Udara di kamar Valdi yang tadinya panas membara oleh gairah, kini langsung dingin menusuk tulang. Suara langkah kaki itu semakin jelas, berat, disengaja. Bukan langkah terburu-buru Mayang, tapi langkah mantap yang tahu persis ke mana arahnya. Langkah yang membawa aura kekuasaan, dan kali ini, aura yang terasa begitu gelap, mengancam.
Pintu kamar Valdi terbuka tanpa diketuk, seolah tak ada privasi yang perlu dihormati di rumah ini, apalagi kamar Valdi. Sesosok pria jangkung, rambutnya yang mulai memutih tertata rapi meski usianya sudah kepala enam, tatapannya setajam elang. Mengenakan setelan yang menunjukkan bahwa harganya pasti lebih mahal dari gabungan seluruh furnitur di kamar Valdi, dia adalah perwujudan kekuasaan yang tenang namun menakutkan. Tidak ada senyum hangat orang tua, hanya penilaian yang dingin, menyelidik. Itu Maximilian Wirasatya, ayah Valdi.
M
"Penyembuhan apa, Kak Lana?" tanyanya lagi, suaranya berbisik penasaran.Lana tersenyum lagi, kali ini senyumannya lebih lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi. Dia menoleh sedikit ke arah Valdi yang masih berbaring, wajahnya datar, tapi matanya seperti menyimpan lautan rahasia."Penyembuhan yang... butuh sentuhan lebih dalam, Sayang," bisik Lana, suaranya sengaja dibuat rendah, memancing. Dia meraih tangan Mayang yang masih berdiri di samping ranjang. "Sini... duduk di sini, Kakak tunjukkin."Mayang menurut, duduk di tepi ranjang, di antara Valdi dan Lana. Aroma parfum Lana dan aroma maskulin Valdi seketika menguar, membuaian indranya. Dia merasa sedikit gugup, tapi rasa penasarannya jauh lebih besar."Pertama..." Lana mulai, berbicara dengan nada lembut yang seol
Pagi itu, Valdi terbangun bukan karena denting alarm atau panggilan telepon, melainkan oleh perpaduan tiga aroma yang begitu dikenalnya: wangi teh melati hangat, gurihnya omelet yang sedang disiapkan, dan aroma manis khas tubuh Mayang yang duduk di pinggir ranjang, menunggunya bangun. Aroma yang terakhir itulah yang paling ampuh membangunkan sisi liar Valdi, menyalakan bara di dalam dirinya bahkan sebelum matanya terbuka sempurna.Mayang tampak begitu segar. Rambut hitamnya yang panjang tergerai di punggung, kaus v-neck ketat dan rok mini tennisnya menonjolkan lekuk tubuhnya yang padat, walau ekspresinya lugu seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru. Dia tersenyum cerah melihat mata Valdi terbuka.Valdi mengulum senyum nakal. Ini adalah momen yang dia tunggu. Saatnya memberi sedikit kejutan, sekaligus menguatkan cengkeramannya pada gadis polos in
Udara dingin jam dua pagi menusuk kulit Mayang yang polos tanpa sehelai benangpun, hanya terbungkus selimut tipis yang melilit longgar di tubuh padatnya. Ia terbangun, mengerjapkan mata polosnya di kegelapan kamar yang luas, dan merasa hampa saat tangannya meraih sisi tempat tidur di sebelahnya, hanya menemukan seprai kosong dan dingin. Valdi tidak ada di sana.Mayang berjalan pelan ke arah pintu kamar, langkah-langkahnya kecil dan hati-hati. Dia menekan kenop pintu, membukanya sedikit, lalu mengintip ke koridor yang gelap. Sepi. Hanya pantulan cahaya bulan dari jendela di ujung sana yang menerangi sebagian lantai marmer."Om Valdi...?" bisiknya pelan, suaranya sekecil hembusan napas, seolah takut membangunkan hantu-hantu di rumah besar itu, meskipun dia tahu hanya ada mereka berdua di sini. Dia melangkah keluar, selimutnya terseret sedikit di lantai. "Om Valdi
Jam berdetak pelan, menunjukkan pukul dua dini hari. Keheningan rumah Valdi terasa dingin, hanya dipecah oleh suara napas lembut di sampingnya. Valdi terbaring, matanya terbuka lebar menatap langit-langit gelap. Tubuhnya mungkin baru saja puas, mencapai pelepasan yang intens beberapa kali, berkat kehadiran Mayang. Sensasi itu masih sedikit terasa di kulitnya, sedikit hangat di area bawah perutnya. Tapi kepalanya? Kepalanya seperti turbin yang berputar kencang, mengolah setiap kata dari Maximilian, setiap tatapan Vina, setiap kemungkinan kotor di balik komanya.Di sampingnya, Mayang tidur pulas, meringkuk miring dengan selimut tipis hanya menutupi pinggang ke bawah. Punggung telanjangnya terlihat jelas, bahu mulusnya, lekukan pinggang ramping yang kontras dengan pantatnya yang padat. Salah satu dadanya yang berisi sedikit tertekan ke kasur, bentuknya bulat dan menggoda. Wajahnya terlihat damai, ekspresinya
Dengan sedikit ragu, Mayang mulai menggesekkan dadanya di dada Valdi. Gerakannya awalnya kaku, canggung. Tapi busa sabun membuatnya terasa anehnya... menyenangkan. Kehangatan tubuh Valdi, gesekan kulit-ke-kulit yang intens, itu membangun sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Valdi menikmati setiap detik. Dia memejamkan mata, merasakan busa itu menyebar di dadanya, bukan dari tangan, tapi dari tubuh Mayang. "Iya... gitu Mayang... pinter..." pujiannya mengalir, meracuni kepolosan Mayang.Lalu, Valdi membimbingnya lagi. Inilah puncaknya. Dia menggeser tubuh Mayang ke salah satu sisinya, di samping kursi mandinya. Dia meraih pinggang Mayang, menariknya ke bawah, ke samping, hingga selangkangan Mayang yang basah dan berbusa berada tepat di paha bagian atas Valdi.
Angin malam berhembus pelan di atas balkon mewah itu, membawa dingin yang tipis menusuk pori. Valdi terpekur di kursi rodanya, siluetnya gelap di bawah temaram bulan. Wajahnya, yang sedetik lalu masih memancarkan perhitungan dingin, kini dihiasi guratan kepedihan dan amarah yang baru saja meledak. Kilatan dendam di matanya tak mengalah pada kegelapan malam, justru seolah menyala sendiri, membakar relung jiwanya yang terluka. Maximilian. Ayahnya sendiri. Kata-kata pelecehan dan keraguan itu bagai pisau yang dihunuskan ke ulu hatinya. Giginya gemeletuk. Valdi mengepalkan tangan di pegangan kursi roda. Tenaga yang tadi digunakannya untuk berdiri di dalam kamar, tenaga yang disimpannya rapat-rapat sebagai rahasia, kini terasa menggelegak di bawah kulitnya. Dia ingin menghancurkan sesuatu. Menghancurkan mereka. Ayahnya atau siapapun yang berkonspirasi melawannya. Dia harus kembali ke puncak. Tidak hanya untuk merebut kembali apa yang hilang, tapi untuk melindungi dirinya. Dan untuk menghu