Leon duduk di bangku belakang kelas dengan wajah masam. Sejak pagi, pikirannya dipenuhi rasa malu dan amarah karena ulah Silvi.
“Sialan tante gila itu…” gumamnya, menghentakkan pulpen ke meja.
“Bro, apa rencana lo setelah ini?"
Leon menatap teman-temannya satu per satu. Senyumnya menyeringai, tatapannya licik.
"Pulang sekolah, kita kumpul di basecamp!" Pria itu lalu mencondongkan tubuh, melanjutkan dengan berbicara pelan seolah konspirasi besar. Ia mengungkapkan rencananya untuk mengerjai Silvi sepulang sekolah nanti.
3 jam kemudian.
Bel sekolah berbunyi. Akhirnya jam pulang pun tiba. Mereka sudah siap dengan rencana yang telah disusun tadi.
Silvi berdiri tak jauh dari kelas dengan tangan terlipat, menunggu Leon keluar.
Seperti janjinya, siang ini dirinya menjemput Leon kembali. Karena dari informasi yang dia dapat, biasanya bocah itu sering keluyuran setelah pulang sekolah.
Penampilannya sudah cukup membuat beberapa murid lain terheran-heran. Bahkan ada beberapa remaja laki-laki yang terus menggodanya. Namun Silvi hanya menanggapi dengan senyum sinis.
Bruk!
“Arrghh…!” Silvi terlonjak ketika cairan kopi dingin menyiram kemeja ketatnya. Noda cokelat pekat langsung melebar di dadanya.
“SIAPA YANG—”
Pemuda yang mengenakan jaket varsity hitam itu langsung panik, menunduk dengan wajah polos. “Ma-maaf, Tante! Aku gak sengaja. Sumpah!”
Silvi mengusap bajunya yang lengket, wajahnya masam. “Ck… dasar ceroboh. Di mana toilet?!”
Pria itu buru-buru menunjuk. “D-di sana, Tante! Deket tangga!”
Silvi mendengus, lalu melangkah cepat ke toilet wanita.
Di dalam toilet, ia berdiri menatap noda kopi di bajunya lewat cermin. Ia menghela napas, lalu tiba-tiba tersenyum miring.
“Dasar bocah-bocah nakal. Mereka pikir aku tidak tahu?" suaranya rendah, penuh nada menantang. “Leon, Leon… kau benar-benar cari mati, ya?”
Alih-alih panik, ia justru melakukan peregangan. Jari-jarinya diregangkan hingga terdengar bunyi krek-krek. Tatapannya berubah dingin.
Setelah membersihkan noda kopi itu, ia melangkah menuju pintu. Terkunci.
Silvi mendesah pelan, lalu menyeringai lebih lebar. “Hmm… begini rupanya permainan mereka. Baiklah…”
---
Sepanjang jalan, Leon yang berada dalam boncengan temannya itu nampak tertawa puas. Ia merentangkan tangannya, seolah menghirup kebebasan yang tidak ia dapatkan dari hari kemarin setelah bertemu dengan guru barunya itu.
"Hahaha ... Wanita itu pasti terkurung di toilet dan lagi nangis-nangis sekarang. Gue gak bisa bayangin, dia pasti ketakutan. Apalagi jam pulang, gak bakal ada yang lewat di sana," ucap Leon setengah berteriak di tengah bisingnya jalanan.
Namun sayangnya, kesenangan itu tak bertahan lama. Ketika dirinya dan teman-temannya tiba di basecamp, mereka dibuat terlonjak.
Sebuah rantai baja raksasa melilit pagar basecamp, lengkap dengan gembok sebesar kepala bayi. Seakan-akan ada yang sengaja menyegel tempat itu.
“Apa-apaan ini?!” teriak Leon, suaranya menggema di jalanan. Motor teman-temannya sampai tidak bisa masuk karena pagar yang digembok itu.
"Siapa yang berani-beraninya menyegel basecamp gue, hah?!" teriaknya penuh amarah.
Dua penjaga basecamp, Jono dan Joni, berdiri kaku di depan pintu. Wajah mereka masih biru lebam akibat kejadian kemarin.
Pintu basecamp tiba-tiba terbuka. Keluar seorang wanita dengan langkah anggun. Rambut kecoklatan bergelombang terurai, matanya tajam, auranya membuat semua orang menelan ludah.
Tante Silvi.
“KAU!?” Leon terhenyak, begitupun teman-temannya.
“Ba–bagaimana bisa? Ke–kenapa kau ada di sini?" tanyanya gugup dan heran.
Silvi menyeringai, menatap wajah-wajah penuh keterkejutan itu. "Kenapa? Kaget ya? Pasti kalian berpikir jika aku masih terkurung di toilet, bukan?"
Wajah Leon memerah, antara malu sekaligus marah. Ia tidak mengerti, mengapa Silvi yang jelas-jelas sudah dikunci di toilet itu bisa keluar dan tiba lebih dulu dari mereka.
Leon mendengus, menyembunyikan keterkejutannya. “Brengsek. Jangan ikut campur. Tugas lo itu ngajarin gue belajar, bukan ngatur hidup gue!" tegasnya.
“Kamu lupa? Aku ini sekarang selain menjadi guru privat juga menjadi pengasuhmu!" Silvi menatap Leon sambil tersenyum meremehkan.
"Pffttt..." Teman-temannya yang berdiri di luar pagar basecamp itu langsung terbelalak dan refleks menahan tawa mereka. "What? Pengasuh? Oh ya ampun, Baby Leon," bisik salah satu dengan nada meledek.
Darah Leon seketika mendidih. Ia menoleh pada teman-temannya yang kini menertawakan. Matanya melotot tajam, nafasnya memburu. Ini benar-benar sudah kelewatan.
"Lo belum tahu sedang berhadapan dengan siapa? Gue gak akan tinggal diam. Jangan mentang-mentang lo dapat dukungan dari bokap gue, lo pikir gue jadi takut!"
Silvi mendekat. Tidak gentar sedikitpun. “Aku cuman menjalankan tugas. Pulang sekolah, kalian harus langsung pulang. Basecamp boleh dipakai cuma weekend aja, itu pun di bawah pengawasanku.”
“Lo pikir siapa berani ngatur-ngatur gue?!” Leon meraung, hendak menaiki pagar yang digembok itu.
Silvi malah tertawa kemudian menunjuk keluar pagar, tepatnya arah samping halaman basecamp itu.
"Lihat itu!"
Semua menoleh ke arah mobil pengangkut alat berat yang berdiri gagah, siap meratakan bangunan di hadapannya.
“Kalau kalian nekat, basecamp ini hancur!" ancam Silvi dengan wajah menawan namun menyeramkan.
“KAU!!” Leon semakin menaiki pagar, hendak menyerang, tapi mobil itu maju menghantam tembok pembatas hingga ambruk sebagian.
Semuanya nampak panik. Leon bergegas turun. "Oke! Oke! Gue ikut pulang sekarang! Astaga... pagi tadi motor, sekarang basecamp, besok apa lagi yang bakal dia rampas?" keluhnya dengan geram.
Silvi tersenyum miring lalu membuka kunci gembok di pagar itu. "Masuk ke mobil, kita pulang, anak manis!"
"Dasar wanita gila!" ucap Leon sambil mendengus.
**
Malam harinya, Leon duduk di ruang belajar khusus—tempat luas dengan rak buku, proyektor, dan kursi empuk.
Harusnya nyaman, tapi bagi Leon rasanya seperti di neraka. Dua jam belajar bersama Silvi serasa dua tahun kerja rodi.
“Ngantuk?” tanya Silvi. “Mau kopi?”
“Gak usah!” Leon menolak ketus.
Setelah menyerahkan tugas, ia buru-buru keluar, meregangkan badan. “Akhirnya bebas juga! Gila, tuh Tante hobi banget nyiksa orang.”
Pria itu naik ke balkon, bersantai sejenak setelah seharian ini berada dalam siksaan guru privatnya. Dalam diam, ia berpikir rencana selanjutnya. Bagaimana caranya membuat Silvi tidak betah dan pada akhirnya mengundurkan diri?
Namun di saat sedang berpikir, matanya menangkap mobil ayahnya masuk. Leon mendengus sinis.
“Ck, bawa cewek lagi. Dasar buaya!" sinisnya.
Bukan Leon namanya jika dia tidak iseng. "Ngintip papi ah, seru kayaknya!"
Dengan kunci cadangan, Leon membuka pintu sedikit, lalu mengintip. Benar saja—ayahnya sedang bermesraan dengan seorang wanita.
Leon menyeringai, mengeluarkan ponsel, siap merekam. Namun tiba-tiba—
Plak!
Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Leon kaget, ponselnya jatuh ke lantai. Bunyi keras itu membuat Roberto berhenti.
“Siapa di luar?!” teriak Roberto, keluar kamar. Tapi saat ia membuka pintu, tak ada siapapun di sana.
Roberto geleng-geleng, “Ah, mungkin tadi lupa ngunci pintu,” lalu kembali ke dalam.
Leon sebenarnya sudah diseret menjauh. Mereka bersembunyi di balik tembok.
"Eh, Tante... " Leon mengusap tengkuknya, salah tingkah karena ketahuan ngintip.
Wanita itu menatapnya dengan mata menyala. “Ngapain kamu intip-intip orang dewasa?!”
Leon gugup, wajahnya merah padam. Jarak mereka begitu dekat, ia bahkan bisa mencium aroma harum tubuh Silvi.
“Iseng," jawabnya singkat.
“Iseng? Anak kecil kayak kamu pikir boleh ngintip begituan? Dasar cabul!” Silvi mendelik.
Leon, bukannya jera, malah nyengir jail. “Emang apa salahnya? Gue udah dewasa. Gue juga sering melakukan olahraga kayak papi," ucapnya dengan bangga.
Silvi mengangkat alis. “Olahraga?”
“Ya, gue bukan bocah, Tante. Gue suhunya!" Leon membusungkan dada.
Silvi menyipitkan mata, lalu tersenyum manis namun menohok. “Oh, gitu? Suhu ya? Kalau gitu... ajarin dong! Tante juga mau berolahraga dan berkeringat." Silvi menunjukkan wajah menantang, suaranya dibuat mendesah manja.
Leon langsung salah tingkah, wajahnya semerah tomat. Semangat nakal dan pikiran kotor mendominasi.
"Heh, kalau Tante berani, ayo! Gue sih mau banget."
Silvi mendekat, jaraknya nyaris menempel. “Siapa takut. Yuk, kita olahraga sekarang…” katanya sambil berkedip nakal, membuat Leon semakin tak tahan.
***
Bersambung...
Hari itu, suasana sekolah berbeda dari biasanya. Karena ada rapat guru, seluruh siswa hanya dijadwalkan pelajaran olahraga — momen paling ditunggu karena terasa lebih bebas dan santai. Di lapangan basket indoor, para siswa berhamburan dengan semangat. Anak laki-laki bertanding basket, sementara gadis-gadis sibuk latihan cheerleader. Sorak sorai menggema, menciptakan suasana riuh penuh tawa. Di tepi lapangan, Mr. Evan, guru olahraga yang terkenal tegas namun humoris, berdiri sambil meniup peluit. Tapi matanya mendadak tertuju pada seseorang di bangku penonton — seorang wanita cantik, modis, dan tampak anggun duduk memperhatikan pertandingan. “Anak-anak, lanjut! Main yang sportif ya!" seru Mr. Evan. Permainan kembali dimulai. Sorakan memuncak ketika Leon, siswa paling populer di sekolah, melesat lincah itu menggiring bola. Posturnya tegap, gerakannya cekatan, dan senyum tipis di wajahnya membuat para gadis di pinggir lapangan menjerit histeris. “Leon! I love you!” “Leon, mis
Suasana kamar mendadak hening. Angin dari jendela mengibaskan tirai putih, seolah jadi saksi dua manusia yang berdiri dalam posisi canggung. Leon masih setengah memeluk Silvi, sedangkan Silvi—yang sadar betul posisi kepala pemuda itu tidak strategis—langsung menegakkan tubuhnya. “LEON!!” Suara itu nyaring, cukup untuk membangunkan seisi rumah. Leon bergeming, tetap dalam posisi ternyaman itu. Hidungnya malah terus mengendus harum aroma yang begitu memabukkan sambil matanya terpejam menikmati. Silvi menyadari itu. Ia merasa Leon mencari kesempatan dalam kesempitan. Sekali lagi, ia pun berteriak. "LEON!!!" Leon sontak melompat mundur seperti kucing tersiram air. “Eh, T-Tante… ada apa?" tanyanya kaget. “ADA APA?! MASIH TANYA ADA APA?"Kepala kamu tadi nyangkut di mana, hah?” Silvi menunjuk dada sendiri dengan ekspresi campur aduk antara malu, marah, dan tidak percaya. “Dasar anak kurang ajar!” Leon menggaruk tengkuknya sambil cengengesan. “Nggak nyangkut, kok, Tan… cum
"Ssshhh... Ahh, Leon... Come on, Honey!" Desah manja terdengar lembut di telinga Leon saat pria itu mencumbu bagian leher teman kencannya. Tanpa hubungan spesial, tanpa ada ikatan, seolah hal seperti itu lumrah untuk mereka. Tangan Jessica membelai lembut tengkuk pria yang kini telanjang dada itu, matanya masih menyala oleh gairah yang belum padam. "Ayo, Sayang. Aku sudah tak tahan," ucap Jessica yang hendak mendaratkan ciuman untuk kesekian kalinya. Namun entah mengapa, di tengah adegan pemanasan yang hampir membuat mereka terjerumus pada hubungan terlarang itu, tiba-tiba Leon malah mendorong tubuhnya hingga terjerembab. Sikut wanita itu bahkan mengenai ujung ranjang, membuatnya meringis kesakitan. “Aawwww!! Leon, kenapa kamu dorong aku?” seru Jessica kaget dan kesal. Ia menatap Leon dengan tatapan bingung dan kecewa. Leon terdiam sejenak, napasnya berat. "Gue gak bisa!" Jessica melongo, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Apa maksud kamu, Leon? Come, on
"Aku tidak akan pulang maupun berhenti begitu saja. Aku baru berhasil masuk ke dalam rumah itu. Aku pastikan, semuanya akan terungkap. Jangan pernah menghubungiku, aku lebih tahu apa harus kulakukan selanjutnya!!" Tttuuut. Sambungan telepon dimatikan. Silvi menatap bangunan sekolah elite itu dari dalam mobilnya. Leon baru saja masuk, pemuda tengil itu tetap menunjukkan raut dinginnya bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun saat tiba. Silvi menyematkan kacamata hitam kemudian menyalakan mesin mobilnya kemudian tancap gas meninggalkan sekolah itu. "Ini waktunya untuk memulai rencana," gumamnya sambil tersenyum misterius. Sementara itu di kelas. “Woy, tumben berangkat pagi! Kesambet apa lo?” Salah seorang temannya menepuk bahu Leon yang baru duduk di bangku kelas. Leon hanya diam, wajahnya datar. Biasanya kalau ada yang nyeletuk, ia tak segan melabrak balik bahkan melayangkan tinju. Tapi kali ini, entah kenapa, ia malas bicara. Pikirannya masih kacau gara-gara obrolan dengan
"Shiitttt!!! Lo benar-benar nyebelin, Tan!" Leon terus menekuk wajahnya. Keringat bercucuran membasahi tubuh atletisnya, menetes dari dahinya hingga kaos abu-abu yang sudah lengket di kulit. Langkah kakinya di atas treadmill teratur, meski ekspresinya jelas memperlihatkan rasa jengah. Ia memang meminta Tante Silvi menemaninya “olahraga malam,” tapi yang ada di kepalanya tentu bukan olahraga sungguhan seperti ini. “Ih, senyum dong, Leon. Katanya ngajak olahraga malam!” goda Tante Silvi, suaranya ceria meski napasnya ikut tersengal. Wanita itu ada di treadmill sebelahnya. Rambut cokelat panjang yang diikat kuda basah oleh keringat, wajahnya merona, dan kaos putih tipis yang ia kenakan menempel ketat di tubuh. Bra hitamnya tercetak jelas di balik kain, membuat Leon beberapa kali harus berpaling, pura-pura sibuk menatap ke arah lain. Bukan karena tak mau melihat, tapi karena pemandangan itu membuatnya hampir gila. Bahkan sang Junior tak bisa diajak kompromi sejak tadi. Terus saja
Leon duduk di bangku belakang kelas dengan wajah masam. Sejak pagi, pikirannya dipenuhi rasa malu dan amarah karena ulah Silvi. “Sialan tante gila itu…” gumamnya, menghentakkan pulpen ke meja.“Bro, apa rencana lo setelah ini?"Leon menatap teman-temannya satu per satu. Senyumnya menyeringai, tatapannya licik. "Pulang sekolah, kita kumpul di basecamp!" Pria itu lalu mencondongkan tubuh, melanjutkan dengan berbicara pelan seolah konspirasi besar. Ia mengungkapkan rencananya untuk mengerjai Silvi sepulang sekolah nanti.3 jam kemudian.Bel sekolah berbunyi. Akhirnya jam pulang pun tiba. Mereka sudah siap dengan rencana yang telah disusun tadi.Silvi berdiri tak jauh dari kelas dengan tangan terlipat, menunggu Leon keluar. Seperti janjinya, siang ini dirinya menjemput Leon kembali. Karena dari informasi yang dia dapat, biasanya bocah itu sering keluyuran setelah pulang sekolah.Penampilannya sudah cukup membuat beberapa murid lain terheran-heran. Bahkan ada beberapa remaja laki-laki y