersiap pulang dengan membawa tab dan tiket penerbangan. Saat melihat pintu ruangan Nathan terbuka dia bergegas menghampirinya. “Ini tiket penerbangan yang Bapak minta, aku juga sudah memesan kamar hotel yang tak jauh dari resort,” jelas Maira. Satu alis Nathan terangkat saat melihat dua tiket penerbangan. “Kenapa ada dua tiket?” “Itu untukku, bukannya aku harus tau lajur bisnis. Sepertinya aku sudah siap untuk mempelajari semuanya. Nathan berdecak, mengabaikan Maira yang tersenyum kepadanya. Di dalam lift keduanya hanya diam, Maira tahu betul jika Nathan tak suka diikuti tapi Maira sudah siap dengan apa yang akan terjadi nanti. Dengan santainya dia masuk ke dalam mobil yang sama dengan Nathan dan duduk di sampingnya. “Perusahaan Nexi memberikan keuntungan yang besar untuk kita dengan perjanjian yang mudah.” “Atur pertemuan dengan mereka.” “Oke.” Maira menyandarkan punggungnya di kursi sambil sesekali melihat Nathan yang sedang sibuk dengan ponselnya. Terlihat pesan masuk dari Selly. [Aku menunggumu di apartemen, kapan kamu pulang?] Seketika Nathan menoleh ke arah Maira yang refleks memalingkan wajahnya seolah tak melihat. 30 menit berlalu mobil mereka sampai di bandara. Maira bersikap profesional dengan mengikuti langkah Nathan di belakangnya. “Kenapa jalanmu lambat sekali?” “Aku hanya bersikap profesional, bukannya sekretaris berjalan di belakang atasan.” “Kita hanya berdua, orang nggak akan tahu kalau kamu sekretarisku.” Maira pun mensejajarkan langkahnya, berjalan beriringan. “Dulu aku ingin sekali berlibur denganmu di Bali.” Nathan tak bergeming. “Menghabiskan waktu berdua, bercocok tanam hingga kakimu lemas.” Nathan sama sekali tak merespon. “Sayangnya … aku sudah nggak tertarik denganmu. Sepertinya bercocok tanam dengan Devan akan menyenangkan.” “Tutup mulutmu!” Segera Maira melipat bibirnya seolah takut dengan ucapan Nathan. Disinilah Maira berada setelah perjalanan 1 jam penerbangan menuju Bali. "Bukannya kita akan meeting, kenapa ke hotel?" "Aku lelah, ganti jadwalnya esok hari." "Baik, Pak. Tapi aku belum memesan kamar." Tanpa bicara Nathan pun berjalan ke resepsionis. Maira hanya menunggu tak berani mengikuti langkah Nathan. "Ayo!" Dia lalu mengikuti Nathan ke kamar yang sudah dia pesan. "Dimana kamarku?" tanya Maira. "Hanya ada satu kamar, aku nggak mau membuang-buang uangku untuk orang sepertimu." "Hah! Yang benar saja, aku ke Bali untuk belajar bisnis denganmu." "Harusnya kamu sudah mempersiapkan semuanya saat kamu pesan dua tiket penerbangan." Maira mulai terprovokasi, dia lalu menyingkirkan tangan Nathan yang menghalangi jalannya. "Baiklah, bukannya kita sudah terbiasa berbagi ranjang. Aku tak masalah jika harus melayanimu seperti saat kita masih bersama." "Dalam mimpimu!" Jengah dengan Maira, Nathan memilih masuk ke dalam kamar mandi. "Sayang, tunggu aku!" teriak Maira menggoda mantan kekasihnya itu.Sepeninggal Devan, Maira hanya diam memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tak hanya Nathan yang hancur, dia pun akan terseret dalam masalah itu. “Haruskah aku bertindak atau biarkan Nathan sendiri yang mengurus semuanya?” gumam Maira refleks berbicara sendiri. Maira mengambil ponselnya— melihat panggilan keluar sebelumnya kemudian menghubungi Nathan. Hingga nada bip terakhir tak juga diangkat oleh Nathan. Maira kembali berusaha menghubungi Nathan dan- “Permisi Bu, ada tamu,” ujar Max hanya menyembulkan kepalanya di sela pintu. Maira tersentak, jantungnya yang sejak tadi berdebar semakin tak karuan. “Tamu, siapa?” Max membuka pintu sedikit lebih lebar. Terlihat buket bunga yang begitu besar menutupi wajah orang yang membawanya. Dari sepatu dan celana yang dia pakai Maira yakin jika dia itu seorang pria. Dia berjalan mendekati Maira sementara Max menutup pintu— meninggalkan mereka berdua. “Nathan …?” Maira bingung, cemas jika pria yang ada di balik bunga itu b
Hujan deras mengguyur sore itu. Di balik kaca mobilnya yang basah, Devan menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Di sana, terpampang foto Nathan dan Maira — tertawa bersama di sebuah kafe, senyum mereka terlihat terlalu akrab, terlalu tulus untuk disebut, “Om dan keponakan.”Jemarinya meremas ponsel itu begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. “Kali ini aku nggak akan mengalah,” gumamnya lirih. “Baiklah, Nathan. Kita lihat siapa yang akan dipilih Maira.”Meski jawabannya sudah jelas, Devan tak gentar bersaing dengan Nathan. Apa lagi hubungan terlarang mereka pasti akan menghancurkan kedua belah pihak dan menumbangkan salah satunya.Tangannya berselancar di atas layar ponsel mengetik sesuatu dengan cepat.[Kirimkan semua bukti hubungan Nathan dan Maira malam ini. Jangan sampai ada yang tahu.]Detik berikutnya, notifikasi balasan masuk.[Tenang, bos. Besok pagi semua akan sampai di tangan keluarga besar.]Senyum miring muncul di wajah Devan. Untuk pertama kalinya, dia merasa puas at
Wajah Nathan terasa kebas saat sebuah pukulan mengenai rahangnya. Sorot mata yang tajam terus menatap pria yang ada di depannya. Tanpa mereka sadari banyak pasang mata memperhatikan keduanya.“Apa kamu sudah puas?” tantang Nathan seolah dia menunggu apa yang akan dilakukan sepupunya itu.Dia yakin karyawan yang tidak tahu masalah mereka akan menyalahkan Devan terlebih lagi dia hanya bawahan Nathan.“Lihat semua orang sedang memperhatikanmu,” tutur Nathan membuat Devan menoleh ke sekeliling seketika. “Aku juga penasaran apa lagi yang akan kamu lakukan.”Sudut bibirnya terangkat, terlihat jelas jika dia memang sedang menantang Devan.“Aku nggak menyangka kamu menusukku dari belakang,” geram Devan dengan nada pelan dan dapat di pastikan hanya Nathan yang dengar.“Bukan menusukmu, tapi dari awal Maira memang milikku,” jelas Nathan. “Sadari posisimu, bukankah aku sudah memperingatkan kamu soal Maira.”Tangan Devan terkepal seperti semua emosinya sudah menumpuk di sana.“Kamu tahu kalau aku
Aroma kopi memenuhi ruangan. Maira keluar dari kamar dengan handuk menutupi rambut yang masih basah. Di dapur, Nathan tampak sibuk membuat sarapan. Dengan hanya memakai boxer dan wajahnya fokus menatap panci di depannya, seolah itu hal paling serius di dunia.Maira bersandar di samping meja memperhatikannya diam-diam sambil menahan senyum.“Apa yang kamu masak?” tanya Maira akhirnya.Nathan menoleh, tersenyum kecil. “Ayam lada hitam kesukaan kamu.”Maira tertawa pelan. “Sepertinya sarapan berat.”Nathan menaruh piring di meja, lalu mendekat dengan ekspresi lembut. “Ayo makan, kita harus mengisi banyak tenaga untuk kembali bergulat di atas ranjang.”Maira pun berdecak mendengar ucapan Nathan. Namun, sedetik kemudian wajah Maira muram membuat Nathan bingung.“Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya.“Banyak sekali, sepertinya aku ingin kabur darimu dan dari orang-orang yang membuat hidupku sesak,” jawab Maira menumpu tangannya di meja.Nathan menyuap makanan ke mulutnya. Tanpa menoleh dia ber
Dengan nafas memburu di tengah langkah yang terburu-buru Nathan mengetuk pintu apartemen Maira dengan kasar. Lama tak ada respon, Nathan pun memasukan password yang dia ketahui sebelumnya. “Maira, buka pintunya. Kita harus bicara,” ucap Nathan dengan suara serak. “Aku tahu kamu ada di dalam, cepat buka pintunya Maira!” teriak Nathan. Untungnya di lantai itu hanya apartemen milik Maira dan juga Nathan. Jadi, tidak ada orang yang melihat kegaduhan yang Nathan lakukan. Pria itu kembali mengacak password yang dia ingat hingga akhirnya notif kunci terblokir pun muncul. “Argh, sial. Maira, cepat buka pintunya. Jangan sampai aku menghancurkan gedung ini. Maira …!” Perlahan pintu apartemen pun terbuka. Maira hanya diam memandangi Nathan dengan penampilan yang begitu kacau. Tatapan mereka bertemu, menyulut sesuatu yang sulit diredam. “Apa yang ingin ka-” Belum selesai Maira menyelesaikan kalimatnya, Nathan menarik pinggang dan mencium bibir Maira- mendorong tubuhnya masuk ke da
Kepulan asap rokok meluap ke seisi ruangan. Pandangan Maira hanya tertuju pada lampu bangunan yang ada di depannya sambil menikmati sebatang rokok.Untuk pertama kalinya dia tidur bersama pria selain Nathan. Awalnya Maira ingin memberikan tubuhnya untuk Devan, tetapi saat mereka berada di kamar ingatan akan Nathan muncul di benak Maira. Seketika keintiman itu pun menghilang membuat Maira tak mood bercinta dengan Devan.“Kami belum tidur?” tanya Devan sambil memeluk Maira dari belakang.“Aku nggak bisa tidur di tempat asing,” jawab Maira berkilah.Perlahan Devan merekatkan pelukannya— mencium ceruk leher tunangannya itu.“Tidurlah, ini sudah malam,” ucap Maira yang sebenarnya menolak sentuhan dari Devan.Dengan lembut Devan memutar tubuh Maira agar menghadap ke arahnya.“Aku ingin lebih lama bersamamu,” tutur Devan.“Masih banyak waktu. Lagi pula waktu beristirahat itu sangat penting.”“Kalau begitu kamu juga ikut tidur,” ujar Devan mencoba mengajak Maira untuk tidur.Jemari Maira dian







