เข้าสู่ระบบPagi itu, hari-hari berjalan seperti biasa bagi sebagian orang, tapi tidak dengan Nicklas. Sarapannya di Restoran langganan terasa seperti paling nikmat di dunia saat di hadapannya duduk perempuan cantik dengan rambut tergerai.
Alis yang menawan, bulu mata lentik, hidung mancung , dan bibir merah itu. Ya, Nicklas masih ingat rasanya begitu nikmat. "Makanan kesukaanmu sudah berubah sekarang, bukankah kamu dulu penyuka Pancake?" Ruby mengangkat wajah dengan senyum tipis, baru saja Ia menyendokkan Croissant dan selai kacang kedalam mulutnya. "Pancake terasa menyakitkan" Nicklas tahu, Sindiran itu cukup membuatnya membuka mata. Dulu, Ruby menyukai Pancake buatan pelayan di Mansion Creed, dan itu hanya akan memunculkan luka lama yang belum kering. Belum sempat Nicklas membalas, ponsel Ruby berdering di dalam tas. Menandakan sebuah panggilan mendesak, siapa lagi yang menghubunginya pagi-pagi jika bukan Alex. "Panggilan dari Alex, aku angkat sebentar, boleh?" Tanya nya dengan nada memelas. Nicklas jelas tak bisa menolak keinginan wanita kesayangannya, "kurang dari lima menit" Jawab pria itu dingin. Ruby mengangguk, jari lentiknya segera menggeser tombol hijau pada layar, hingga panggilan mereka terhubung. "Kamu dimana?" Suara Alex terdengar serak di seberang telepon, Ruby menaruh sendok garpu di atas piring, meletakkannya secara perlahan. "Aku sedang Sarapan, Apa ada pekerjaan mendadak?" "Tidak sayang, kapan kita bisa bertemu?" "Bertemu?" Detak jantung Ruby langsung meningkat dua kali lipat, "Alex maaf, Hari ini aku ada kesibukan. Besok saja kita ketemu, ya!" Ruby mengangkat pandangan, Matanya menatap Nicklas yang berpura-pura sibuk menikmati sarapan di hadapannya. Nicklas sepertinya tidak peduli, dan tidak ingin mendengar kemesraan Ruby dan Alex. "Ada hal mendesak yang tidak bisa aku tinggalkan, Kamu dimana? sekarang Weekend biasanya ke tempat Golf, kan?" "Aku tidak selera ke tempat Golf jika tidak ada yang menemani, Lagi pula hal mendesak apa yang membuat kita tidak bisa bertemu, sayang?" "Hm...." Ruby berfikir keras untuk mencari jawaban, "Nanti saat di Kantor aku kasi tahu, Sebentar ya, Aku harus habiskan sarapan dulu, nanti aku hubungi lagi" "Jangan matikan teleponnya!!" "Kamu sudah makan?" nada Ruby melembut saat mendengar Alex sedikit membentaknya. Kletakk! Nicklas meletakkan sendok di atas piring dengan kasar, seolah sengaja agar Alex bisa mendengarnya di seberang telepon. Mata Ruby mendelik, Tapi pria itu tampak tak peduli sama sekali. "Ekhm!" Nicklas sengaja berdehem sebelum meneguk air mineral di hadapannya. Oh, Ruby memejamkan mata karena Frustasi dengan tingkah Nicklas. "Suara seorang pria?" tebak Alex datar. "Iya, Suara di meja seberang" jawab Ruby sambil membenahi posisi duduknya. "Aku sarapan di Restoran" "Apa kamu yakin?" "Alex tolonglah!!! kita menghabiskan waktu 5 hari dalam seminggu, Kamu masih menaruh curiga padaku?" "Aku hanya ingin menjaga tunanganku yang cantik ini, Pasti banyak lelaki tidak tahu diri yang menginginkanmu di luar sana" Ruby mengangkat sebelah alisnya, "Itu urusan mereka, Alex! Aku minta waktunya sebentar untuk menghabiskan sarapan, nanti aku telpon balik" Wajah Alex sepertinya mengeras di seberang telepon, dan Ruby tahu itu. Alex tak suka penolakan, dan tak seorangpun bisa melakukan itu padanya, "Ruby, aku ingatkan sekali lagi. Jangan pernah permainkan pertunangan kita, meski ada kesempatan sekalipun. Jangan pernah bermain-main denganku!" Ada jeda sekian detik sebelum Ruby menjawab, "kamu tenang saja!" "Jangan bermain api di belakangku!!!" "Sayang, mana mungkin?" "Shareloc sekarang, aku akan datang manamanimu sarapan" Wajah Ruby berubah pucat, bagaimana mungkin dia bisa mengirim titik lokasi sementara ada Nicklas bersamanya, dan menghabiskan sarapan satu meja dengannya? "L-lokasi?" Ucap Ruby terbata. Mendengar hal itu, Nicklas meraih ponsel Ruby dengan satu tarikan, lalu sengaja menekan tombol merah pada layar agar panggilan mereka terputus. Tuttt! Wajah puas Nicklas terpampang nyata, sementara Ruby hanya bisa memandang ponselnya yang hampir menggelap, "kamu membuatku berada dalam masalah" "Dari pada pusing memikirkan Alex, lebih baik kamu lanjutkan sarapan" "Tapi--" "Berhenti memanggil pria lain dengan sebutan sayang di hadapanku!" Ruby menelan saliva kasar, "iya!" "Aku bisa berbuat lebih ganas dari semalam" Ruby menyuap kembali sarapannya tanpa kata... "Kamu dengar?" "Iya bawel" "Bagus!" Nicklas menarik kursi yang ditempati Ruby dengan sekali tarikan, membawa gadisnya begitu dekat, hingga lengan mereka bertempelan. "Suapi aku!" Meski enggan, Ruby tetap melakukan itu. "Beberapa hari ini tangan kanan kamu nggak berfungsi, ya?" Cupp! Nicklas menunduk dan mengecup bibir pink Ruby tanpa permisi, membuat wanita cantik itu mendelik, "disini banyak orang!" "Semua orang harus tahu bahwa kamu milikku" "Tapi kamu gila karena melakukan ini di tempat terbuka, Serena bisa tahu dengan mudah" Ruby menahan nafas, ia masih ingat tamparan Serena sore kemarin saat di tempat Golf dan itu membuatnya merasa sangat malu. "Biar aku yang akan membereskan Serena, tidak ada yang bisa menyakitimu termasuk kedua orang tuaku" Di dekat tempat parkir, Dedaunan pohon rindang bergerak liar. Menari seiring hembusan angin, sekaligus saksi bisu kemarahan seorang lelaki berkaca mata hitam. Ia memasukkan ponsel kedalam saku celana dengan gerakan kasar, Rahangnya mengatup rapat dan giginya saling menggilas. "Persetan, Wanita itu berani bermain gila di belakangku!" **** Di lapangan, seorang pria berbadan tinggi nan kejar memayungi Nicklas yang tengah memeriksa berkas laporan keuangan proyek, senyumnya perlahan memudar. "Tuan, semalam saya dapat laporan dari pak Dave bahwa nyonya Serena datang ke kantor dan meminta rekaman CCTV" Bisik pengawal pribadi Nicklas. Pria itu mengedikkan bahu, acuh. Nicklas menyipit dibawah terik sinar matahari, membenahi kaca mata hitam yang menggantung di hidung mancungnya. "Ada yang jauh lebih mendesak, Serena bukan persoalan sulit" Ucapnya sambil membolak-balik lembaran kertas di tangannya. Matanya menelusuri angka demi angka yang berantakan, ratusan juta rupiah menghilang tanpa jejak. Ia mengangkat kepala, menatap keras kepala proyek yang berdiri di depannya, seorang pria paruh baya dengan keringat mengalir di dahi. "Kamu harus jelaskan ini, Bagaimana mungkin anggaran sebesar ini bisa berantakan? Dana proyek hampir habis, tapi progresnya jauh dari target!" Suara Nicklas meninggi, membuat beberapa pekerja yang berdiri tidak jauh bergeser ketakutan. Pria itu menggaruk-garuk kepala, wajahnya memucat. "Tuan, mungkin ada kesalahan pencatatan, atau beberapa pengeluaran yang belum terinput dengan benar." "Kesalahan katamu? Ini bukan sekadar kesalahan, ini penggelapan! Saya sudah periksa semua laporan dan ada bukti transfer mencurigakan dari rekening proyek. Mandor-mandor kalian bermain di belakang!" Nicklas menunjuk berkas dengan jari gemetar marah. Pria itu mencoba membela diri, "tuan, saya akan segera investigasi. Kami tidak pernah berniat mengkhianati kepercayaan tuan Nicklas" "Tidak pernah berniat? Kalau tidak ada niat, kenapa ada rekening pribadi yang menerima dana proyek? Jangan coba-coba mempermainkan Perusahaan, Kalau masalah ini tidak segera diselesaikan, saya tidak segan-segan mengambil tindakan tegas!" bentak Nicklas, suaranya menggema di antara deru mesin dan suara tukang bangunan. Ruby menarik lengan Nicklas perlahan, khawatir melihat kemarahannya yang meledak-ledak. Namun, Nicklas menghela napas panjang, menenangkan diri sedikit. "kau punya waktu dua hari untuk bereskan ini. Aku tidak mau mendengar alasan. Kalau tidak, aku akan membawa masalah ini ke pihak berwajib dan hukumannya berat." Pria itu mengangguk terburu-buru, wajahnya cemas. "Baik, tuan. S-sa ya akan perbaiki semuanya." Nicklas memandang Ruby sejenak, matanya masih menyimpan api kemarahan, tapi perlahan ia mencoba mengalihkan perhatian. "Aku harus memeriksa semua berkas proyek untuk memastikan Kekacauan yang mereka buat tidak menyalahi kesepakatan, lagi pula pembangunannya masih jauh dari target. Dan mungkin itu membutuhkan waktu lama, kamu tidak keberatan pulang ke Apartemen lebih dulu?" "Katanya mau aku temani" "Kasihan kamu kepanasan, pakai saja mobilku, nanti ada sopir yang akan menjemputku pulang" "Kamu nggak keberatan aku tinggal?" "Hmm... " Nicklas mengelus puncak kepala Ruby pelan, "pergilah, kamu butuh lebih banyak istirahat" Dia memang tak pernah berubah, tatapan cinta dan perhatian itu, dari dulu sampai sekarang sama sekali tidak berubah. Ruby bisa merasakannya, setiap kata yang keluar dari mulut Nicklas selalu membuat hatinya bergetar, luluh, sekaligus merasa begitu dihargai. Cup! Sialnya pria itu mengecupnya di hadapan para mandor proyek, "Aku pulang dulu" "Hati-hati di jalan!" **** **** "Aduhh ma, sakittttt" "Ini sakit sekali, aku benar-benar tidak sanggup lagi" Serena mengerang kesakitan, kedua tangannya menekan perut yang membesar, wajahnya memucat dan berkeringat dingin. Kontraksi palsu itu membuatnya nyaris tak berdaya, napasnya terengah-engah di kursi belakang mobil yang melaju perlahan. Di depan, sopir tetap fokus mengemudi, sementara ibu mertuanya duduk di samping, matanya penuh kekhawatiran dan sesekali menatap Serena dengan tatapan kasihan. “Tahan ya, Nak. Sebentar lagi sampai rumah sakit,” suara ibu mertua terdengar lembut, mencoba menenangkan Serena yang terus mengaduh. "Ma, duuhhhhh, rasanya sakit sekali, aku mau pingsan ma" "Tahan sayang, ayo atur nafas dengan baik, tenang! Mamabtahu kamu ibu yang kuat" Tiba-tiba, dari kaca samping, Luna yang duduk di bangku depan kanan menoleh cepat, matanya menangkap bayangan mobil hitam yang melintas dengan kecepatan. “Itu Nicklas?” Sopir pribadinya menoleh untuk memastikan, "benar nyonya, saya hafal plat mobil kesayangan tuan muda, itu benar-benar mobilnya" “lalu apa yang kamu tunggu? Hentikan mobilnya! Kejar dia sekarang juga!” perintahnya singkat, dengan amosi naik ke ubun-ubun. Sopir mengangguk dan menekan pedal gas, kecepatan mobil bertambah. Serena menggenggam kain di pangkuannya, napasnya semakin berat, sementara Luna tak lepas memandang mobil putranya yang terus melakukan semakin keras. "Nicklas, kali ini mama benar-benar marah atas perlakuanmu pada Serena, bisa-bisanya kamu meninggalkan istrimu berhari-hari tanpa pulang" Luna semakin membara, "cepat... Sedikit lagi, pastikan dia tidak akan bisa kabur" "Baik nyonya" Mobil sedikit terguncang, tapi mereka sama-sama ambisius untuk menghentikan laju mobil Nicklas. Citttt Suara ban mobil beradu dengan aspal panas saat dua mobil hampir saling bertabrakan. Sopir pribadi Luna akhirnya berhasil menghetikan mobil hitam itu hingga nyaris menabrak pembatas jalan. "Serena kamu diam disini, biar mama yang akan membuat perhitungan dengan Nicklas" Luna turun dari dalam mobil dengan dada bergemuruh, ia beberapa kali mengetuk jendela mobil putranya. "Nicklas turun!!!" "Dasar anak tidak tahu diri" Gumam Luna penuh kebencian, "Istrimu sakit dan kamu masih bersenang-senang seperti pemuda lajang?" Tak ada jawaban dan tak ada respon dari dalam mobil hingga membuat dada Luna semakin terbakar, ia meneliti dari luar,menyipitkan mata demi mengintip ke dalam mobil. di kursi pengemudi hanya ada siluet seorang wanita muda, rambut panjang tergerai, dan duduk dalam ketenangan. "Hey buka pintunya.... Apa kau jalang yang berusaha merusak rumah tangga anakku?" Ruby tersentak saat mengintip dibalik jendela mobil, wajah itu.... Iya, jika Luna sampai tahu ialah yang tengah mengendarai mobil Nicklas, Luna bisa membunuhnya detik itu juga. "cepat keluar atau mobil ini akan kubakar beserta isinya!!!" * * * Bersambung....Uap hangat memenuhi ruangan kecil itu saat Ruby berdiri di depan cermin, tubuhnya masih basah oleh air yang baru saja mengalir dari shower. Nicklas berdiri di belakangnya, tangan pria itu perlahan menyentuh tali swimsuit merah yang membalut tubuh Ruby. Dengan gerakan lembut namun penuh maksud, ia mulai melepas satu tali, kemudian tali yang lain, sambil matanya tak lepas menatap lekuk tubuh wanita di hadapannya. “Sayang, tubuhmu membuatku candu,” bisik Nicklas dengan suara serak, napasnya hangat menyentuh leher Ruby. Ruby menoleh sekilas, menahan malu sekaligus geli. “Jangan nakal!” jawabnya sambil tersenyum, mencoba mengusir rasa grogi yang tiba-tiba menyelimuti. Namun, tangan Nicklas tidak berhenti. Ia menangkup milik Ruby dengan perlahan, matanya memicing penuh perhatian. “Kamu tahu, ini... ini kesukaanku” ucapnya sambil mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang berbeda. "Keras sekali"Ruby menggigit bibir bawahnya, merasakan sensasi aneh bercampur sakit ketika tangan Nicklas
Ruby mengambang di kolam renang lantai atas penthouse mewahnya , air yang jernih memantulkan sinar matahari senja yang mulai meredup."Nona, silahkan dinikmati Jus Jeruknya sebelum esnya mencair" ucap pelayan pribadinya yang baru saja meletakkan minuman di atas meja kaca. Ruby berenang menyusuri kolam yang luas, Air di dalamnya menyiprat keluar saat wanita itu melempar tubuhnya dari sisi kolam. "Sebentar mbak, nanggung" ucapnya, melanjutkan aktifitas berenang. "Sebentar nona, boleh saya minta waktunya untuk bicara?" ucap pelayan pribadinya dengan wajah cemas, seolah ada suatu hal yang membuatnya Khawatir. Gerakan Ruby semakin cepat, Ia berenang ke tepian kolam dimana pelayan pribadinya itu berdiri dengan wajah tegang. "Boleh minta ambilkan handuk?"pinta Ruby yang baru saja mengangkat wajah dari dalam kolam. "Siap nona, saya akan ambilkan handuknya sekarang"Setelah menerima handuk dari tangan pelayan, Ruby melilitkan handuk itu di pinggangnya yang ramping. Menyembunyikan lekuk t
Nicklas melangkah cepat ke arah walk-in closet, suara langkahnya bergema di lorong sunyi. "S-sayang tunggu!" Serena mengikuti langkah suaminya yang lebar dengan berlari kecil. "Kita harus bicara dulu!" "Berisik!" Nicklas membentak, lalu tangannya meraih gagang pintu, "sudah aku katakan, Diam dulu!" Saat membuka pintu, matanya langsung tertuju pada serpihan botol parfum yang berserakan di lantai marmer, Pecahan kaca itu berkilauan, namun alisnya mengkerut, menandakan keraguan mulai menyelinap. "Siapa yang menjatuhkan botol itu?" “Sayang, biar aku panggilkan pelayan untuk membersihkan pecahannya, mungkin aku salah meletakkan parfum itu, terlalu di pinggir” suara Serena terdengar lembut, hampir terdengar seperti upaya untuk menenangkan Nicklas. "Jatuh sendiri, begitu?" Nicklas tampak tak peduli. Tangannya yang dipegang oleh Serena terhempas kuat, "berhenti terlihat ketakutan seperti itu, Serena! Aku tidak akan membunuhmu!" Serena mengusap tangannya kasar, hampir saja Ni
"T-tuan, anda disini?" Pelayan pribadi Serena tampak gugup, tak menyngka Nicklas langsung naik ke lantai dua dengan wajah dingin. "Dimana serena?", Pelayan itu berdiri kaku di depan pintu, seolah menghalangi langkah Nicklas untuk masuk ke kamar utama. Pelayan itu mengusap-usap tangan yang gemetar, berusaha merangkai kata dengan suara pelan, "Em, begini, Tuan... " "Minggir!" Seru Nicklas dengan mulut terkatup rapat, "Sebentar tuan, saya--" "Aku tidak butuh penjelasanmu" "Begini tuan, nyonya Serena ada di dalam." Matanya menghindar dari tatapan tajam Nicklas yang penuh tekanan. "Minggir!" desis Nicklas, suaranya dingin dan penuh tuntutan. "Maaf Tuan, saya takut, karena sepertinya nyonya sedang tidur" jawab pelayan itu akhirnya, napasnya tersengal menahan takut. Tanpa aba-aba, Nicklas menyenggol lengan pelayan itu dengan kasar, lalu melangkah masuk ke kamar. Pintu didorong dengan keras, Brak! Suaranya menggema, Serena yang sedang duduk di atas tempat tid
Alex menatap dingin ke arah lukisan tua yang menggantung di dinding ruang kerjanya, bayangan api dari kebakaran masih membekas di pikirannya. Tapi kini, seolah ada angin segar yang berhembus di ruang kerjanya setelah hampir sebulan rasanya kehilangan arah. Di depannya, seorang bawahan dengan gugup membuka sebuah map dan menyerahkan beberapa cetakan foto hasil tangkapan CCTV sekitar klub malam tempat kejadian."Ini bukti fotonya, tuan. Hasilnya sudah kami perjelas, bisa tuan lihat, pakaian wanita itu persis seperti pakaian terakhir yang dikenakan nona Ruby" Foto pertama menunjukkan kepulan asap tebal mengepul, mengaburkan pandangan. Namun foto kedua memperlihatkan sosok perempuan yang terkulai lemas dalam gendongan, digendong keluar oleh seorang pria bertubuh tinggi dan gagah, mengenakan setelan hitam dan kacamata gelap. Alex mengerutkan alisnya tajam, matanya seolah mencoba mengumpulkan potongan teka-teki yang belum tersambung. “Jadi, Ruby sebenarnya masih hidup?” Alex memutar kur
Ruby duduk dengan mata berbinar menatap panci hot pot yang mengepul di tengah meja. Aroma rempah yang harum menyebar, membuatnya tak sabar mencicipi kuah racikan Nicklas. "Kuahnya kelihatan lebih enak? Kamu kayaknya lebih pintar dari aku racik bumbunya," Bisiknya sambil tersenyum lebar. Nicklas mengambilkan sumpit, dan memasukkan beberapa slice daging ke dalam kuah, "Campuran cabai, jahe, dan sedikit kaldu ayam yang di rebus lama. Masakan kamu tadi kurang kaldunya" Ia mengaduk kuah dengan hati-hati, lalu menyodorkan sendok kecil berisi kuah hangat ke Ruby. Ruby mengambilnya dan menyeruput dengan perlahan. "Hmm, beneran enak! Gak nyangka kamu bisa bikin yang seenak ini." "Kalau begitu, nanti malam aku dapat hadiah?"Wajah Ruby ditekuk, "hadiah apa? Jangan macam-macam deh!""Kamu beneran naik berat badan sekarang, merasa nggak? Pipi kamu tambah chubby?"Gerakan tangan Ruby terhenti di atas panci hot pot, wajahnya sedikit berubah. "Aku juga belum datang bulan" Bisiknya dalam hati, "S







