Langkah demi langkah, Celine menuruni anak tangga marmer yang dingin, kontras dengan panas yang masih terasa membakar kulitnya. Setiap pijakan terasa berat, membawa sisa-sisa teror dan kehinaan dari kamar di lantai atas. Pikirannya masih dipenuhi kilasan tatapan puas Valdi, senyum liciknya yang kini terasa seperti cap kepemilikan yang mengerikan.
Di dasar tangga, sosok mungil Mayang muncul dari arah dapur. Wajahnya yang polos dan ceria langsung teralih menatap Celine, dahi gadis itu sedikit berkerut melihat kondisi Celine yang jelas tidak baik-baik saja – rambut sedikit acak-acakan, tatapan mata yang kosong, dan aura ketakutan yang begitu kentara.
"Kak Celine? Ada apa? Kakak nggak apa-apa?" Mayang mendekat dengan langkah hati-hati, sorot matanya penuh kebingungan dan sedikit khawatir.
Celine tersentak, nyaris
“Tuan…” desah Farah, yang pertama kali tiba. Ia berlutut di samping sofa, tidak menunggu perintah. Tangannya yang lihai langsung meraih kejantanan Valdi yang basah oleh cairan Mayang, dan tanpa ragu, ia melahapnya. Ia menghisap dengan rakus, membersihkan setiap jejak Mayang dengan lidahnya, seolah ingin menegaskan bahwa kini gilirannya.Mayang, yang terkulai lemas di pangkuan Valdi, hanya tertawa kecil melihat tingkah Farah. Ia tidak cemburu. Di dunia ini, semua adalah milik Valdi, dan semua melayani Valdi.Valdi menggeram, tangannya mencengkeram rambut Farah. Namun, matanya tertuju pada Lana dan Ella yang kini berdiri di hadapannya. “Kalian berdua,” perintahnya, suaranya serak. “Naik ke sofa. Aku ingin kalian saling memuaskan. Aku ingin melihatnya.”Lana dan Ella sal
Farah dan Ella, seolah menerima perintah tak terucap, mereka berdua menoleh ke arah Intan dengan penuh kebencian, namun dengan raut yang menggairahkan. Valdi, dengan tatapan sayu, kini tengah melahap payudara Farah yang montok, sementara tangan kirinya yang bebas menusuk dan mengaduk liang basah Farah yang berkedut. Di sisi lain, tangan kanannya tak kalah sibuk, mencengkeram dan memeras batang kecil Ella yang menegang, membuat gadis trans itu melenguh panjang, matanya memutar ke belakang.“Di sini,” lanjut Mayang, suaranya melenguh panjang saat pinggulnya bergetar hebat, merasakan puncaknya sendiri mulai mendekat, “Om Valdi… ahhh… mendapatkan semua yang ia inginkan. Setiap hasratnya terpenuhi. Setiap keinginannya adalah hukum. Ia hanya perlu menikmati. Selamanya.”Inta
Di tengah ruangan, di atas singgasananya—sebuah sofa kulit hitam raksasa—duduklah Valdi. Ia bukan lagi pria sakit yang terbaring di ranjang. Ia seperti seorang dewa kenikmatan yang sedang dipuja. Jubah sutra hitamnya tersampir begitu longgar hingga nyaris melorot dari bahunya yang lebar, memperlihatkan dada bidangnya yang kokoh dan perutnya yang berotot sempurna. Kakinya terentang santai, dan di antara kedua pahanya, kejantanannya yang besar dan panjang, yang kini sepenuhnya mengeras, menjadi pusat dari semua pemujaan.Di sekelilingnya, di atas karpet tebal, para wanitanya bergerak dalam tarian sensual yang lambat dan memabukkan, tubuh telanjang mereka berkilauan oleh keringat di bawah cahaya temaram.Di kaki Valdi, Farah berlutut. Ia telanjang bulat, rambut hitamnya yang panjang tergerai menut
Dua hari kemudian, setelah memastikan Celine cukup tenang untuk ditinggal, Intan mengemudikan mobilnya sendirian, menjauh dari gemerlap Jakarta, menuju sebuah desa kecil yang tersembunyi di kaki Gunung Gede. Perjalanan itu seperti perjalanan menembus waktu. Jalanan aspal yang mulus perlahan berganti menjadi jalan berbatu yang sempit, diapit oleh hamparan sawah hijau dan pepohonan rindang. Udara menjadi lebih sejuk, lebih bersih, dipenuhi aroma tanah basah dan bunga liar.Ia akhirnya tiba di sebuah rumah joglo tua yang sederhana namun memancarkan aura ketenangan yang luar biasa. Halamannya dipenuhi tanaman herbal dan bunga-bunga berwarna-warni. Dari dalam rumah, tercium aroma dupa cendana yang menenangkan.Seorang wanita tua dengan rambut putih yang disanggul rapi dan wajah yang dipenuhi kerutan kebijaksanaan menyambutnya di ambang pintu. Matanya, meskipun sudah
Udara di koridor rumah sakit terasa dingin dan steril, kontras dengan kekacauan emosi yang membakar di dalam diri Celine. Ia menceritakan semuanya pada Intan saat mereka duduk di kafe rumah sakit yang sepi, secangkir teh hangat di antara mereka seolah menjadi satu-satunya sumber kehangatan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.Intan mengaduk tehnya perlahan, matanya yang jernih dan analitis menatap Celine dengan tajam. “Mimpi itu bukan hanya milikmu, Celine. Aku yakin itu. Rasanya seperti kita sedang melihat gema dari pertempuran yang terjadi di dalam pikiran Valdi. Dan Mayang… dia bukan sekadar gadis biasa di sana.”“Tapi dia hanya seorang gadis desa yang lugu,” bantah Celine, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Anak dari pembantu yang sudah lama mengabdi pada keluarga kami. Dia tulus ingin merawat Valdi.”
Beberapa hari kemudian, Celine tak kuat lagi. Gundah di hatinya semakin menjadi, menggerogoti setiap detik ketenangannya. Setiap kali ia merasakan tendangan halus dari janin di perutnya, bayangan Valdi yang terbaring di ICU justru semakin kuat, menciptakan sebuah kontras yang menyiksanya. Didorong oleh rasa penasaran dan kekhawatiran yang tak tertahankan, ia membuat keputusan nekat. Ia harus melihat Valdi, dengan mata kepalanya sendiri.Di rumah sakit, udara terasa pekat dengan aroma disinfektan yang tajam. Celine, terbungkus Alat Pelindung Diri (APD) lengkap dari ujung kepala hingga kaki, berdiri di depan sebuah dinding kaca tebal yang memisahkannya dari ruang ICU. Di baliknya, di tengah kerumitan kabel dan selang, Valdi terbaring.Pria yang dulu begitu tegap, begitu penuh kuasa, yang senyumnya bisa meluluhkan sekaligus mengintimidasi, kini hanyalah bayangan p