Runa membuka pintu apartemen dengan langkah gontai. Hari itu terlalu panjang. Kantor menyita energinya, dan pertemuan tak terduga dengan Kian masih membekas di kepala.
Cara pria itu bicara, tatapannya, dan kenyataan bahwa malam di losmen itu bukan murni kebetulan membuat napasnya terasa sesak. Ia menaruh tas di atas meja, lalu berjalan ke kamar. Setelah mengganti pakaian dan mandi, ia mengeringkan rambut perlahan, berdiri diam di depan cermin. Jantungnya masih belum tenang. Rambutnya setengah kering saat bel pintu berbunyi. Tanpa banyak pikir, ia membukanya. Namun pemandangan yang ada di depannya membuatnya tertegun. Darrel berdiri di depan pintu. Tangannya melingkar di pinggang Litha yang terlihat menempel seperti parasit di sisinya. Lelaki itu melangkah masuk tanpa bicara, disusul Litha yang tersenyum seolah ini adalah rumahnya sendiri. Runa menatap mereka tak percaya. “Sedang apa dia di sini?” tanyanya datar. Darrel melempar jasnya ke sofa, lalu menoleh santai. “Mulai malam ini, Litha tinggal di sini.” Runa terkesiap. “Apa?” “Aku butuh ketenangan, dan hanya dia yang bisa membantuku fokus.” Litha langsung menyambar dengan suara lembut dan senyum yang terlalu sopan. “Aku bisa tidur di sofa, atau … lantai. Aku nggak mau ganggu siapapun, Runa. Aku cuma ... butuh tempat aman.” “Tempat aman?” Runa menyeringai sinis. “Dari siapa? Dari wartawan? Atau gosip murahan tentang skandal foto-foto vulgarmu?” “Runa!” bentak Darrel tajam. “Kamu membawa perempuan ini masuk ke rumah, dan bahkan bilang kalau dia akan tinggal di sini mulai malam ini? Apa kamu sudah gila?” Darrel menghampirinya, wajahnya menegang. “Aku tidak minta persetujuanmu. Kamu hanya perlu menurut.” “Ini juga rumahku, Darrel.” “Tapi aku pemiliknya. Jadi, kalau kamu tidak nyaman, silakan tidur di luar.” Runa mendekat. “Oh … Apa kamu tidak takut Mama tahu? Dia bisa kena serangan jantung kalau sampai tahu putra tercintanya tidur lagi dengan perempuan yang jelas-jelas dia benci.” Darrel mendesis, ia mencengkeram rambut Runa dan mendekatkan wajahnya hingga napasnya terasa panas di wajah Runa. “Kalau kamu berani buka mulut soal ini ke Mama, aku bersumpah … kamu akan menyesal pernah hidup.” “Apa yang kamu takuti, Darrel?” Runa mendongak menantang. “Seharusnya kamu nikahin dia, bukan aku! Kenapa … apa karena kamu takut nama keluargamu tercemar karena perempuan yang kamu peluk setiap malam?” PLAK! Darrel menampar pipinya keras. Runa terhuyung hingga tubuhnya terbentur ke dinding. “Jaga mulutmu!” desis Darrel. “Jangan pernah singgung keluargaku!” Litha langsung mendekat, seolah hendak memisahkan. Tapi dengan satu gerakan licik, ia menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai, mengerang pelan. “Aduh ... Runa, kenapa kamu dorong aku? Aku cuma mau kalian berdua berhenti bertengkar ....” Darrel membalikkan badan. Ia terkejut melihat Litha jatuh di belakangnya. “Litha!” Runa masih memegang pipinya. “Dia menjatuhkan diri! Kamu serius percaya kalau ….” “Aku bilang diam!” bentak Darrel. Tangannya mencengkram leher Runa. “Kalau Mama sampai tahu, atau kamu tindas Litha sedikit saja, aku pastikan kamu lenyap dari dunia ini.” Runa meringis kesakitan. Ia tak dapat bernapas karena cengkraman tangan Darrel yang begitu kuat. Dan malangnya, ia tak dapat melawan. Darrel menoleh, melihat Litha menyentuh pergelangan kakinya dengan raut wajah kesakitan. Hal itu membuat Darrel melepaskan cengkramannya dari leher Runa. Tanpa berpikir panjang, Darrel langsung mengangkat tubuh Litha dan membawanya masuk ke kamar, meninggalkan Runa yang masih berdiri sendiri di ruang tengah. Ia tak peduli pada Runa, yang masih terengah mengatur kembali napasnya. Ia tak peduli pada istrinya yang kini dadanya mulai sesak oleh amarah yang tak sanggup lagi ditahan. Pintu kamar itu terbanting keras. Dan untuk pertama kalinya, Runa berpikir bahwa batas kesabarannya tak akan bertahan lebih lama lagi. Runa duduk di tepi sofa, diam, memeluk lutut. Rambutnya masih basah menggantung di bahu, menetes pelan ke piyama yang belum sempat diganti. Dunia di luar sana masih ramai, tapi di dalam apartemen ini, suara detik jam dinding lebih lantang dari segalanya. Ia menunduk, menatap layar ponselnya. Jari-jarinya bergerak pelan, membuka kontak. Kian. Nama itu berdiri sendiri di layar. Tanpa gambar. Tanpa banyak riwayat. Tapi hanya dengan melihatnya saja, detak jantung Runa seperti kembali ke malam itu. Pada sentuhan panasnya, pada hembusan napas hangat dan pandangan yang begitu memuja. Dan kata-kata terakhir pria itu tentang bagaimana ia bisa melihat luka dalam Runa, bahkan sebelum Runa sendiri menyadarinya. Jempolnya melayang di atas tombol hijau. Ia menyentuh tombol pada layarnya. Panggilan itu pun tersambung. Satu dering. Dua. Tapi sebelum suara di seberang menjawab, Runa menarik ponselnya menjauh. Ia segera menggeser tombol merah di layarnya untuk membatalkan panggilannya. Ia memejamkan mata, menahan napas yang gemetar. “Apa yang kulakukan …” bisiknya pada diri sendiri. Tangannya mengepal, menyentuh bibirnya yang gemetar. Ia bukan perempuan semurah itu. Ia bukan Litha. Bukan orang yang menerobos masuk dalam rumah tangga orang lain dan merampas tempat yang bukan miliknya. Meski pernikahannya sendiri nyaris tinggal puing-puing, tapi dia … dia tidak ingin menjadi perusak seperti yang dilakukan Litha padanya. Tapi ketika ia bangkit dan berjalan ke dapur, langkahnya terhenti. Suara dari balik kamar terdengar jelas. Desahan itu. Kasur yang memukul tembok dengan ritmenya. Tawa rendah Darrel yang menyebalkan. Dan … bisikan Litha … memanggil namanya dengan manja. Jantung Runa seperti jatuh ke dasar jurang. Ia menggigit bibir. Tubuhnya bergetar. Ada rasa jijik, sakit, dan marah yang bercampur jadi satu. Cukup!Robert tidak membuang waktu. Begitu Runa duduk, sebuah flashdisk kecil diletakkan di atas meja. Gerakannya sederhana, nyaris tanpa suara. Benda mungil itu bagai sebuah peluru yang tidak terlihat berbahaya, namun sanggup meruntuhkan nama, karier, bahkan hidup seseorang.“Semua jawaban ada di sini,” ucap Robert dengan nada terukur, sengaja menahan kerasnya suara, seolah tidak ingin kalimatnya terdengar oleh siapapun kecuali Runa.Tatapan Runa jatuh ke arah flashdisk itu. Matanya menyipit, tidak segera menyentuhnya. Seperti seorang pemain catur yang menimbang setiap langkah. Ia menahan diri, bukan karena ragu, tetapi karena tahu betul nilai dari benda itu. Senjata atau jebakan, ia belum bisa menentukan sebelum mendengar isi yang sesungguhnya.“Beri aku inti utamanya,” katanya akhirnya, suaranya datar tapi menyimpan ketegangan.Robert condong ke depan. Jemarinya bertaut di atas meja, sorot matanya serius. “Akun anonim yang mengirim foto-foto itu ke media memakai sistem enkripsi ganda. Rum
Runa baru saja melangkah melewati koridor utama ketika suara langkah cepat dan napas terburu-buru terdengar di belakangnya.“Runa! Tunggu!” panggil Juwita sambil sedikit berlari kecil.Runa menoleh sekilas. “Kenapa, Juwita?”Tanpa menjawab, Juwita memberikan sebuah koran yang sudah agak kusut di genggamannya. “Kamu harus lihat ini. Sekarang.”Runa meraih koran itu sambil terus berjalan ke ruangannya. Begitu matanya menyapu halaman depan, langkahnya otomatis terhenti. Dalam artikel besar di halaman terdepannya terpampang jelas gambar dirinya dan Kian Mahesa. Pinggangnya dalam genggaman Kian, bibir mereka bersatu, seolah tanpa dunia di sekitar.Judul tebal menyalanya begitu memprovokasi bahkan menyebutkan namanya dengan tegas.“Skandal Bisnis dan Asmara Kian Mahesa dan Runa Kartika”Tenggorokannya kering seketika. Ia melipat koran itu, tapi jemarinya terasa dingin. “Siapa yang melakukan ini? Ah, tidak mungkin ini cuma kebetulan.”Begitu pintu ruangannya tertutup, telepon meja berdering
Juwita mengangkat wajahnya perlahan, ia masih ragu. "Run … ini sudah klien besar kedua yang mundur dalam minggu ini."Runa memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi dengan tatapan tajam. "Oke. Catat baik-baik. Kita akan buat daftar semua klien yang mundur, beserta alasan mereka. Aku mau tahu siapa yang menghubungi mereka sebelum keputusan itu diambil.""Baik … tapi —""Nggak ada tapi." Runa memotong cepat, lalu duduk di kursinya. "Kalau mereka mau main kotor, kita nggak akan diam. Darrel pikir dia bisa tekan aku lewat bisnis? Salah besar."Juwita menggenggam tablet lebih erat. "Run,aku … aku cuma takut ini bakal makin besar."Runa menatapnya lama. "Wit, dengar. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Kalau mereka mau perang, kita kasih perang. Tapi kali ini … kita yang pilih medannya."Juwita mengangguk pelan, tapi ekspresinya masih khawatir. Ia berbalik menuju pintu, lalu berhenti. "Run … kamu hati-hati, sepertinya Darrel nggak main-main."Runa tersenyum tipis, senyum yang lebih mi
Telepon di meja Runa bergetar keras, tapi ia justru menutupnya dan menekan tombol panggil setelah memilih nomor Darrel. Setiap nada tunggu membuat darahnya berdesir lebih cepat, hingga akhirnya suara itu terdengar di telinganya. Datar dan nyaris tanpa emosi.“Runa.”“Jangan pura-pura nggak tahu.” Suara Runa tajam, tanpa ucapan salam. “Aku baru saja lihat live stream itu. Litha, di depan ratusan ribu orang, memainkan narasi yang jelas-jelas menjatuhkan aku. Dan kamu … membiarkannya.”Terdengar tawa kecil di ujung sana, tawa pendek yang dingin. “Membiarkannya? Runa, aku tidak bisa mengontrol semua orang, apalagi Litha.”Runa mengepalkan tangan. “Omong kosong. Aku yakin dia nggak akan bisa ngomong se-presisi itu tanpa ada yang membisikinya. Dan satu-satunya orang yang diuntungkan dari semua ini adalah —”“Cukup.” Nada suara Darrel berubah tajam, memotong kalimatnya. “Kalau kamu mau nuduh aku, pastikan kamu siap dengan bukti. Atau … sebenarnya kamu cemburu karena aku nggak pernah punya ha
Pagi itu, kantor masih sunyi. Hanya suara kipas pendingin dan derit kursi yang mengisi ruang. Runa baru saja membuka laptopnya ketika suara langkah terburu-buru terdengar dari arah koridor. Juwita muncul di pintu dengan wajah pucat dan napas tersengal, seperti baru saja berlari dari ujung gedung.“Run …” suaranya parau, matanya lebar. “Kamu harus lihat ini. Sekarang.”Tanpa menunggu persetujuan, Juwita menaruh ponselnya di atas meja kerja Runa. Layar menampilkan sebuah siaran langsung di media sosial yang sudah ditonton puluhan ribu orang.Di layar, Litha duduk di kursi beludru abu-abu, di depan meja kaca dengan bunga putih yang disusun rapi. Latar belakangnya sederhana, tapi pencahayaan sempurna membuat kulitnya terlihat bercahaya. Gaun biru pastel yang ia kenakan memberi kesan lembut yang rapuh.“Pagi ini …” suara Litha terdengar rendah, nyaris gemetar, “saya memutuskan untuk bicara … setelah sekian lama saya memilih diam.”Ia berhenti sebentar, menunduk, dan menarik napas panjang.
Malam sudah sangat larut saat pintu apartemen terbuka perlahan. Darrel masuk dan menutupnya tanpa suara. Gerakannya tenang, tapi berat seperti seseorang yang baru saja menjalani jam-jam panjang penuh basa-basi dan senyum palsu. Aroma parfum kayu yang hangat langsung menyusup ke ruangan, mendahului sosoknya. Jas hitamnya basah di bagian bahu, rambutnya sedikit acak akibat hujan.Litha duduk di sofa, kaki disilangkan dengan posisi yang tampak santai tapi penuh perhitungan. Gaun satin tipis berwarna gelap terlihat cantik dengan warna kulitnya yang kontras, mengikuti lekuknya dengan kilau lembut yang hampir terlalu intim untuk malam yang dingin. Rambutnya terurai agak berantakan, eyeliner-nya juga mulai memudar. Di meja kopi, segelas wine merah hanya tersisa setengah, namun jemarinya memegangnya seolah tak akan melepaskan.“Kamu datang juga,” suaranya datar, nyaris dingin, tanpa menoleh.Darrel menggantung jasnya di kursi makan, lalu berjalan pelan, tatapannya mengikuti Litha dari ujung k