Langkah demi langkah, Celine menuruni anak tangga marmer yang dingin, kontras dengan panas yang masih terasa membakar kulitnya. Setiap pijakan terasa berat, membawa sisa-sisa teror dan kehinaan dari kamar di lantai atas. Pikirannya masih dipenuhi kilasan tatapan puas Valdi, senyum liciknya yang kini terasa seperti cap kepemilikan yang mengerikan.
Di dasar tangga, sosok mungil Mayang muncul dari arah dapur. Wajahnya yang polos dan ceria langsung teralih menatap Celine, dahi gadis itu sedikit berkerut melihat kondisi Celine yang jelas tidak baik-baik saja – rambut sedikit acak-acakan, tatapan mata yang kosong, dan aura ketakutan yang begitu kentara.
"Kak Celine? Ada apa? Kakak nggak apa-apa?" Mayang mendekat dengan langkah hati-hati, sorot matanya penuh kebingungan dan sedikit khawatir.
Celine tersentak, nyaris
"Om...?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, pasrah. Mata polosnya menatap Valdi yang kini mengulurkan tangan.Valdi meraih pergelangan tangan Mayang. Sentuhannya lembut, namun tarikannya begitu pasti. Mayang terdorong, terduduk di sisi ranjang, di sampingnya. Kehangatan tubuh Valdi terasa di kulitnya."Mayang... temenin Om ya..." bisik Valdi, tatapannya mengunci mata Mayang, menciptakan gelembung intim di antara mereka. Ada nada rapuh dalam suaranya yang membuat Mayang sedikit luluh."Hmmm...?" Mayang hanya bisa bergumam, otaknya masih mencerna. Menemani? Di sini? Dengan keadaan seperti ini?Sebelum Mayang sempat bertanya, Valdi menariknya lagi, kali ini lebih kuat. Mayang kehilangan keseimbangan, ambruk di ranjang, berbaring di sampingnya. Tangan Valdi yang lain c
Mayang, dengan mata sayu yang masih berkaca-kaca menahan sisa gelombang sensasi, menatap Valdi. Bibir mereka sangat berdekatan, napas panas saling bertukaran, memantulkan debar jantung yang masih menggila."Om... Om..." Desahan lirih itu lolos dari kerongkongan Mayang, suaranya basah dan parau.Dan entah keberanian dari mana, keberanian yang lahir dari kebingungan yang nikmat, dorongan asing yang baru pertama kali ia rasakan, Mayang memberanikan diri. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit lagi, membasuh bibir Valdi dengan bibirnya sendiri, lalu menghisapnya. Di saat yang sama, seluruh tubuhnya menegang hebat di pangkuan Valdi, pinggulnya bergerak liar seolah mencari pusat sensasi tadi. Sebuah lenguhan tertahan keluar dari bibirnya yang semakin dalam menghisap bibir Valdi – sebuah lenguhan murni pelepasan, pengakuan tak terucap bahwa ia telah menemukan 'puncak
Hawa lembap kamar mandi masih terasa dingin di kulit, namun suhu di ruangan itu perlahan naik, membara karena sentuhan yang bukan sekadar sentuhan. Valdi mengusap kepala Mayang yang basah, jemarinya menyusuri helai rambut lembut itu, merayap turun ke pipi yang kini basah bukan lagi karena air, melainkan karena rona tipis yang mulai muncul. Senyum perlahan terukir di bibir Valdi, senyum yang penuh arti, senyum kemenangan seorang predator yang telah menguasai mangsanya. Ini bukan sekadar pelepasan ketegangan fisik setelah sekian lama terbaring koma. Ini adalah permainan kekuasaan yang halus, mematikan."Mayang," bisiknya, suaranya serak, dalam, dan membius. Ada nada perintah yang tersembunyi di balik kelembutan itu. "Om kasih tau gimana caranya Mayang bantu Om lebih dari yang tadi siang ya?"Mayang mengangguk, matanya sedikit membulat. Bukan karena takut, tapi di
"Iya, Om?""Sudah selesai?" Valdi bertanya, suaranya terdengar sedikit parau, menambah kesan rapuh yang sengaja ia tampilkan."Dikit lagi, Om," jawab Mayang riang, kembali menyelesaikan tugasnya dengan cekatan. Tubuh mungilnya kembali membungkuk, merapikan seprai di sisi ranjang. Kaus V-neck tipis itu lagi-lagi melorot, memperlihatkan garis lehernya yang jenjang, lalu belahan dadanya yang padat dan ranum terlihat samar di balik kain. Valdi, yang pura-pura lemah, mencengkeram sandaran kursi rodanya, matanya tak lepas dari pemandangan di depannya. Gairah panas kembali menyengat, lebih tajam dari sebelumnya.Dalam beberapa menit, seprai bersih sudah terpasang rapi. Wajah Mayang berseri, bangga dengan pekerjaannya yang membuat ranjang Valdi kini tampak nyaman dan mengundang.
Langkah demi langkah, Celine menuruni anak tangga marmer yang dingin, kontras dengan panas yang masih terasa membakar kulitnya. Setiap pijakan terasa berat, membawa sisa-sisa teror dan kehinaan dari kamar di lantai atas. Pikirannya masih dipenuhi kilasan tatapan puas Valdi, senyum liciknya yang kini terasa seperti cap kepemilikan yang mengerikan.Di dasar tangga, sosok mungil Mayang muncul dari arah dapur. Wajahnya yang polos dan ceria langsung teralih menatap Celine, dahi gadis itu sedikit berkerut melihat kondisi Celine yang jelas tidak baik-baik saja – rambut sedikit acak-acakan, tatapan mata yang kosong, dan aura ketakutan yang begitu kentara."Kak Celine? Ada apa? Kakak nggak apa-apa?" Mayang mendekat dengan langkah hati-hati, sorot matanya penuh kebingungan dan sedikit khawatir.Celine tersentak, nyaris
Valdi, yang tadinya ambruk menindihnya, perlahan menggulingkan tubuhnya ke samping, namun sebagian lengannya masih menimpa pinggang Celine, menahannya di tempat. Perlahan, tangannya bergerak ke arah wajah Celine. Ibu jarinya yang hangat menyapu lembut air mata yang masih basah di pipi wanita itu. Kemudian, Valdi menundukkan wajahnya, mendekat, dan mengecup singkat bibir Celine."Thank you, Cel..." bisiknya, suaranya serak karena kelelahan dan emosi yang baru saja terluapkan.Celine mengerjap perlahan, menatap langit-langit, lalu mengalihkan pandangannya pada Valdi. Ada campuran kemarahan, penyesalan, dan kebingungan di mata indahnya."Fuck you, Val," suaranya parau, penuh kepedihan. "Fuck you."Kata-kata itu meluncur begitu saja, tajam dan menyakitkan. Namun, di sudut te