Darrel tak langsung bicara. Sorot matanya menghitam. Rahangnya terkunci, dan jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kalimat Runa barusan menyulut sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar marah.
“Ulangi,” desisnya pelan. “Ulangi kalimat barusan, Runa.” Tapi Runa hanya diam. Sorot matanya tajam, tidak bergeming. Ia berdiri tegak, meski jantungnya berdenyut kencang. Tiba-tiba, tangan Darrel menghantam pipinya. Suara tamparan itu menggema keras di ruang kecil kamar mandi. Runa terhuyung ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan, dan menabrak pintu kayu di belakangnya. Belum sempat ia menarik napas, Darrel sudah mencengkram lengannya. “Kalau kamu berani buat Mama kecewa,” bisiknya tajam di telinga Runa, “kamu akan lihat siapa aku sebenarnya.” “Sudah telat, Darrel,” Runa menjawab, napasnya terputus-putus, suara gemetar tapi keras. “Aku sudah lihat siapa kamu … sejak malam pertama kita menikah.” Pukulan selanjutnya datang tanpa peringatan. Kali ini bukan ke wajah, tapi ke bahu, cukup kuat untuk membuatnya terjatuh ke lantai. Kepalanya terbentur ujung wastafel, dan rasa panas menjalar ke pelipis. “Berhenti bersikap suci! Kau pikir aku nggak tahu kenapa kau berani sekarang?” Darrel mendekat, membungkuk dengan sorot mata penuh amarah. “Karena laki-laki itu? Yang kamu tiduri semalam kan?” Runa menahan diri. Ia menatap suaminya dari bawah, tidak menjawab. Tak ingin memberikan bahan bakar lagi untuk kemarahannya. Darrel berdiri lama, menatap Runa dengan napas berat. Lalu ia melangkah mundur dan keluar dari kamar mandi, membanting pintu keras. Runa tetap diam di lantai. Ia menunduk, lututnya gemetar, napasnya pendek. Bukan karena rasa takut. Tapi karena kelelahan. Hatinya terlalu lelah untuk marah, terlalu lelah untuk menangis. *** Pagi itu, lampu putih di langit-langit toilet wanita kantor menyinari wajah Runa dari atas, membentuk bayangan tipis di bawah matanya yang sembab. Ia berdiri diam di depan cermin besar yang membentang di sepanjang dinding. Jemarinya menggenggam erat sisi wastafel marmer. Tubuhnya tampak anggun dalam balutan blouse satin abu-abu dan rok pensil hitam yang rapi. Tapi bayangan di cermin menunjukkan sesuatu yang berbeda. Ia menarik napas panjang, lalu mengangkat dagu, meneliti wajahnya dengan mata tajam. Sedikit concealer sudah ia usapkan sejak di rumah tadi, tapi samar-samar, masih terlihat semburat keunguan di tulang pipi, bekas tangan suaminya. Di balik rambutnya yang dibiarkan longgar menutupi sisi leher, ada goresan kecil. Tak terlihat jelas bagi orang lain. Tapi Runa tahu, di situlah luka terparahnya. Bukan karena sakit, tapi karena ia membiarkannya terjadi. Lagi. “Apa yang kau lihat?” bisiknya pelan. “Istri dari pria kaya? Pengacara hebat? Atau perempuan bodoh yang bertahan terlalu lama?” Matanya tak berkedip. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Ia membasuh tangan, lalu merapikan blouse dan blazer, sebelum keluar dari toilet. Lorong kantor yang wangi dan steril menyambutnya dengan sunyi. Baru saja ia akan melangkah ke ruangannya, sekretaris muda yang berjaga menghampirinya. “Bu Runa, ada klien baru menunggu di ruang konsultasi. Dari Surya Group. Namanya … Pak Kian.” Langkah Runa terhenti. Nama itu menghantam kepalanya seperti pecahan kaca. Napasnya sempat tersendat. Ia mematung dua detik, matanya melebar, dan jantungnya berdetak lebih kencang. “Kian?” ulangnya, pelan, nyaris tak terdengar. “Dia … datang kemari?” Sekretarisnya mengangguk. “Iya, Bu. Dia sudah menunggu. Katanya mau konsultasi langsung soal gugatan cerai. Urgent.” Gugatan cerai? Runa menarik napas panjang, mencoba menstabilkan detak jantungnya yang tiba-tiba kacau. Itu pasti cuma kebetulan. Nama Kian bisa siapa saja. Banyak pria di luar sana bernama Kian. Ia berjalan cepat menuju ruang konsultasi di ujung lorong. Tapi langkahnya sedikit goyah. Dan saat ia membuka pintu, semua dugaan gugur begitu saja. Lelaki yang duduk di balik meja kaca kecil itu … adalah dia. Kian! Bukan Kian yang lain. Tapi lelaki itu. Lelaki yang semalam menatapnya sebagai wanita, bukan sekadar istri orang. Lelaki yang menyentuhnya dengan diam-diam dan penuh pengertian. Lelaki yang meninggalkan bekas jauh lebih dalam dari sekadar fisik. Kian berdiri begitu melihatnya masuk. Bibirnya terangkat dalam senyuman yang membuat jantung Runa seakan lupa berdetak sesaat. Runa terdiam di ambang pintu. “Kamu?” desisnya pelan, matanya terbelalak. “Kamu … apa yang kamu lakukan di sini?” Kian menyelipkan kedua tangannya ke saku celana. Santai, tapi sorot matanya tajam. “Aku mencari bantuan hukum,” jawabnya ringan. “Dan ternyata … semesta begitu murah hati.” Runa menutup pintu perlahan di belakangnya, masih menatapnya seolah baru melihat hantu. “Bantuan hukum?” “Ya.” Kian menarik kursinya, lalu duduk kembali. “Aku ingin menggugat cerai istriku. Dan aku butuh pengacara yang tidak berpihak. Profesional. Rasional. Tegas.” Nada suaranya netral. Tapi tatapan matanya menusuk, menembus batas ruangan. Runa masih berdiri, belum sepenuhnya yakin apa yang sedang terjadi. “Dan kamu … datang padaku?” bisiknya. Kian mengangkat bahu. “Kenapa tidak? Aku dengar Bu Runa Kartika tidak hanya pengacara handal … tapi juga tahu rasanya menjadi istri yang ditinggalkan.” Satu kalimat itu menyayat lebih dalam dari semua tamparan yang pernah ia terima. Runa menelan ludah. Tangannya bergetar halus saat menarik kursi dan duduk di seberang Kian. Ia membuka map di hadapannya untuk menyembunyikan kegugupan yang mulai menyergap dari dada hingga tenggorokan. “Baik,” ucapnya pelan, tapi mulai tegas. “Kalau kamu serius ingin bercerai, aku akan bantu sesuai prosedur. Secara profesional. Tidak lebih.” Runa menarik napas panjang. Tangannya menuliskan beberapa butir data di lembar konsultasi, mencoba bersikap biasa. Tapi jari-jarinya sedikit kaku. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Kian, hanya untuk menemukan pria itu sedang … memandangnya. Tatapan Kian tenang. Tapi mata itu seolah menguliti satu demi satu lapisan ketenangan palsu yang coba ia bangun sejak pagi. “Boleh saya tahu, Bu Runa,” suara Kian terdengar dalam, sedikit rendah, “berapa lama Anda sudah menikah?” Runa mengerjap. Ia mengangkat wajah. “Maaf?” Kian menyandarkan tubuhnya pada kursi. “Aku hanya ingin tahu ... bagaimana rasanya hidup dalam pernikahan yang kosong selama tiga tahun dan masih mampu terlihat setegas ini di kantor.” Nada suaranya tak menuduh. Tapi kalimat itu menusuk, dalam, dan terlalu tepat sasaran. Runa mengalihkan pandangan, membuka lembar baru di mapnya. “Ini bukan tentang aku.” “Tentu saja bukan,” balas Kian cepat. “Tapi ... aku tidak bisa pura-pura tidak mengenal tubuh perempuan yang semalam tidur dalam pelukanku.” Tangan Runa berhenti menulis. Sekilas ia menoleh, dan sorot matanya tajam. “Berhenti bicara seperti itu. Kita tidak sedang di kamar losmen.” Kian tersenyum pelan. Ia menyilangkan kaki, sementara lengannya diletakkan santai di sandaran kursi. “Maaf. Tapi sulit memisahkan yang profesional dan personal ... ketika kamu bahkan belum menghapus bekas ciumanku di bagian belakang telingamu.” Pipi Runa langsung memanas. Ia membalik halaman dokumen terlalu cepat hingga kertasnya nyaris robek. “Jaga sikapmu,” desisnya pelan. “Kalau kamu benar-benar ingin aku jaga sikap, kamu takkan memilih untuk menangani kasusku,” balas Kian, tatapannya membara. “Kamu bisa menyerahkannya ke rekanmu. Tapi kamu tidak melakukannya. Kenapa?” Runa terdiam. Rahangnya mengeras. Ia tahu Kian sedang bermain, dan ia benci karena hatinya tak bisa sepenuhnya menang. Kian berdiri. Melangkah ke sisi meja. Tubuhnya tinggi, bayangannya jatuh sebagian ke arah Runa. Ia berhenti tepat di sampingnya. Tidak menyentuh, tidak bicara. Ia hanya berdiri cukup dekat untuk membuat napas Runa tercekat. “Aku akan mengirim semua dokumen sore ini,” bisiknya, hampir menyentuh daun telinganya. “Tapi kalau kamu ingin bicara … bukan sebagai pengacara, bukan sebagai istri Darrel Lukito, tapi sebagai perempuan yang utuh, kamu tahu di mana bisa menemukan aku.”“Iya, aku kangen banget sama dia. Puas?” balas Runa, “astaga … bahkan saat dia tidak ada di sini, kamu juga masih cemburu sama dia?” Kian tertawa, tangannya meraih pinggang Runa, kemudian menarik tubuh perempuan itu lebih dekat ke arahnya. Ia mendekatkan wajahnya, menatap mata Runa dengan tatapan intens yang penuh dengan kesungguhan. “Aku cemburu, tentu saja. Karena aku cinta sama kamu. Karena aku nggak mau kamu lihat pria lain selain aku,” imbuhnya. Runa merasakan jantungnya berdegup kencang. Napasnya tertahan saat menatap mata Kian yang begitu dekat, begitu intens. Tangannya terangkat, menyentuh dada Kian yang bidang, merasakan detak jantung lelaki itu yang berdegup sama cepatnya dengan miliknya. “Kian …” Runa berbisik pelan. Tanpa menunggu lagi, Kian menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Runa dengan lembut. Awalnya hanya kecupan ringan, seolah bertanya izin. Tapi, begitu Runa membalas, kecupan i
Runa menatap Kian dengan tatapan penuh kekhawatiran. Di sekelilingnya, Karin dan Bram masih berbincang dengan antusias tentang rencana pernikahan, membahas tema, lokasi, bahkan bunga yang akan digunakan. Namun, Runa sama sekali tidak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi dengan satu hal. Bagaimana mungkin mereka bisa menikah jika secara hukum dia masih terikat dengan Darrel?Kian merasakan kecemasan Runa melalui genggaman tangannya yang semakin kencang. Ia menoleh ke arah Runa, lalu tersenyum tipis. Sebuah senyum yang menenangkan tapi penuh dengan kepastian.“Ayo, ikut aku.” Kian menarik tangan Runa dengan cepat. Runa membungkukkan setengah badannya sambil tersenyum, lalu mengikuti Kian. Keduanya berjalan cepat menuju ruang kerja Kian yang ada di sudut rumah.Runa menatap punggung Kian dengan tatapan bingung. Jantungnya berdegup kencang, perasaan tidak enak mulai menyelinap di dadanya. Apa yang akan Kian ambil? Apa yang akan dia tunjukkan?Beberapa saat kemudian, Kian berbalik dengan sebuah
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Runa menatap keluar jendela, tangannya terkepal di pangkuannya, pikirannya berkecamuk. Ia masih bisa merasakan kekecewaan yang terpancar dari wajah Kian tadi. Ia tahu, penolakannya pasti menyakiti Kian. Tapi, Runa tidak bisa begitu saja mengabaikan kenyataan bahwa secara hukum, dia masih terikat dengan Darrel.Kian tidak mengatakan apa-apa lagi. Tangannya mencengkeram setir dengan tenang, wajahnya datar, matanya fokus ke jalan. Namun, Runa bisa merasakan ketegangan yang masih menggantung di udara di antara mereka.Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Runa menyadari sesuatu yang aneh. Jalanan yang mereka lalui bukan jalanan menuju apartemennya. Ia mengerutkan alis, menoleh ke arah Kian dengan tatapan bingung.“Kian, ini bukan jalan ke apartemen kita,” kata Runa.Kian tidak menjawab. Ia hanya terus mengemudi dengan tenang, seolah tidak mendengar pertanyaan Runa.“Kian? Kita mau ke mana?” Runa melontarkan pertanyaan. Membuat
Kian memarkirkan mobilnya di area parkir rumah sakit yang luas, matanya langsung menyapu sekeliling mencari sosok Runa. Ia sudah mengirim pesan sejak tadi pagi, mengatakan akan menjemput Runa setelah urusan di rumah sakit selesai. Namun, sejak sampai, dia tidak menemukan Runa di lobi atau di koridor tempat mereka biasa bertemu. Kian melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit. Matanya terus mencari keberadaan Runa. Dan langkahnya terhenti tepat di jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumah sakit. Kian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Runa duduk di bangku taman dengan sinar matahari sore yang menerangi rambutnya yang tergerai lembut. Tapi, yang membuat langkah Kian terhenti adalah sosok lelaki yang duduk di kursi roda tepat di sebelah Runa. Robert. Lelaki itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kian melihatnya, wajahnya pucat, tapi senyumnya masih sama, senyum yang terlalu hangat, terlalu akrab.
Runa merasakan paru-parunya terbakar, napasnya tercekat di tenggorokan yang dicengkeram dengan keras oleh tangan Darrel. Matanya mulai berkabut, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Tangannya mencakar pergelangan tangan Darrel, kukunya menggores kulit lelaki itu, tapi genggaman Darrel tidak mengendur sedikitpun.“Jawab aku, Runa!” Darrel berteriak lagi.Suara pria itu memekakkan telinga di ruang sempit itu. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menegang, matanya menyala penuh amarah yang tidak terkendali. “Apa yang kamu katakan ke Mama? Kamu meracuni pikirannya, kan? Kamu bilang apa tentang Litha? Kamu pasti berkata buruk tentang Litha pada Mama, bukan? Katakan, Runa! Mustahil kamu tidak mengatakan hal buruk tentang Litha!”Runa membuka mulutnya, mencoba menjawab, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya desahan napas tersengal-sengal yang terdengar semakin lemah. Penglihatan Runa mulai mengabur, tubuhnya melemas, tangannya yang semula menc
Runa menatap pintu ruang rawat yang terbuka di hadapannya. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu melangkah masuk dengan perlahan.Ruangan itu sunyi, hanya terdengar dengungan halus mesin-mesin medis yang terpasang di sekitar tempat tidur. Cahaya lampu redup memberikan suasana yang tenang tapi menegangkan. Di tengah ruangan, terbaring sosok Lila Lukito dengan kepala bersandar pada bantal putih tebal. Wajah Lila tampak pucat, kurus, dengan garis-garis halus yang semakin dalam di sekitar matanya. Tapi, matanya, mata yang selalu penuh kehangatan itu kini terbuka, menatap ke arah pintu dengan pandangan yang begitu lembut.“Mama.” Runa memanggil pelan, suaranya bergetar tanpa bisa dia sembunyikan.Lila tersenyum tipis, tangannya yang kurus terangkat perlahan dari atas selimut, seolah mengundang Runa untuk mendekat. “Runa, Sayang. Kemarilah.”Runa m