Acara ulang tahun nenek tiri Maira pun berjalan dengan meriah. Sambutan dari orang-orang penting di keluarganya cukup membuat suasana semakin terasa dekat.
Namun, tak seperti apa yang di rasakan Maira. Dia hanya diam memandangi papanya yang terlihat begitu bahagia bersama istri barunya. Maira sengaja menjauh dari keramaian, dia tak ingin bergabung dengan keluarga ibu tirinya itu termasuk Nathan. Meski diam, tetapi matanya terus mengawasi orang-orang yang ada di sana. “Kenapa kamu sendirian, bergabunglah dengan keponakan Mama Mila,” ucap Toni. “Jangan sebut nama dia dengan sebutan Mama, dia bukan Mamaku. Lagi pula, mereka bukan sepupuku, aku nggak mau berbasa basi dengan orang-orang yang nggak aku kenal.” Toni menghela nafas kemudian merangkul bahu putri kesayangannya itu. “Dengar sayang, keluarga Mama Mila itu orang-orang penting kalau kamu bergabung dengan mereka banyak pelajaran tentang bisnis yang bisa kamu petik.” “Sayangnya, aku nggak tertarik membicarakan bisnis dengan mereka.” “Benar-benar keras kepala. Ingat waktumu tinggal dua bulan lagi, Papa nggak mau bisnis yang Papa bangun itu hancur karena ketidakmampuanmu.” Maira mengepalkan tangannya lalu berucap, “Papa tenang saja, satu bulan lagi pun aku bisa mengurus bisnis Papa.” Setelah mengatakan itu Maira pun beranjak dari kursi. “Kamu mau kemana?” “Aku bosan, sampaikan salam ke mertua Papa itu. Aku pergi, bye!” Dengan langkah cepat Maira pun keluar dari pesta ulang tahun itu. Namun, tanpa disangka dia kembali bertemu dengan Nathan dan wanitanya. “Maira,” panggil Selly. “Kamu mau pulang, gimana kalau bareng sama kita?” Mata Maira menoleh ke arah mobil yang ada di samping Nathan. “Nggak usah, aku bawa mobil sendiri.” “Tunggu Maira, bolehkah aku meminta nomor ponselmu?” “Apa kita seakrab itu? Aku nggak suka berteman dengan sembarang orang apa lagi orang yang baru aku temui.” Setelah mengatakan itu Maira pun masuk ke dalam mobil, tapi saat akan menutup pintu tangan besar menghalangi pintu. “Haruskah kamu bersikap kasar seperti itu ke Selly?” Maira melirik ke arah Selly lalu beralih ke Nathan. “Apa mengerti perasaan orang lain menjadi pekerjaanku? Dengar kalau kamu nggak mau aku bersikap kasar ke wanitamu harusnya kamu menghalangi dia untuk mendekatiku.” “Apa kamu masih belum bisa melupakan masalah kita?” bisik Nathan. Maira tertawa sambil memukul stir mobilnya. “Dengar baik-baik, aku sama sekali tak tertarik denganmu lagi. Aku hanya muak dengan orang-orang yang berhubungan denganmu.” “Sadarlah Maira, sikapmu itu yang membuatku ingin pisah darimu.” Maira tertegun sesaat sebelum akhirnya dia menepis tangan Nathan yang menghalangi pintu mobilnya. “Urus wanitamu, kalau nggak akan aku hancurkan hubungan kalian.” Setelah mengatakan itu Maira pun mempercepat laju mobilnya dengan kencang. Meskipun ucapan Nathan begitu menyakitkan tapi Maira masih belum bisa melupakan mantan kekasihnya itu. *** Dengan sengaja Maira memakai pakaian yang sedikit terbuka untuk menarik perhatian mantan kekasihnya. Namun, bukan menarik perhatian Nathan tetapi para karyawan pria yang malah tergoda dengan kecantikan Maira. “Aku dengar dia sekretaris baru Pak Nathan,” tutur pria berkemeja putih. “Benarkah, wah beruntung sekali Pak Nathan bisa melihat bidadari sambil kerja,” sahut yang lainnya. Mendengar ucapan para pria itu Miara hanya diam seolah tak memperdulikan mereka. Meski diam masih menginginkan Nathan tapi ucapannya semalam cukup membuat Maira ingin menghancurkan pria itu. "Ehm, permisi." Maira hanya bergeser, mempersilahkan karyawan yang lain masuk ke dalam lift lebih dulu. "Kenapa nggak masuk ke lift, nungguin aku ya?" Maira memutar bola matanya seolah jengah dengan godaan Devan. “Apa kamu nggak lihat kalau liftnya penuh?” sahut Maira. Devan hanya tersenyum lalu berdiri disamping Maira. “Wah, kamu sangat cantik. Ternyata headline di grup kantor itu kamu.” “Maksudmu?” “Hampir semua pria yang ada di kantor ini membicarakanmu, tapi tenang saja mereka hanya memuji kecantikanmu. Argh, semakin banyak saja sainganku.” Maira tertawa melihat ekspresi wajah Devan. “Apa kamu sering menggoda banyak wanita seperti ini?” “Ini bukan godaan tapi fakta, kamu itu sangat cantik, lihat mataku saja sampai berbinar melihatmu.” Setelah sekian lama Maira kini merasakan lagi kehangatan dalam dirinya. Dia tersenyum dengan tulus dan mulai mencair. Ditengah pembicaraan mereka tiba-tiba seseorang menekan tombol pintu lift. “Selamat pagi, Bos!” sapa Devan. Nathan hanya diam, hawa dingin pun menyelimuti dirinya. Ketiganya masuk ke dalam lift. “Nanti siang kita makan bersama,” desis Devan lalu keluar dari lift saat pintu terbuka di lantai 6. Kini hanya Maira dan Nathan di dalam lift itu. Maira pun bersikap acuh berusaha tak mempedulikannya. Namun, tidak dengan Nathan. Dia terus memperhatikan mantan kekasihnya itu dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Tubuh yang indah dengan kemeja putih yang membalut lekuk tubuh Maira tanpa celah ditambah dua kancing yang terbuka seperti sengaja memperlihatkan dadanya yang padat. Bohong jika Nathan tak tergoda, pria normal lainnya pun akan mengeluarkan air liurnya saat melihatnya. Apa lagi rok mini yang terlalu pendek menampilkan paha mulus Maira membuat sesuatu dalam dirinya memberontak. “Lain kali jangan memakai pakaian seperti itu ke kantor.” “Apa pakaianku mencolok matamu? Sepertinya nggak ada peraturan tentang menggunakan pakaian di kantormu.” Kesal, Nathan pun mendorong tubuh Maira hingga terbentur ke dinding lift. Sesaat keduanya saling menatap sebelum akhirnya Nathan mencengkram dagu Maira. “Jaga sikapmu Maira, selama ini aku berbaik hati untuk tidak memecatmu. Kalau saja bukan karena Mbak Mila, mungkin aku sudah menyeretmu keluar dari sini.” Maira tersenyum seolah tak terprovokasi. "Benarkah, bukannya kamu ingin aku berada di sisimu?" "Jangan mimpi!" hardik Nathan, berlalu meninggalkan Maira begitu saja.Setelah pergi bersama ke Bali, Maira yakin jika mantan kekasihnya itu masih menginginkannya. Hanya saja, orang tuanya sudah menjodohkan Nathan dengan wanita lain ditambah status keluarga menjadi penghalang hubungan mereka.Namun, hal itu tak menghalangi niat Maira untuk merebut kembali hati mantan kekasihnya itu.“Americano satu,” ucap pria yang ada di belakang Maira.Mendengar suara yang tak asing baginya, sontak Maira pun menoleh ke sumber suara.“Devan.”“Hai,” sapa Devan. “Kamu pesan apa?”“Aku ….”“Ini pesanannya, ice caramel latte, hot americano dan dua sandwich,” ucap staf sambil menyajikan pesanan Maira.“Wah, ternyata kamu sudah membeli sarapan untukku. Terima kasih,” tutur Devan.Tanpa rasa malu, Devan mengambil alih paper bag yang Maira pegang.Mau tak mau Maira pun membiarkan Devan begitu saja, dia tak mungkin memberi tahu Devan kalau kopi itu untuk Nathan.“Kapan kamu pulang dari Bali?” tanya Devan sambil menyeruput americano.Maira hanya bisa menelan ludah sembari menaha
Maira tertawa melihat wajah Nathan yang tampak begitu kesal melihat kelakuannya. Harusnya dia bersikap dewasa untuk mengambil hatinya kembali seperti yang di inginkan mantan kekasihnya itu. Namun berbanding terbalik, Maira malah seperti menabuh genderang perang dengan Nathan. Senyuman Maira menghilang saat melihat layar ponsel Nathan menyala, di sana terlihat foto wanita yang sebelumnya dia bawa ke acara ulang tahun nenek tirinya. "Wah, jadi dia benar-benar serius dengan wanita itu?" [Sayang, kamu di mana? Aku menunggumu.] Notif pesan muncul dan masih bisa Maira baca tanpa membuka kuncinya. Tak lama wanita itu mengirimkan sebuah gambar yang tak bisa Maira lihat. Penasaran Maira pun mencoba membuka kunci ponsel, tapi paswordnya sudah di ganti.Dia terus mencoba sampai ponselnya benar-benar tak bisa lagi memasukan pasword. Tak lama terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, panik Maira pun menyembunyikan ponsel Nathan lalu berjalan menghampirinya. "Tubuhmu masih basah, biar aku y
Maira menyeringai saat Nathan keluar dari lift lebih dulu. Namun, sedetik kemudian Maira menghirup oksigen disekitar sebanyak-banyaknya karena merasa sesak didada. Jujur, jantungnya berdegup kencang saat menatap kedua mata Nathan. Kalau saja dia tidak bisa mengendalikan dirinya mungkin saat itu juga dia sudah mencium bibir mantan kekasihnya itu. Brak! Dentuman pintu menyadarkan Maira dari pikiran liarnya. Dia lalu mengambil tab untuk memeriksa jadwal atasannya itu. “Bali, apa dia juga punya bisnis di Bali?” gumam Maira lalu mengecek semua yang di butuhkan atasannya selama di sana. Setelah memastikan riwayat perjalanan ke Bali, Maira pun pergi ke ruangan Nathan. “Permisi.” Nathan tak bergeming, pandangannya masih fokus ke layar ponselnya. “Hari ini ada jadwal ke Bali untuk mengecek perkembangan pembangunan resort.” “Atur penerbangan nanti sore.” “Baik Pak. Ini berkas pendapatan minggu ini dan dokumen dari beberapa perusahaan yang ingin mengajukan kerjasama dengan perusa
Acara ulang tahun nenek tiri Maira pun berjalan dengan meriah. Sambutan dari orang-orang penting di keluarganya cukup membuat suasana semakin terasa dekat. Namun, tak seperti apa yang di rasakan Maira. Dia hanya diam memandangi papanya yang terlihat begitu bahagia bersama istri barunya. Maira sengaja menjauh dari keramaian, dia tak ingin bergabung dengan keluarga ibu tirinya itu termasuk Nathan. Meski diam, tetapi matanya terus mengawasi orang-orang yang ada di sana. “Kenapa kamu sendirian, bergabunglah dengan keponakan Mama Mila,” ucap Toni. “Jangan sebut nama dia dengan sebutan Mama, dia bukan Mamaku. Lagi pula, mereka bukan sepupuku, aku nggak mau berbasa basi dengan orang-orang yang nggak aku kenal.” Toni menghela nafas kemudian merangkul bahu putri kesayangannya itu. “Dengar sayang, keluarga Mama Mila itu orang-orang penting kalau kamu bergabung dengan mereka banyak pelajaran tentang bisnis yang bisa kamu petik.” “Sayangnya, aku nggak tertarik membicarakan bisnis den
Dibalut gaun berwarna hitam serta bahu yang sedikit terbuka yang membungkus ketat tubuh Maira, menampilkan kesan seksi. Dia berjalan anggun masuk ke halaman rumah yang belum pernah dia datangi sebelumnya. “Ternyata rubah betina itu orang berada,” batin Maira melihat rumah serta tamu yang datang. “Maira ….” teriak wanita yang melambaikan tangan ke arahnya. “Kenapa dia berteriak,” gumam Maira menatap tajam ke arah Mila dan Toni. Wanita itu tersenyum sambil berjalan menghampirinya. Semua mata tertuju pada Maira, mereka menunjukkan tatapan sinis dan mengintimidasi. “Terima kasih sudah datang, kamu bawa kado untuk Nenek kan?” “Papa nggak bilang kalau aku harus membawa kado.” Mila tersenyum lalu menyelipkan sebuah kotak kecil ke tangan Maira. “Oops, aku sudah mempersiapkan semuanya. Tersenyumlah dan sapa semua keluargaku agar Papamu tak kehilangan muka,” bisiknya. Maira memutar bola matanya— jengah karena harus berpura-pura baik di depan keluarga wanita yang tak dia suka.
Maira hanya diam menatap pemandangan Ibu kota yang begitu cerah nan bising. Selama tinggal di Singapura dia tak pernah merasakan sesepi ini karena ada Nathan. Namun, semuanya berubah saat pria yang begitu dia percaya ternyata meminta mengakhiri hubungannya secara sepihak. “Selamat pagi,” sapa Devan sembari membawakan kopi dan sandwich ke atas mejanya. “Kamu pasti belum makan, jadi aku beli sarapan untukmu.” “Terima kasih, jadi berapa totalnya?” Seketika raut wajah Devan berubah. “Apa aku terlihat seperti pengemis? Aku memberikan ini untukmu karena buy one get one.” “Oh, terima kasih. Tapi kamu nggak perlu repot-repot seperti ini.” “Sama sekali nggak merepotkan,” tuturnya sambil menggeser kursi. “Aku dengar dulu kamu juga bekerja sebagai sekretaris di perusahaan besar?” “Hm,” jawab Maira singkat sambil menikmati sandwichnya. “Apa kamu sudah punya pacar?” Seketika Maira tersedak makanannya, dia lalu meraih botol minumannya— menelan habis sisa makanan yang ada di mulutnya