Share

GLP6

last update Last Updated: 2025-07-18 22:39:40

Runa mengepalkan tangannya di atas meja kaca. Buku jarinya memutih. Napasnya menahan gejolak amarah dan kegelisahan yang bertubrukan di dadanya.

Ia menegakkan tubuh, menatap Kian dengan mata tajam. “Kamu muncul di kantorku, bicara seenaknya seolah kamu tahu banyak tentang aku? Kamu pikir ini lucu?”

Kian tidak bereaksi dengan marah. Ia tetap berdiri di dekat meja, dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana. Tenang, tapi terlalu percaya diri.

“Aku tidak sedang bercanda, Runa. Aku tahu kamu pengacara bahkan sebelum kamu naik bus itu.”

Runa mengerutkan kening, wajahnya menegang. “Apa maksudmu?”

Kian mendekat, hanya beberapa langkah. Suaranya merendah, tapi justru terdengar lebih jelas.

“Aku melihatmu di seminar. Di sesi akhir, saat kamu naik ke panggung sebagai panelis. Waktu itu kamu bicara soal keadilan keluarga ... tapi mata kamu bicara soal sesuatu yang lain. Kamu bicara seperti orang yang sudah terlalu sering mengorbankan dirinya demi orang lain.”

Runa diam. Napasnya memburu perlahan.

“Aku sudah ada di sana dari pagi,” lanjut Kian, “tapi aku baru benar-benar melihatmu saat kamu bicara. Aku tahu kamu berasal dari kantor hukum Karsa & Rekan. Aku tahu kamu bersinar di balik panggung yang terlalu kaku.”

Ia menatap Runa, senyumnya samar.

“Jadi, waktu kamu turun dari panggung dan berjalan ke arah halte … kupikir, kenapa tidak? Aku tinggalkan mobilku di basement dan ikut kamu naik bus.”

Wajah Runa memerah, entah karena terkejut, takut, atau marah.

“Kamu sengaja?” bisiknya tajam. “Kamu mengikutiku?”

Kian mengangguk pelan. “Kalau kamu mau menyebutnya begitu.”

“Kamu sadar itu bisa disebut penguntitan?”

“Sebut saja apa pun yang kamu mau,” balas Kian, lebih dekat lagi. “Tapi kamu tahu, bukan aku yang pertama kali menyentuh. Aku hanya menjawab panggilan yang kamu bahkan tidak sadar kamu kirim.”

Runa berdiri dengan cepat, kursinya bergeser sedikit ke belakang. “Kamu keterlaluan.”

“Benar. Dan kamu menyukainya,” bisik Kian pelan.

Runa menegang. Sorot matanya tajam, tapi di sana juga ada api yang belum padam.

“Kamu menyentuhku tanpa izin. Dan kamu pikir aku tidak bisa melaporkanmu?”

Kian tersenyum tipis. “Laporkan saja. Lalu polisi akan bertanya siapa yang menginap semalam di losmen, dan bersama siapa. Siapa yang membuka kancingnya lebih dulu. Dan siapa yang menatap siapa, seolah dunia akan berhenti kalau tak saling menyentuh.”

“Berhenti!” desis Runa. Suaranya gemetar.

Kian memiringkan kepala, menatapnya dalam. “Kamu boleh pura-pura di sini, Runa. Pakai blazer, bicara soal pasal dan moral. Tapi aku tahu bagaimana kulitmu terasa di bawah jemariku. Dan kamu tahu ... kalau kamu tidak akan pernah bisa menghapus malam itu dari tubuhmu.”

Runa menelan ludah dengan susah payah. Tangannya masih mengepal, tubuhnya tegang.

“Apa sebenarnya yang kamu inginkan?”

Kian mendekat sekali lagi, tapi kali ini nadanya berubah. Tak lagi menggoda. Lebih tenang dan lebih jujur.

“Jawaban. Tentang kenapa perempuan sekuat kamu ... masih memilih bertahan di pernikahan yang tidak pernah membuatmu bahagia.”

Runa mematung. Sorot matanya tajam, tapi ada sesuatu yang kelam di dalamnya. Dadanya naik-turun tak teratur. Selama ini ia biasa menjawab siapapun dengan cepat, dengan logika, dengan kalimat hukum, dengan argumen dingin. Tapi kali ini, lidahnya kelu.

Kian menatapnya lekat-lekat. Tanpa suatu paksaan ataupun tuntutan. Ia menunggu sebuah jawaban.

“Aku tidak bertahan,” gumam Runa akhirnya, nyaris tak terdengar. “Aku … terjebak.”

Sunyi menggantung seperti napas yang tertahan.

Tapi perlahan Runa menyadari bahwa ia terlalu dalam tenggelam dalam percakapan ini. Terlalu banyak hal yang keluar tanpa filter. Dan Kian telah terlalu nyaman menyentuh sudut-sudut hidupnya yang bahkan Darrel tak pernah peduli untuk lihat.

Ia menarik napas dalam, menegakkan bahu, dan menatap Kian seperti seorang pengacara menghadapi saksi yang terlalu cerdas. “Kita sudah melewati batas profesional,” katanya dingin. “Sekarang, mari kembali ke tujuan awal kamu datang ke sini.”

Kian mengangkat alis tanpa protes. Ia hanya mengangguk pelan, lalu duduk.

Runa kembali duduk dan membuka map kosong di hadapannya, mengambil pulpen, dan mulai mencatat. Nadanya kini formal, rapi, dan tajam. Tapi matanya masih mengandung sisa bara.

“Kamu bilang ingin mengurus perceraian. Apa alasan spesifiknya?” tanyanya datar.

“Tidak cocok,” jawab Kian singkat.

Runa mencatat tanpa menatapnya. “Sudah berapa lama menikah?”

“Enam tahun.”

“Anak?”

Kian menggeleng. “Tidak ada.”

Runa mengangguk pelan, lalu mengangkat wajahnya dan menatap Kian lurus. “Jadi ... kamu menikah enam tahun, tidak punya anak, lalu merasa bosan dan mau pergi begitu saja? Itu alasan yang cukup klasik.”

Kian diam. Tatapannya tak bergerak dari wajah Runa.

“Apakah istrimu tahu kamu mudah berpindah hati?” lanjut Runa, nadanya makin tajam. “Atau kamu hanya pandai berpura-pura setia sampai bosan sendiri?”

Ia tidak tahu kenapa kalimat itu keluar. Tapi mulutnya tak berhenti. Kata-kata itu mengalir seperti peluru dari pistol yang tak sengaja ditarik pelatuknya.

“Mungkin karena istrimu perempuan sabar. Terlalu sabar hingga tidak sadar kalau laki-laki yang dia pertahankan ternyata hanya mencari tubuh lain untuk merasa hidup.”

Kian masih diam. Tapi sesuatu di matanya bergerak, bukan kemarahan, melainkan pemahaman.

Runa mencengkeram pulpen lebih erat. “Kamu tahu apa yang paling menyakitkan dalam pernikahan?” tanyanya. “Bukan perselingkuhan. Tapi ketika kamu berada di satu rumah, satu atap, tapi merasa seperti hidup sendiri. Terlihat … tapi tidak pernah benar-benar dilihat.”

Matanya bergetar. Tapi ia menunduk, pura-pura menulis.

Dan saat ia melirik ke arah Kian, pria itu menatapnya dengan cara yang membuatnya ingin membuang muka.

Karena di sorot mata itu, Runa tahu, Kian tidak sedang menilai. Ia sedang membacanya.

“Kamu tidak sedang bicara tentangku,” ucap Kian pelan, suaranya nyaris berbisik. “Kamu sedang bicara tentang dirimu sendiri.”

Runa menahan napas. Lidahnya mendadak kelu.

“Aku cuma menjawab pertanyaanmu,” katanya akhirnya.

Kian mengangguk. Tapi senyumannya tipis, dan sorot matanya terlalu jujur untuk dibantah. “Bukan. Kamu sedang memuntahkan luka yang kamu pendam selama tiga tahun.”

Runa membuka mulut untuk membantah, tapi suara itu tak kunjung keluar.

“Dan aku tahu itu,” lanjut Kian tenang, “karena kamu bicara seperti seseorang yang tidak sedang menilai … tapi sedang menyindir hidupnya sendiri.”

Runa terdiam. Entah kenapa ia tidak bisa menampik semua tuduhan itu.

Runa ingin menyuruh Kian keluar. Ingin menolak semua kesimpulan seenaknya itu. Tapi lebih dari itu, ia ingin menangis. Ingin seseorang membantah kenyataan yang sudah terlalu sering ia bungkam.

Tapi itu tidak mungkin. Ia hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan nada suaranya.

“Kalau kamu ingin melanjutkan proses cerai, aku bisa bantu,” katanya, kembali menunduk. “Tapi kalau kamu hanya ingin ... mengganggu hidupku, maka pertemuan ini selesai sampai di sini.”

Kian berdiri dan menatap Runa sekali lagi dengan tatapan tajam yang dalam, sebelum melangkah mendekatinya.

Runa dapat merasakan hembusan napas hangat di pipinya sebelum bisikan tipis itu terdengar di telinganya.

“Aku tidak datang untuk mengganggu,” katanya pelan. “Aku hanya datang ... karena aku tahu persis seperti apa rasanya hidup dengan seseorang yang bahkan tidak mau melihatmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
kian cerdas dalam berbicara bagaikan tembakan yang tepat sasaran membuat Runa kelu.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP107

    “Iya, aku kangen banget sama dia. Puas?” balas Runa, “astaga … bahkan saat dia tidak ada di sini, kamu juga masih cemburu sama dia?” Kian tertawa, tangannya meraih pinggang Runa, kemudian menarik tubuh perempuan itu lebih dekat ke arahnya. Ia mendekatkan wajahnya, menatap mata Runa dengan tatapan intens yang penuh dengan kesungguhan. “Aku cemburu, tentu saja. Karena aku cinta sama kamu. Karena aku nggak mau kamu lihat pria lain selain aku,” imbuhnya. Runa merasakan jantungnya berdegup kencang. Napasnya tertahan saat menatap mata Kian yang begitu dekat, begitu intens. Tangannya terangkat, menyentuh dada Kian yang bidang, merasakan detak jantung lelaki itu yang berdegup sama cepatnya dengan miliknya. “Kian …” Runa berbisik pelan. Tanpa menunggu lagi, Kian menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Runa dengan lembut. Awalnya hanya kecupan ringan, seolah bertanya izin. Tapi, begitu Runa membalas, kecupan i

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP106

    Runa menatap Kian dengan tatapan penuh kekhawatiran. Di sekelilingnya, Karin dan Bram masih berbincang dengan antusias tentang rencana pernikahan, membahas tema, lokasi, bahkan bunga yang akan digunakan. Namun, Runa sama sekali tidak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi dengan satu hal. Bagaimana mungkin mereka bisa menikah jika secara hukum dia masih terikat dengan Darrel?Kian merasakan kecemasan Runa melalui genggaman tangannya yang semakin kencang. Ia menoleh ke arah Runa, lalu tersenyum tipis. Sebuah senyum yang menenangkan tapi penuh dengan kepastian.“Ayo, ikut aku.” Kian menarik tangan Runa dengan cepat. Runa membungkukkan setengah badannya sambil tersenyum, lalu mengikuti Kian. Keduanya berjalan cepat menuju ruang kerja Kian yang ada di sudut rumah.Runa menatap punggung Kian dengan tatapan bingung. Jantungnya berdegup kencang, perasaan tidak enak mulai menyelinap di dadanya. Apa yang akan Kian ambil? Apa yang akan dia tunjukkan?Beberapa saat kemudian, Kian berbalik dengan sebuah

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP105

    Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Runa menatap keluar jendela, tangannya terkepal di pangkuannya, pikirannya berkecamuk. Ia masih bisa merasakan kekecewaan yang terpancar dari wajah Kian tadi. Ia tahu, penolakannya pasti menyakiti Kian. Tapi, Runa tidak bisa begitu saja mengabaikan kenyataan bahwa secara hukum, dia masih terikat dengan Darrel.Kian tidak mengatakan apa-apa lagi. Tangannya mencengkeram setir dengan tenang, wajahnya datar, matanya fokus ke jalan. Namun, Runa bisa merasakan ketegangan yang masih menggantung di udara di antara mereka.Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Runa menyadari sesuatu yang aneh. Jalanan yang mereka lalui bukan jalanan menuju apartemennya. Ia mengerutkan alis, menoleh ke arah Kian dengan tatapan bingung.“Kian, ini bukan jalan ke apartemen kita,” kata Runa.Kian tidak menjawab. Ia hanya terus mengemudi dengan tenang, seolah tidak mendengar pertanyaan Runa.“Kian? Kita mau ke mana?” Runa melontarkan pertanyaan. Membuat

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP104

    Kian memarkirkan mobilnya di area parkir rumah sakit yang luas, matanya langsung menyapu sekeliling mencari sosok Runa. Ia sudah mengirim pesan sejak tadi pagi, mengatakan akan menjemput Runa setelah urusan di rumah sakit selesai. Namun, sejak sampai, dia tidak menemukan Runa di lobi atau di koridor tempat mereka biasa bertemu. Kian melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit. Matanya terus mencari keberadaan Runa. Dan langkahnya terhenti tepat di jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumah sakit. Kian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Runa duduk di bangku taman dengan sinar matahari sore yang menerangi rambutnya yang tergerai lembut. Tapi, yang membuat langkah Kian terhenti adalah sosok lelaki yang duduk di kursi roda tepat di sebelah Runa. Robert. Lelaki itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kian melihatnya, wajahnya pucat, tapi senyumnya masih sama, senyum yang terlalu hangat, terlalu akrab.

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP103

    Runa merasakan paru-parunya terbakar, napasnya tercekat di tenggorokan yang dicengkeram dengan keras oleh tangan Darrel. Matanya mulai berkabut, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Tangannya mencakar pergelangan tangan Darrel, kukunya menggores kulit lelaki itu, tapi genggaman Darrel tidak mengendur sedikitpun.“Jawab aku, Runa!” Darrel berteriak lagi.Suara pria itu memekakkan telinga di ruang sempit itu. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menegang, matanya menyala penuh amarah yang tidak terkendali. “Apa yang kamu katakan ke Mama? Kamu meracuni pikirannya, kan? Kamu bilang apa tentang Litha? Kamu pasti berkata buruk tentang Litha pada Mama, bukan? Katakan, Runa! Mustahil kamu tidak mengatakan hal buruk tentang Litha!”Runa membuka mulutnya, mencoba menjawab, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya desahan napas tersengal-sengal yang terdengar semakin lemah. Penglihatan Runa mulai mengabur, tubuhnya melemas, tangannya yang semula menc

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP102

    Runa menatap pintu ruang rawat yang terbuka di hadapannya. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu melangkah masuk dengan perlahan.Ruangan itu sunyi, hanya terdengar dengungan halus mesin-mesin medis yang terpasang di sekitar tempat tidur. Cahaya lampu redup memberikan suasana yang tenang tapi menegangkan. Di tengah ruangan, terbaring sosok Lila Lukito dengan kepala bersandar pada bantal putih tebal. Wajah Lila tampak pucat, kurus, dengan garis-garis halus yang semakin dalam di sekitar matanya. Tapi, matanya, mata yang selalu penuh kehangatan itu kini terbuka, menatap ke arah pintu dengan pandangan yang begitu lembut.“Mama.” Runa memanggil pelan, suaranya bergetar tanpa bisa dia sembunyikan.Lila tersenyum tipis, tangannya yang kurus terangkat perlahan dari atas selimut, seolah mengundang Runa untuk mendekat. “Runa, Sayang. Kemarilah.”Runa m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status