MasukMentari pagi baru saja meninggi, mengirimkan cahaya lembut ke halaman kosan. Raga sedang menyiram tanaman di pot, pakaiannya santai, celana pendek dan kaus oblong. Ia menyapu genangan air dan dedaunan kering, bergerak dengan ritme yang tenang.Tak lama, pintu kosan terbuka. Wulan turun dari tangga dengan santai, mengenakan celana pendek denim yang sangat minim dan kaus oversize yang menutupi bahunya. Rambutnya diikat asal, tetapi raut wajahnya sudah segar. Ia berjalan santai menghampiri Raga di halaman.Wulan menyapa Raga dengan suara ceria. Raga membalas sapaan itu sambil sedikit menunduk.“Pagi, Mas,” sapa Wulan, berdiri di dekat pagar.“Pagi, Lan. Mau kemana?” tanya Raga sambil menaruh selang air.“Mau beli nasi uduk, Mas,” jawab Wulan.“Oalah, sarapan ya,” balas Raga santai.Wulan tidak langsung pergi. Ia berdiri diam, menatap Raga dengan tatapan yang terasa lebih dari sekadar menggoda, ada keisengan yang tersembunyi di matanya. Raga merasakan tatapan itu, tapi berusaha bersikap b
Malam telah larut, jam menunjukkan pukul sepuluh lebih di jam dinding ruang tamu Tante Maya. Raga memastikan pintu depan rumah sudah terkunci, tetapi tidak sampai berbunyi klik. Lalu Raga berjalan menuju Kosan.Ia berhenti tepat di depan pintu kamar Maudy. Ia menarik napas sebentar, mengatur detak jantung yang berpacu kencang. Raga mengetuk pintu itu dengan sangat pelan, hanya dua kali ketukan singkat.Maudy membukakan pintu tanpa jeda waktu.Ia mengenakan daster biru muda yang longgar.“Mas, masuk cepetan,” desis Maudy dengan suara tertahan.Raga langsung masuk dan mengunci pintu dari dalam.Aroma parfum Maudy yang manis langsung menyergap indra penciuman Raga di dalam kamar. Cahaya remang dari lampu tidur kecil membuat suasana makin privat dan terasa hangat. Ia melihat Maudy sudah menunggunya dengan mata berkobar penuh hasrat yang tak lagi bisa disembunyikan.Maudy tidak membuang waktu, gadis itu langsung melingkarkan lengan di leher Raga. Ciuman pertama mereka terasa mendesak dan s
Kamar hotel mewah itu sunyi, hanya diterangi lampu samping ranjang yang remang. Gita berbaring di atas seprai putih bersih, tubuhnya telanjang dan sepenuhnya pasrah. Om Bowo berdiri sejenak di tepi ranjang, menatap Gita dengan pandangan dominan sebelum naik ke atas. Om Bowo tidak membuang waktu. Ia menghimpit Gita dengan tubuhnya, menarik dagu Gita untuk sebuah ciuman yang kasar dan menuntut. Gita mengikuti ciuman itu, tangannya hanya tergeletak di samping tubuh. "Kamu siap kan, Sayang?" tanya Om Bowo, suaranya berat dan bernada perintah. Gita mengangguk pelan. Kepatuhan totalnya adalah yang Om Bowo inginkan. "Aku milik Om malam ini." "Bagus. Nikmati." "Iya Om." Om Bowo segera memasuki Gita dengan hentakan yang kuat dan mendominasi. Gita tersentak hebat, seluruh tubuhnya menegang sesaat karena desakan yang mendadak itu. Ia mencengkeram seprai, sebuah reaksi naluriah. Om Bowo memimpin ritme, bergerak dengan kecepatan dan kedalaman sesuai keinginannya. Gita berusaha menyamakan na
Pagi itu udara masih lembap setelah semalam turun gerimis. Raga sudah berdiri di halaman kos, menyapu daun-daun jambu yang berjatuhan di bawah pohon. Suasana tenang, hanya sesekali terdengar suara motor lewat di depan gang. Di tengah aktivitasnya, ponselnya bergetar di saku. Ia mengambilnya, melihat nama Intan terpampang di layar. Raga sempat mengernyit, sedikit heran karena Intan jarang menghubunginya sepagi ini. > “Halo, Tan?” ucap Raga sambil menyandarkan sapu di pagar. “Rag, Arman barusan WA aku,” suara Intan terdengar agak pelan tapi cemas. “Pesannya biasa aja, kayak gak terjadi apa-apa. Tapi dia bilang, waktu itu aku tiba-tiba pergi pas dia ke toilet.” Raga diam sesaat, mencoba mencerna. Ia menatap tanah di depannya yang sudah bersih tapi pikirannya mulai kusut. > “Terus kamu bales apa?” tanyanya hati-hati. “Belum,” jawab Intan cepat. “Aku takut salah ngomong, takut dia curiga.” Raga menarik napas dalam-dalam. Sudah ia duga Arman bakal muncul lagi. > “Gini aja, T
Satu minggu sudah berlalu sejak malam penuh kekacauan itu. Raga kembali menjalani hari-harinya seperti biasa, menjadi penjaga kos yang selalu bangun paling pagi, menyapu halaman, dan memeriksa setiap sudut bangunan. Sekilas, semuanya tampak normal lagi. Tapi dalam dirinya, banyak hal yang belum benar-benar tenang. --- Pagi itu, setelah selesai menyiram tanaman, Raga duduk di teras rumah sambil menikmati kopi hangat buatan Tante Maya. Wanita itu datang membawa roti dan duduk di sebelahnya, mengenakan daster lembut dengan rambut dikuncir seadanya. Mereka tampak akrab, bahkan terlalu akrab untuk sekadar pemilik rumah dan penjaga kos. “Kamu capek gak kerja terus?” tanya Tante Maya lembut. “Enggak kok, Tan. Udah biasa,” jawab Raga sambil tersenyum. “Kalo capek, bilang aja ya. Tante bisa bantu kok." “Hehe, iya, Tante. Aman kok.” “Apa mau Tante bantu urusan kamar?" tanya Tante Maya dengan nada menggoda. “Ah, bisa aja Tante, kalo itu gak usah di tanya,” kata Raga sambil terkekeh,
Ponsel Imas yang tergeletak di meja bergetar, lalu berdering pelan. Layar menyala menampilkan satu nama yang langsung membuat dada Raga sedikit menegang — Arman.Raga melirik sekilas, pura-pura santai padahal pikirannya langsung berputar.Kenapa Arman nelpon Imas malam-malam gini? batinnya.Imas yang masih bersandar di sofa bersama Raga, menghela napas pelan, lalu meraih ponselnya. Musik dari speaker berhenti ketika ia menekan tombol jawab.> “Halo… iya…”“Oke… siap…”Nada suaranya terdengar datar, tapi Raga bisa menangkap perubahan kecil di ekspresi wajahnya. Ada sesuatu yang Imas sembunyikan.Begitu panggilan berakhir, Imas menoleh ke Raga sambil tersenyum tipis. “Temenku nelpon, Mas. Ada kerjaan sedikit.”Raga mengangguk pelan, berusaha tidak menampakkan rasa curiganya.“Oh, gitu ya. Yaudah, aku juga sekalian pulang deh.”Imas lalu berdiri, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, dan mulai mengenakan kembali bajunya. Gerakannya cepat tapi terlihat gugup.Raga ikut berdiri, me







