Share

GLP5

last update Last Updated: 2025-06-30 18:19:09

Darrel tak langsung bicara. Sorot matanya menghitam. Rahangnya terkunci, dan jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kalimat Runa barusan menyulut sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar marah.

“Ulangi,” desisnya pelan. “Ulangi kalimat barusan, Runa.”

Tapi Runa hanya diam. Sorot matanya tajam, tidak bergeming. Ia berdiri tegak, meski jantungnya berdenyut kencang.

Tiba-tiba, tangan Darrel menghantam pipinya. Suara tamparan itu menggema keras di ruang kecil kamar mandi. Runa terhuyung ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan, dan menabrak pintu kayu di belakangnya.

Belum sempat ia menarik napas, Darrel sudah mencengkram lengannya.

“Kalau kamu berani buat Mama kecewa,” bisiknya tajam di telinga Runa, “kamu akan lihat siapa aku sebenarnya.”

“Sudah telat, Darrel,” Runa menjawab, napasnya terputus-putus, suara gemetar tapi keras. “Aku sudah lihat siapa kamu … sejak malam pertama kita menikah.”

Pukulan selanjutnya datang tanpa peringatan. Kali ini bukan ke wajah, tapi ke bahu, cukup kuat untuk membuatnya terjatuh ke lantai. Kepalanya terbentur ujung wastafel, dan rasa panas menjalar ke pelipis.

“Berhenti bersikap suci! Kau pikir aku nggak tahu kenapa kau berani sekarang?” Darrel mendekat, membungkuk dengan sorot mata penuh amarah. “Karena laki-laki itu? Yang kamu tiduri semalam kan?”

Runa menahan diri. Ia menatap suaminya dari bawah, tidak menjawab. Tak ingin memberikan bahan bakar lagi untuk kemarahannya.

Darrel berdiri lama, menatap Runa dengan napas berat. Lalu ia melangkah mundur dan keluar dari kamar mandi, membanting pintu keras.

Runa tetap diam di lantai. Ia menunduk, lututnya gemetar, napasnya pendek. Bukan karena rasa takut. Tapi karena kelelahan. Hatinya terlalu lelah untuk marah, terlalu lelah untuk menangis.

***

Pagi itu, lampu putih di langit-langit toilet wanita kantor menyinari wajah Runa dari atas, membentuk bayangan tipis di bawah matanya yang sembab. Ia berdiri diam di depan cermin besar yang membentang di sepanjang dinding. Jemarinya menggenggam erat sisi wastafel marmer. Tubuhnya tampak anggun dalam balutan blouse satin abu-abu dan rok pensil hitam yang rapi. Tapi bayangan di cermin menunjukkan sesuatu yang berbeda.

Ia menarik napas panjang, lalu mengangkat dagu, meneliti wajahnya dengan mata tajam.

Sedikit concealer sudah ia usapkan sejak di rumah tadi, tapi samar-samar, masih terlihat semburat keunguan di tulang pipi, bekas tangan suaminya.

Di balik rambutnya yang dibiarkan longgar menutupi sisi leher, ada goresan kecil. Tak terlihat jelas bagi orang lain. Tapi Runa tahu, di situlah luka terparahnya. Bukan karena sakit, tapi karena ia membiarkannya terjadi. Lagi.

“Apa yang kau lihat?” bisiknya pelan. “Istri dari pria kaya? Pengacara hebat? Atau perempuan bodoh yang bertahan terlalu lama?”

Matanya tak berkedip. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak yang masih tersisa dari malam sebelumnya.

Ia membasuh tangan, lalu merapikan blouse dan blazer, sebelum keluar dari toilet. Lorong kantor yang wangi dan steril menyambutnya dengan sunyi. Baru saja ia akan melangkah ke ruangannya, sekretaris muda yang berjaga menghampirinya.

“Bu Runa, ada klien baru menunggu di ruang konsultasi. Dari Surya Group. Namanya … Pak Kian.”

Langkah Runa terhenti.

Nama itu menghantam kepalanya seperti pecahan kaca. Napasnya sempat tersendat. Ia mematung dua detik, matanya melebar, dan jantungnya berdetak lebih kencang.

“Kian?” ulangnya, pelan, nyaris tak terdengar. “Dia … datang kemari?”

Sekretarisnya mengangguk. “Iya, Bu. Dia sudah menunggu. Katanya mau konsultasi langsung soal gugatan cerai. Urgent.”

Gugatan cerai?

Runa menarik napas panjang, mencoba menstabilkan detak jantungnya yang tiba-tiba kacau. Itu pasti cuma kebetulan. Nama Kian bisa siapa saja. Banyak pria di luar sana bernama Kian.

Ia berjalan cepat menuju ruang konsultasi di ujung lorong. Tapi langkahnya sedikit goyah. Dan saat ia membuka pintu, semua dugaan gugur begitu saja.

Lelaki yang duduk di balik meja kaca kecil itu … adalah dia. Kian! Bukan Kian yang lain.

Tapi lelaki itu. Lelaki yang semalam menatapnya sebagai wanita, bukan sekadar istri orang. Lelaki yang menyentuhnya dengan diam-diam dan penuh pengertian. Lelaki yang meninggalkan bekas jauh lebih dalam dari sekadar fisik.

Kian berdiri begitu melihatnya masuk. Bibirnya terangkat dalam senyuman yang membuat jantung Runa seakan lupa berdetak sesaat.

Runa terdiam di ambang pintu.

“Kamu?” desisnya pelan, matanya terbelalak. “Kamu … apa yang kamu lakukan di sini?”

Kian menyelipkan kedua tangannya ke saku celana. Santai, tapi sorot matanya tajam.

“Aku mencari bantuan hukum,” jawabnya ringan. “Dan ternyata … semesta begitu murah hati.”

Runa menutup pintu perlahan di belakangnya, masih menatapnya seolah baru melihat hantu.

“Bantuan hukum?”

“Ya.” Kian menarik kursinya, lalu duduk kembali. “Aku ingin menggugat cerai istriku. Dan aku butuh pengacara yang tidak berpihak. Profesional. Rasional. Tegas.”

Nada suaranya netral. Tapi tatapan matanya menusuk, menembus batas ruangan.

Runa masih berdiri, belum sepenuhnya yakin apa yang sedang terjadi.

“Dan kamu … datang padaku?” bisiknya.

Kian mengangkat bahu. “Kenapa tidak? Aku dengar Bu Runa Kartika tidak hanya pengacara handal … tapi juga tahu rasanya menjadi istri yang ditinggalkan.”

Satu kalimat itu menyayat lebih dalam dari semua tamparan yang pernah ia terima.

Runa menelan ludah. Tangannya bergetar halus saat menarik kursi dan duduk di seberang Kian. Ia membuka map di hadapannya untuk menyembunyikan kegugupan yang mulai menyergap dari dada hingga tenggorokan.

“Baik,” ucapnya pelan, tapi mulai tegas. “Kalau kamu serius ingin bercerai, aku akan bantu sesuai prosedur. Secara profesional. Tidak lebih.”

Runa menarik napas panjang. Tangannya menuliskan beberapa butir data di lembar konsultasi, mencoba bersikap biasa.

Tapi jari-jarinya sedikit kaku. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Kian, hanya untuk menemukan pria itu sedang … memandangnya.

Tatapan Kian tenang. Tapi mata itu seolah menguliti satu demi satu lapisan ketenangan palsu yang coba ia bangun sejak pagi.

“Boleh saya tahu, Bu Runa,” suara Kian terdengar dalam, sedikit rendah, “berapa lama Anda sudah menikah?”

Runa mengerjap. Ia mengangkat wajah. “Maaf?”

Kian menyandarkan tubuhnya pada kursi. “Aku hanya ingin tahu ... bagaimana rasanya hidup dalam pernikahan yang kosong selama tiga tahun dan masih mampu terlihat setegas ini di kantor.”

Nada suaranya tak menuduh. Tapi kalimat itu menusuk, dalam, dan terlalu tepat sasaran.

Runa mengalihkan pandangan, membuka lembar baru di mapnya. “Ini bukan tentang aku.”

“Tentu saja bukan,” balas Kian cepat. “Tapi ... aku tidak bisa pura-pura tidak mengenal tubuh perempuan yang semalam tidur dalam pelukanku.”

Tangan Runa berhenti menulis. Sekilas ia menoleh, dan sorot matanya tajam. “Berhenti bicara seperti itu. Kita tidak sedang di kamar losmen.”

Kian tersenyum pelan. Ia menyilangkan kaki, sementara lengannya diletakkan santai di sandaran kursi.

“Maaf. Tapi sulit memisahkan yang profesional dan personal ... ketika kamu bahkan belum menghapus bekas ciumanku di bagian belakang telingamu.”

Pipi Runa langsung memanas. Ia membalik halaman dokumen terlalu cepat hingga kertasnya nyaris robek.

“Jaga sikapmu,” desisnya pelan.

“Kalau kamu benar-benar ingin aku jaga sikap, kamu takkan memilih untuk menangani kasusku,” balas Kian, tatapannya membara. “Kamu bisa menyerahkannya ke rekanmu. Tapi kamu tidak melakukannya. Kenapa?”

Runa terdiam. Rahangnya mengeras. Ia tahu Kian sedang bermain, dan ia benci karena hatinya tak bisa sepenuhnya menang.

Kian berdiri. Melangkah ke sisi meja. Tubuhnya tinggi, bayangannya jatuh sebagian ke arah Runa.

Ia berhenti tepat di sampingnya. Tidak menyentuh, tidak bicara. Ia hanya berdiri cukup dekat untuk membuat napas Runa tercekat.

“Aku akan mengirim semua dokumen sore ini,” bisiknya, hampir menyentuh daun telinganya. “Tapi kalau kamu ingin bicara … bukan sebagai pengacara, bukan sebagai istri Darrel Lukito, tapi sebagai perempuan yang utuh, kamu tahu di mana bisa menemukan aku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
tinggalkan Darrel yg br3n9s3k Runa..kejam gitupun. hadeh kian demen godain Runa yg udh deg-deg ser.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP64

    Ketukan palu hakim kembali menggema, meredakan riuh sesaat di ruang sidang. Semua mata kini tertuju pada sosok perempuan yang baru saja berdiri lantang di hadapan majelis.“Yang mulia!” suara Runa Kartika terdengar tegas, nyaring, membawa gelombang kejutan. “Semua laporan itu … memang sudah ditukar oleh seseorang!”Ruangan seketika senyap. Hakim mencondongkan tubuhnya, alis terangkat tajam. “Siapa Anda? Apa kapasitas Anda berbicara di ruang sidang ini?” tanyanya, penuh wibawa.Runa menarik napas dalam, lalu menjawab dengan lantang, “Saya, Runa Kartika. Salah satu kuasa hukum dari terdakwa, Kian Mahesa.”Bisik-bisik kembali bergaung, kali ini dengan nada tak percaya. Sementara Kian menatap Runa, campuran lega dan haru memenuhi sorot matanya. Ia tahu, Runa tak akan membiarkannya jatuh. “Yang mulia,” lanjut Runa, sembari mengangkat map coklat yang dibawanya, “saya memiliki bukti bahwa laporan keuangan Surya Group yang dijadikan dasar tuduhan ini bukan hanya dimanipulasi, tetapi benar-be

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP63

    Malam itu bergulir dalam denyut yang semakin cepat, dalam sentuhan yang semakin dalam, dalam desahan yang pecah berulang kali memecah kesunyian. Waktu seakan lenyap, dunia seakan berhenti, menyisakan hanya mereka berdua yang tenggelam dalam pusaran hasrat dan perasaan yang lama terpendam.Kian memacu, hentakan demi hentakan itu semakin kuat dan liar. Tangannya menahan sepasang tangan Runa tepat di atas kepalanya, seolah tak ingin memberi kesempatan bahkan untuk menjauh sedikit saja darinya. Setiap hentakan itu seperti hendak meluluhlantakkan tubuh Runa, membuat tubuhnya semakin gelisah dalam kenikmatan yang menggelitik melewati sistem sarafnya. Terasa sensasi.aneh di dalam perutnya, yang bahkan tak dapat digambarkannya dengan kata-kata. Panas! Setiap gesekan itu terasa panas di kulitnya, setiap hentakan itu seperti menyiksanya dengan kenikmatan yang ia bahkan tak tahu, ingin dihentikannya atau justru diinginkannya.Sentuhan itu seperti api yang berkobar di bawah kulitnya, membawanya

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP62

    Runa memejamkan matanya. Namun sesaat kemudian ia melepaskan Kian dengan dorongan pelan. Bibirnya masih panas oleh ciuman tadi, tapi suaranya bergetar menahan keraguan.“Kian … bagaimana dengan Chaca?”Pertanyaan itu meluncur lirih, tapi tajam, menusuk di antara jarak mereka yang masih terlalu dekat. Mata Runa bergetar, ia menolak sekaligus menunggu sebuah jawaban. “Aku nggak mau jadi orang ketiga. Aku nggak mau jadi perempuan yang merusak hubungan orang lain. Kamu tahu gimana hidupku dulu. Aku pernah jadi istri yang cuma sekedar status. Aku tau rasanya diabaikan, karena itu aku nggak akan pernah rela menyeret perempuan lain ke tempat itu.”Kian terdiam, wajahnya menegang, lalu mendekat satu langkah lagi. Tangannya mengangkat dagu Runa, memaksanya untuk menatap lurus ke arahnya. Nafasnya berat, tapi matanya bergeming.“Runa, denger aku baik-baik. Aku nggak pernah, sedikitpun, menganggap dia spesial. Aku mungkin pernah hampir terseret keadaan, tapi hatiku nggak pernah ada buat dia. Da

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP61

    Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Runa kosong menatap ke luar jendela. Kilasan wajah Darrel, tawarannya, dan ancaman halusnya terus berputar di kepala. Ia masih bisa mendengar jelas suara laki-laki itu, begitu yakin bisa menariknya kembali hanya dengan janji manisnya. “Kalau kamu pulang, Litha akan aku usir malam ini juga.”Runa memejamkan mata. Ia tahu persis, itu hanya pola yang akan kembali berulang. Ia tahu Darrel melakukan itu hanya demi keuntungan pribadinya. Namun masalahnya jika ia menolak, Kian bisa saja menanggung akibat yang tak seharusnya. Tuduhan itu, mungkin akan berubah menjadi masalah yang semakin besar dan jika benar-benar masuk pengadilan, maka reputasi Kian akan hancur. “Run?” suara Juwita memecah lamunannya saat mobil yang ditumpanginya sudah berhenti di depan apartemen.Runa tersentak ringan sebelum mengangguk. “Terima kasih.”“Yakin, nggak mau aku temenin malam ini?”Runa tersenyum samar, meski matanya letih. “Aku butuh sendiri. Jangan khawatir. Aku akan ba

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP60

    Restoran malam itu dipenuhi cahaya lampu gantung kristal yang memantul lembut di dinding kaca. Aroma steak dan wine melayang di udara, diiringi alunan jazz klasik dari sudut ruangan. Runa duduk anggun bersama Juwita, sesekali menyuap potongan salmon sambil berdiskusi santai.“Lucu, ya,” ucap Juwita dengan nada getir, “orang kaya tabrak orang miskin, yang mati dihitung bukan nyawanya, tapi seberapa kuat koneksinya.”Runa meletakkan garpu, tersenyum tipis. “Hukum di negeri ini sering kali bukan soal benar-salah. Lebih sering soal siapa yang punya uang paling banyak untuk membeli kata ‘adil’.”Belum sempat Juwita menimpali, tawa keras dan bernada mengejek memecah ketenangan ruangan.“Oh, lihat siapa di sini. Runa Kartika, pengacara sekaligus duta anti selingkuh, yang kabarnya justru selingkuh dari suaminya sendiri.”Semua kepala refleks menoleh. Litha berdiri di dekat meja mereka, tubuhnya dilapisi gaun ketat merah marun yang berkilau. Wajahnya penuh kepuasan karena berhasil menarik perh

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP59

    Runa duduk di ruang kerjanya dengan mata yang berat. Sejak berita kemunculan Chaca memenuhi headline, pikirannya terus kalut. Ia baru saja menutup berkas di hadapannya ketika suara telepon masuk memecah keheningqn. Melihat nama Robert yang mengambang di layarnya, Runa segera mengangkatnya. “Run?” suara Robert terdengar hati-hati. “Aku hubungi karena aku khawatir sama kamu. Apa sore tadi … Kian datang ke kantormu?” “Iya. Bagaimana kamu bisa tahu?” “Ada seseorang yang memotret kalian berdua dan foto itu sudah mulai beredar,” sahut Robert dengan suara tenang seolah sedang menjaga perasaan Runa. “Run, kalau boleh tahu … apa benar ada hubungan khusus di antara kalian?”Runa terdiam. Dadanya berdebar kencang. Ia tahu cepat atau lambat hal ini akan jadi pertanyaan. Jemarinya gemetar saat menggenggam ponsel. “Robert … aku —” suaranya tercekat, ia menarik napas panjang. “Aku memang bertemu Kian. Bukan hanya sekali. Dan aku … aku merasa bersalah. Karena aku masih terikat dengan Darrel. Aku s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status