Ketika pintu penthouse itu terbuka dan menampakkan seorang bule bertelanjang dada dengan celana menggantung tak tertutup sempurna di pinggulnya, Rayden rasanya ingin mengamuk."Dimana Kak Alice?! Lepaskan Kakakku, Bastard!" sembur Rayden seraya melotot menuding-nuding wajah Matthew Leigh.Kesembilan pria pengawal dua kubu yang tadinya heboh bertarung pun sontak berhenti dan mendadak suasana hening melihat kedua bos mereka berhadapan. Mereka menunggu perkembangan situasinya."Hey, Brat! Sopan sedikit pada orangtua! Kau tunggulah di lobi. Aku akan membawa Alice turun ke bawah," ujar Matthew lalu membalik badannya akan masuk kembali ke penthouse-nya.Di luar dugaan Matthew, bocah remaja itu mendorongnya ke samping dengan keras hingga tubuhnya menabrak pintu lalu berlari masuk ke dalam penthouse itu."KAK ALICE!" jerit Rayden ketika melihat penampilan Alice yang kacau di atas ranjang dengan posisi kedua tangan terikat dasi di dua pilar kepala tempat tidur itu. Rayden berdiri di sisi ranja
Melihat kakaknya sudah berpakaian lengkap sekalipun tampak kebesaran karena itu pinjaman si bule gila, Rayden pun bangkit berdiri dari tepi ranjang."Ayo, Kak, kita turun. Kunci unitnya sudah dikirim pengelola apartment barusan," ujar Rayden mendekati kakaknya dan menatap sengit pada Matthew Leigh.Alice tidak setuju dengan sikap kasar adiknya pada Matthew. Dia pun menyentuh lengan Matthew seraya berkata, "Matt, terima kasih sudah mencarikan kami tempat untuk menginap malam ini. Aku pamit dulu bersama Rayden."Ucapan Alice menyurutkan amarah Matthew pada bocah tengik itu. Gadis itu benar-benar berhati malaikat, dia sangat menyukainya. Matthew pun menjawab, "Beristirahatlah malam ini, Alice. Besok akan kujemput untuk sarapan dan kuantar ke rumah karantina.""Ini sudah pagi kali, Om! Nggak usah sok-sokan deh, besok Kak Alice mau kubawa pulang ke rumah saja. Nggak perlu lanjut Top Sing Idol, dia bukan pelacur yang bisa sembarangan kau jamah!" sindir Rayden pedas seraya memicingkan matan
"Pagi bener sudah apel kemari, Om!" ucap Rayden sembari menguap lebar karena masih mengantuk.Sedangkan, Matthew menyeringai tampan menatap pemuda itu tampak begitu kacau penampilannya. "Aku datang untuk mengurusi kalian, Bocah tengil!"Rayden pun manggut-manggut merasa sedikit tersentuh oleh perhatian pria bule itu. Dia pun berbicara dalam bahasa Inggris agar dipahami Matthew dengan baik sembari merangkulnya, "Aku ingin menanyakan kepadamu, Matt. Apa kau serius dengan Kak Alice? Mungkin ada baiknya kau mengenalkan diri pada papa mama kami.""Hmm ... aku serius. Hal itu sedang aku pertimbangkan karena tidak mudah. Apalagi kami baru berkenalan minggu lalu. Tenanglah, Ray, kakakmu berada di tangan pria yang tepat!" balas Matthew dengan yakin menepuk-nepuk punggung pemuda jangkung itu.Gadis yang mereka bicarakan pun berjalan mendekati mereka berdua dari belakang dan berkata, "Kalian lagi ngomongin aku ya?"Matthew dan Rayden pun melonjak kecil karena kaget. Mereka pun membalik badan."A
Pagi itu, Leon mengantar istrinya bekerja, tetapi kali ini tidak ke Rumah Sakit Siloam International melainkan ke gedung pusat Indrajaya Realty. Leon membuat ruang praktik psikolog di lantai 9 dari gedung berlantai 30 itu untuk Evita."Apa kau suka ruang praktikmu yang baru, Eve?" tanya Leon sembari berjalan mengelilingi ruangan yang luas itu. Adrian, sekretarisnya yang menata isi ruangan itu dan membuatnya mirip dengan yang ada di rumah sakit tempat kerja Evita sebelumnya. Dia menata buku-buku Evita di rak buku kaca dengan rapi. Ada sebuah meja kerja dari kayu jati berpelitur, kursi panjang untuk terapi, dan sofa untuk tamu juga."Kurasa sekretarismu itu pria serba bisa, Hubby," ucap Evita memuji Adrian lalu mendekati suaminya untuk memberikan sebuah ciuman terima kasih."Aku senang kalau kau puas dengan pengaturan yang dibuat Adrian. Baiklah, selamat bekerja, Sayangku. Aku akan menjemputmu untuk makan siang nanti," jawab Leon lalu mengecup kening istrinya sebelum meninggalkan ruang
Di dalam mobilnya, Matthew Leigh memutar otaknya bagaimana cara untuk memberi pelajaran si bajingan kecil itu. Sayang sekali ini di Indonesia, seandainya Leon berada di Amerika, Matthew merasa sangat mudah menghancurkan bisnis pria itu.Namun, di sisi lain dia pun cemas dengan hubungannya dengan Alice. Gadis yang dia sukai itu separuh tubuhnya mengalir darah klan Indrajaya. Dan dia malah merongrong paman keempat Alice. Ahh, pusing!Matthew mulai merindukan gadis mungilnya. Maka dia menelepon Belvin, "Halo, Belvin. Kirimkan jadwal kegiatan idol di rumah karantina ke ponselku." Mendengar permintaan pamannya itu, Belvin pun tertawa. Dia menyahut, "Baik, Paman Matthew. Oya, bagaimana semalam apa seru?"Pertanyaan Belvin membuatnya teringat kejadian semalam dan mendadak naik pitam. "Dasar keponakan kurang ajar! Apa maksudmu mencekoki Alice dengan obat perangsang?!" damprat Matthew kasar."Aku membuatnya mudah untuk Paman. Dia pasti seperti kucing minta kawin 'kan semalam?" goda Belvin den
Bersama Alice, dia selalu merasa ringan untuk tertawa. Selalu ada saja yang membuat Matthew geli dengan kepolosan sifat gadis mungil dari Indonesia itu. Seolah-olah segala amarah di hatinya sirna dan perasaannya seperti mengalami musim semi yang penuh bunga. Pria bule itu membelai rambut panjang Alice. "Jadi apa kegemaran papamu, Alice?" tanya Matthew berusaha mencari kelemahan untuk mendekati mertuanya itu.Dengan tersipu malu Alice menjawab, "Emm ... papa suka bermain games Free Fire di waktu luangnya dan papa suka mencoba vape dengan aroma-aroma menarik."Matthew tak menyangka papa Alice memiliki kegemaran seperti bocah remaja, seorang CEO perusahaan nasional yang childish. Dia tertawa kering lalu berkata, "Hahaha ... aku akan mendownload game Free Fire sepulang dari sini, Alice."Hari pun semakin petang dan Alice belum mandi sejak mengikuti senam Zumba sore tadi. Jadi Matthew memutuskan untuk berpamitan dengan pacar kecilnya itu. "Kamu mandi ya, Baby girl. Aku pamit pulang dulu,
"Ciiiittttt!" Suara ban mobil sport menggasak jalan beraspal di halaman parkir gedung pusat Young Entertainment dimana sebuah Audi S6 hitam dan sebuah Lamborghini Aventador gold terparkir bersebelahan, sementara kedua pengemudinya turun dengan bergaya. Kedua pria gagah itu mengenakan kaca mata hitam yang sekilas membuat mereka mirip artis yang bernaung di managemen Young Entertainment. Leon dan Michael Indrajaya melangkah dengan penuh percaya diri memasuki lobi gedung berlantai 12 itu lalu bertanya ke resepsionis dimana kantor Matthew Leigh."Tuan Matthew Leigh berada di kantornya yang ada di lantai 12. Apa Anda berdua ingin bertemu beliau? Bisa sebutkan nama identitas Anda?" ujar pegawai di bagian resepsionis itu dengan simpatik.Michael yang menjawab pertanyaan itu, "Iya, kami memiliki hal yang perlu dibicarakan langsung dengan Matthew Leigh. Katakan saja Michael Indrajaya dan adiknya ingin bertemu dengan atasan Anda.""Baik, tolong tunggu sebentar, akan saya hubungi sekretaris be
Sedari tadi Leon menahan dirinya untuk tidak berbicara. Namun, melihat abang keduanya seolah kehilangan kata-kata di hadapan Matthew Leigh, dia tidak terima."Kini aku ingin bicara. Kalau kau menyukai Alice, kenapa kau mengejar-ngejar Evita, istriku?" tuntut Leon dengan nada tinggi menatap tajam Matthew Leigh.Mendengar ucapan adik bungsunya, Michael terkejut dan menjadi hilang rasa simpati pada pria bule Amerika yang mengatakan dia menyukai Alice. Dengan tatapan galak dia memandangi Matthew.Mendadak Matthew salah tingkah di hadapan kakak beradik Indrajaya itu. Dia memang menyukai Alice dan Evita yang sama-sama menarik di matanya. Namun, pada akhirnya memang dia harus memilih salah satu."Kuakui tadinya aku menyukai Evita, tapi itu sebelum aku bertemu Alice. Namun, sekarang aku yakin bahwa Alice lebih cocok untukku," jawab Matthew jujur. Jantungnya berdebar-debar menantikan reaksi papa dan paman keempat Alice.Leon tertawa satir lalu berdiri dari sofa. Dia menunjuk-nunjuk wajah Matth