Lalu, sebuah reaksi yang tak terduga terjadi. Wajah Valdi yang tadinya tegang perlahan melunak. Ketegangan di rahangnya mengendur, dan sebuah senyum perlahan terukir di bibirnya. Bukan senyum sinis atau dingin yang penuh kemenangan. Ini adalah senyum yang tulus, lebar, dan penuh dengan kebahagiaan yang nyaris gila, gembira, seolah ia baru saja memenangkan lotere terbesar di dunia.
Ia tertawa. Sebuah tawa yang dalam dan penuh kelegaan, tawa yang menggema di ruangan itu, membuat Vina menatapnya dengan bingung, sama sekali tidak menduga reaksi ini. Horornya semakin menjadi.
“Akhirnya,” bisik Valdi, lebih pada dirinya sendiri, suaranya dipenuhi campuran kepuasan dan kegembiraan yang mengerikan. “Ini dia.” Matanya berbinar dengan cahaya yang aneh, seolah sebuah rencana besar telah terwujud sempurna. Ia melangkah mendekati Vina, gerakannya kin
Valdi menatapnya, matanya yang tajam menyapu penampilan Debby. Ia tahu persis permainan apa yang sedang dimainkan oleh sekretarisnya ini. Biasanya, ia akan menikmati permainan itu. Tapi hari ini, pikirannya terlalu penuh oleh Intan.“Tim audit eksternal,” kata Valdi langsung. “Aku ingin tahu semua tentang ketua tim mereka, Intan.”Debby tampak sedikit kecewa karena Valdi tidak menanggapi godaannya. “Nona Intan, Pak?” ulangnya. “Informasi yang saya miliki terbatas. Beliau auditor senior dari firma Kreston Advisory, sangat profesional. Sejauh ini hanya itu, Pak.”Valdi mendengus, jelas tidak puas. “Hanya itu?”“Apa Bapak ingin saya mencari informasi lebih lanjut?” tawar Debby, melihat kesempatan untuk membuat atasannya terkesan.
“Kamu milikku Lana….milikku,” bisik Valdi, tangannya memegang pinggul Lana, memompanya dengan ritme yang ia sukai.Lana membungkuk, memeluk dan mencium Valdi dengan penuh gairah, payudaranya yang mungil menekan dada bidang pria itu. Keringat membasahi tubuh mereka, menyatukan aroma mereka menjadi satu. “Aku milikmu, Mas… selamanya… Lakukan apa pun padaku…” bisiknya di sela ciuman mereka yang panas.Valdi membiarkan Lana mengendalikan permainan untuk sementara waktu, menikmati pemandangan wanita itu yang kehilangan dirinya dalam kenikmatan. Ia memompa liang Lana tanpa ampun sampai wanita itu kembali menjerit, mencapai puncak kenikmatannya yang kedua, lalu yang ketiga. Setiap orgasme terasa lebih kuat dari sebelumnya, membuat Lana menangis dan tertawa pada saat yang bersamaan, kewalahan oleh badai sensasi yang diciptakan oleh Valdi.
Fajar menyingsing, sinarnya yang lembut menyelinap masuk, menyinari pemandangan kekacauan sensual di ruang keluarga. Valdi terbangun di atas sofa yang luas, tubuhnya terasa sedikit pegal namun luar biasa puas. Di sekelilingnya, terbaring tiga tubuh telanjang yang terkulai lemas dalam tidur yang sangat pulas. Mayang meringkuk di dadanya, napasnya yang polos berembus teratur. Farah tergeletak di sisinya, salah satu lengannya masih memeluk paha Valdi. Dan Ella, di karpet bawah, bersandar di sofa dengan senyum tipis di bibirnya yang tertidur.Mereka adalah piala kemenangannya, tiga budak yang telah ia hancurkan dan bentuk ulang sesuai kehendaknya. Dengan gerakan tanpa suara, Valdi meloloskan diri dari tumpukan tubuh itu. Ia berjalan menuju jendela, menatap matahari terbit. Permainan semalam adalah penegasan. Hierarki telah ditetapkan.Ia meninggalkan ruangan itu, b
Mayang, yang matanya sudah sepenuhnya sayu dan berkabut nafsu, mengangkat kepalanya. Ia baru saja mencapai puncak dari sentuhan tangannya sendiri, tubuhnya masih bergetar hebat. Mendengar nama tuannya, ia langsung menurut, seolah sebuah tali tak terlihat menariknya. Ia merangkak turun dari meja, tubuhnya yang telanjang berkilauan oleh keringat, bergerak di atas karpet tebal menuju sofa tempat Valdi duduk. Ia tidak lagi terlihat seperti gadis polos yang memasuki ruangan ini tadi sore; ia adalah perwujudan nafsu yang murni, seekor kucing betina yang siap menuruti setiap keinginan tuannya.Valdi meraih pergelangan tangannya, menariknya dengan lembut namun tegas hingga Mayang jatuh berlutut di antara kedua kakinya. Mayang mendongak, mata basahnya bertemu pandang dengan Valdi, memohon. Valdi tersenyum, senyum yang menjanjikan kenikmatan dan kepedihan sekaligus. Ia mencengkeram dagu Mayang, mendekatkan wajahnya,
Awalnya, sentuhan mereka ragu-ragu. Mayang terisak dalam diam, jemarinya yang mungil nyaris tak berani menyentuh liangnya yang polos. Farah, dengan api pemberontakan yang masih tersisa, menggesek biji kecilnya dengan gerakan kasar dan penuh amarah. Sementara Ella, dengan kepatuhan seorang budak, menyentuh batangnya yang kecil dengan gerakan mekanis, matanya menatap kosong ke langit-langit.Valdi hanya duduk di sofanya, menyesap wiski, mengamati mereka seperti seorang seniman yang sedang menilai karyanya. “Aku tidak menyuruh kalian bermalas-malasan,” desisnya, suaranya memecah keheningan. “Aku ingin melihat gairah. Aku ingin mendengar suara kalian. Buat aku percaya bahwa kalian menikmatinya.”Perintah itu adalah cambuk. Mereka mempercepat gerakan tangan mereka. Desahan-desahan kecil yang dipaksakan mulai terdengar, bercampur dengan isak t
Ia berhenti sejenak, membiarkan kengerian itu meresap, mengendap, dan mulai menggerogoti jiwa mereka. Ketiganya hanya bisa terdiam, air mata mengalir semakin deras, napas tertahan di dada.“Dan jangan berhenti,” lanjut Valdi, suaranya menajam seperti bilah pisau. “Jangan pernah berhenti sampai aku bilang cukup. Mengerti?”Sebuah bisikan "mengerti" yang nyaris tak terdengar keluar dari bibir mereka yang gemetar. Perintah itu mengukir dirinya di relung jiwa mereka, sebuah cap kepemilikan.Dengan tangan gemetar, mereka memulai siksaan itu. Farah, dengan sifat liarnya yang tak pernah padam, memulai dengan kasar, jemarinya langsung menekan biji kecilnya yang sensitif dengan gerakan frustrasi, seolah ingin melampiaskan semua amarah dan ketidakberdayaannya. Geminjalnya terasa begitu cepat, menggosok