Share

GLP7

last update Last Updated: 2025-07-19 18:40:02

Runa membuka pintu apartemen dengan langkah gontai. Hari itu terlalu panjang. Kantor menyita energinya, dan pertemuan tak terduga dengan Kian masih membekas di kepala.

Cara pria itu bicara, tatapannya, dan kenyataan bahwa malam di losmen itu bukan murni kebetulan membuat napasnya terasa sesak.

Ia menaruh tas di atas meja, lalu berjalan ke kamar. Setelah mengganti pakaian dan mandi, ia mengeringkan rambut perlahan, berdiri diam di depan cermin. Jantungnya masih belum tenang. Rambutnya setengah kering saat bel pintu berbunyi.

Tanpa banyak pikir, ia membukanya. Namun pemandangan yang ada di depannya membuatnya tertegun. Darrel berdiri di depan pintu. Tangannya melingkar di pinggang Litha yang terlihat menempel seperti parasit di sisinya.

Lelaki itu melangkah masuk tanpa bicara, disusul Litha yang tersenyum seolah ini adalah rumahnya sendiri. Runa menatap mereka tak percaya.

“Sedang apa dia di sini?” tanyanya datar.

Darrel melempar jasnya ke sofa, lalu menoleh santai. “Mulai malam ini, Litha tinggal di sini.”

Runa terkesiap. “Apa?”

“Aku butuh ketenangan, dan hanya dia yang bisa membantuku fokus.”

Litha langsung menyambar dengan suara lembut dan senyum yang terlalu sopan. “Aku bisa tidur di sofa, atau … lantai. Aku nggak mau ganggu siapapun, Runa. Aku cuma ... butuh tempat aman.”

“Tempat aman?” Runa menyeringai sinis. “Dari siapa? Dari wartawan? Atau gosip murahan tentang skandal foto-foto vulgarmu?”

“Runa!” bentak Darrel tajam.

“Kamu membawa perempuan ini masuk ke rumah, dan bahkan bilang kalau dia akan tinggal di sini mulai malam ini? Apa kamu sudah gila?”

Darrel menghampirinya, wajahnya menegang. “Aku tidak minta persetujuanmu. Kamu hanya perlu menurut.”

“Ini juga rumahku, Darrel.”

“Tapi aku pemiliknya. Jadi, kalau kamu tidak nyaman, silakan tidur di luar.”

Runa mendekat. “Oh … Apa kamu tidak takut Mama tahu? Dia bisa kena serangan jantung kalau sampai tahu putra tercintanya tidur lagi dengan perempuan yang jelas-jelas dia benci.”

Darrel mendesis, ia mencengkeram rambut Runa dan mendekatkan wajahnya hingga napasnya terasa panas di wajah Runa. “Kalau kamu berani buka mulut soal ini ke Mama, aku bersumpah … kamu akan menyesal pernah hidup.”

“Apa yang kamu takuti, Darrel?” Runa mendongak menantang. “Seharusnya kamu nikahin dia, bukan aku! Kenapa … apa karena kamu takut nama keluargamu tercemar karena perempuan yang kamu peluk setiap malam?”

PLAK!

Darrel menampar pipinya keras. Runa terhuyung hingga tubuhnya terbentur ke dinding.

“Jaga mulutmu!” desis Darrel. “Jangan pernah singgung keluargaku!”

Litha langsung mendekat, seolah hendak memisahkan. Tapi dengan satu gerakan licik, ia menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai, mengerang pelan.

“Aduh ... Runa, kenapa kamu dorong aku? Aku cuma mau kalian berdua berhenti bertengkar ....”

Darrel membalikkan badan. Ia terkejut melihat Litha jatuh di belakangnya. “Litha!”

Runa masih memegang pipinya. “Dia menjatuhkan diri! Kamu serius percaya kalau ….”

“Aku bilang diam!” bentak Darrel. Tangannya mencengkram leher Runa. “Kalau Mama sampai tahu, atau kamu tindas Litha sedikit saja, aku pastikan kamu lenyap dari dunia ini.”

Runa meringis kesakitan. Ia tak dapat bernapas karena cengkraman tangan Darrel yang begitu kuat. Dan malangnya, ia tak dapat melawan.

Darrel menoleh, melihat Litha menyentuh pergelangan kakinya dengan raut wajah kesakitan. Hal itu membuat Darrel melepaskan cengkramannya dari leher Runa.

Tanpa berpikir panjang, Darrel langsung mengangkat tubuh Litha dan membawanya masuk ke kamar, meninggalkan Runa yang masih berdiri sendiri di ruang tengah. Ia tak peduli pada Runa, yang masih terengah mengatur kembali napasnya. Ia tak peduli pada istrinya yang kini dadanya mulai sesak oleh amarah yang tak sanggup lagi ditahan.

Pintu kamar itu terbanting keras. Dan untuk pertama kalinya, Runa berpikir bahwa batas kesabarannya tak akan bertahan lebih lama lagi.

Runa duduk di tepi sofa, diam, memeluk lutut. Rambutnya masih basah menggantung di bahu, menetes pelan ke piyama yang belum sempat diganti. Dunia di luar sana masih ramai, tapi di dalam apartemen ini, suara detik jam dinding lebih lantang dari segalanya.

Ia menunduk, menatap layar ponselnya. Jari-jarinya bergerak pelan, membuka kontak.

Kian. Nama itu berdiri sendiri di layar. Tanpa gambar. Tanpa banyak riwayat. Tapi hanya dengan melihatnya saja, detak jantung Runa seperti kembali ke malam itu. Pada sentuhan panasnya, pada hembusan napas hangat dan pandangan yang begitu memuja.

Dan kata-kata terakhir pria itu tentang bagaimana ia bisa melihat luka dalam Runa, bahkan sebelum Runa sendiri menyadarinya.

Jempolnya melayang di atas tombol hijau.

Ia menyentuh tombol pada layarnya. Panggilan itu pun tersambung.

Satu dering. Dua.

Tapi sebelum suara di seberang menjawab, Runa menarik ponselnya menjauh. Ia segera menggeser tombol merah di layarnya untuk membatalkan panggilannya.

Ia memejamkan mata, menahan napas yang gemetar. “Apa yang kulakukan …” bisiknya pada diri sendiri.

Tangannya mengepal, menyentuh bibirnya yang gemetar.

Ia bukan perempuan semurah itu. Ia bukan Litha. Bukan orang yang menerobos masuk dalam rumah tangga orang lain dan merampas tempat yang bukan miliknya. Meski pernikahannya sendiri nyaris tinggal puing-puing, tapi dia … dia tidak ingin menjadi perusak seperti yang dilakukan Litha padanya.

Tapi ketika ia bangkit dan berjalan ke dapur, langkahnya terhenti.

Suara dari balik kamar terdengar jelas. Desahan itu. Kasur yang memukul tembok dengan ritmenya. Tawa rendah Darrel yang menyebalkan. Dan … bisikan Litha … memanggil namanya dengan manja.

Jantung Runa seperti jatuh ke dasar jurang. Ia menggigit bibir. Tubuhnya bergetar. Ada rasa jijik, sakit, dan marah yang bercampur jadi satu.

Cukup!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
pergi Runa pergi..hargai dirimu sendiri..GK usah pikirkan ibu mertuamu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP107

    “Iya, aku kangen banget sama dia. Puas?” balas Runa, “astaga … bahkan saat dia tidak ada di sini, kamu juga masih cemburu sama dia?” Kian tertawa, tangannya meraih pinggang Runa, kemudian menarik tubuh perempuan itu lebih dekat ke arahnya. Ia mendekatkan wajahnya, menatap mata Runa dengan tatapan intens yang penuh dengan kesungguhan. “Aku cemburu, tentu saja. Karena aku cinta sama kamu. Karena aku nggak mau kamu lihat pria lain selain aku,” imbuhnya. Runa merasakan jantungnya berdegup kencang. Napasnya tertahan saat menatap mata Kian yang begitu dekat, begitu intens. Tangannya terangkat, menyentuh dada Kian yang bidang, merasakan detak jantung lelaki itu yang berdegup sama cepatnya dengan miliknya. “Kian …” Runa berbisik pelan. Tanpa menunggu lagi, Kian menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Runa dengan lembut. Awalnya hanya kecupan ringan, seolah bertanya izin. Tapi, begitu Runa membalas, kecupan i

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP106

    Runa menatap Kian dengan tatapan penuh kekhawatiran. Di sekelilingnya, Karin dan Bram masih berbincang dengan antusias tentang rencana pernikahan, membahas tema, lokasi, bahkan bunga yang akan digunakan. Namun, Runa sama sekali tidak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi dengan satu hal. Bagaimana mungkin mereka bisa menikah jika secara hukum dia masih terikat dengan Darrel?Kian merasakan kecemasan Runa melalui genggaman tangannya yang semakin kencang. Ia menoleh ke arah Runa, lalu tersenyum tipis. Sebuah senyum yang menenangkan tapi penuh dengan kepastian.“Ayo, ikut aku.” Kian menarik tangan Runa dengan cepat. Runa membungkukkan setengah badannya sambil tersenyum, lalu mengikuti Kian. Keduanya berjalan cepat menuju ruang kerja Kian yang ada di sudut rumah.Runa menatap punggung Kian dengan tatapan bingung. Jantungnya berdegup kencang, perasaan tidak enak mulai menyelinap di dadanya. Apa yang akan Kian ambil? Apa yang akan dia tunjukkan?Beberapa saat kemudian, Kian berbalik dengan sebuah

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP105

    Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Runa menatap keluar jendela, tangannya terkepal di pangkuannya, pikirannya berkecamuk. Ia masih bisa merasakan kekecewaan yang terpancar dari wajah Kian tadi. Ia tahu, penolakannya pasti menyakiti Kian. Tapi, Runa tidak bisa begitu saja mengabaikan kenyataan bahwa secara hukum, dia masih terikat dengan Darrel.Kian tidak mengatakan apa-apa lagi. Tangannya mencengkeram setir dengan tenang, wajahnya datar, matanya fokus ke jalan. Namun, Runa bisa merasakan ketegangan yang masih menggantung di udara di antara mereka.Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Runa menyadari sesuatu yang aneh. Jalanan yang mereka lalui bukan jalanan menuju apartemennya. Ia mengerutkan alis, menoleh ke arah Kian dengan tatapan bingung.“Kian, ini bukan jalan ke apartemen kita,” kata Runa.Kian tidak menjawab. Ia hanya terus mengemudi dengan tenang, seolah tidak mendengar pertanyaan Runa.“Kian? Kita mau ke mana?” Runa melontarkan pertanyaan. Membuat

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP104

    Kian memarkirkan mobilnya di area parkir rumah sakit yang luas, matanya langsung menyapu sekeliling mencari sosok Runa. Ia sudah mengirim pesan sejak tadi pagi, mengatakan akan menjemput Runa setelah urusan di rumah sakit selesai. Namun, sejak sampai, dia tidak menemukan Runa di lobi atau di koridor tempat mereka biasa bertemu. Kian melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit. Matanya terus mencari keberadaan Runa. Dan langkahnya terhenti tepat di jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumah sakit. Kian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Runa duduk di bangku taman dengan sinar matahari sore yang menerangi rambutnya yang tergerai lembut. Tapi, yang membuat langkah Kian terhenti adalah sosok lelaki yang duduk di kursi roda tepat di sebelah Runa. Robert. Lelaki itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kian melihatnya, wajahnya pucat, tapi senyumnya masih sama, senyum yang terlalu hangat, terlalu akrab.

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP103

    Runa merasakan paru-parunya terbakar, napasnya tercekat di tenggorokan yang dicengkeram dengan keras oleh tangan Darrel. Matanya mulai berkabut, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Tangannya mencakar pergelangan tangan Darrel, kukunya menggores kulit lelaki itu, tapi genggaman Darrel tidak mengendur sedikitpun.“Jawab aku, Runa!” Darrel berteriak lagi.Suara pria itu memekakkan telinga di ruang sempit itu. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menegang, matanya menyala penuh amarah yang tidak terkendali. “Apa yang kamu katakan ke Mama? Kamu meracuni pikirannya, kan? Kamu bilang apa tentang Litha? Kamu pasti berkata buruk tentang Litha pada Mama, bukan? Katakan, Runa! Mustahil kamu tidak mengatakan hal buruk tentang Litha!”Runa membuka mulutnya, mencoba menjawab, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya desahan napas tersengal-sengal yang terdengar semakin lemah. Penglihatan Runa mulai mengabur, tubuhnya melemas, tangannya yang semula menc

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP102

    Runa menatap pintu ruang rawat yang terbuka di hadapannya. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu melangkah masuk dengan perlahan.Ruangan itu sunyi, hanya terdengar dengungan halus mesin-mesin medis yang terpasang di sekitar tempat tidur. Cahaya lampu redup memberikan suasana yang tenang tapi menegangkan. Di tengah ruangan, terbaring sosok Lila Lukito dengan kepala bersandar pada bantal putih tebal. Wajah Lila tampak pucat, kurus, dengan garis-garis halus yang semakin dalam di sekitar matanya. Tapi, matanya, mata yang selalu penuh kehangatan itu kini terbuka, menatap ke arah pintu dengan pandangan yang begitu lembut.“Mama.” Runa memanggil pelan, suaranya bergetar tanpa bisa dia sembunyikan.Lila tersenyum tipis, tangannya yang kurus terangkat perlahan dari atas selimut, seolah mengundang Runa untuk mendekat. “Runa, Sayang. Kemarilah.”Runa m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status