Share

Olahraga Malam

Penulis: Queen Mylea
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-02 20:10:44

Leon duduk di bangku belakang kelas dengan wajah masam. Sejak pagi, pikirannya dipenuhi rasa malu dan amarah karena ulah Silvi. 

“Sialan tante gila itu…” gumamnya, menghentakkan pulpen ke meja.

“Bro, apa rencana lo setelah ini?"

Leon menatap teman-temannya satu per satu. Senyumnya menyeringai, tatapannya licik. 

"Pulang sekolah, kita kumpul di basecamp!" Pria itu lalu mencondongkan tubuh, melanjutkan dengan berbicara pelan seolah konspirasi besar. Ia mengungkapkan rencananya untuk mengerjai Silvi sepulang sekolah nanti.

3 jam kemudian.

Bel sekolah berbunyi. Akhirnya jam pulang pun tiba. Mereka sudah siap dengan rencana yang telah disusun tadi.

Silvi berdiri tak jauh dari kelas dengan tangan terlipat, menunggu Leon keluar. 

Seperti janjinya, siang ini dirinya menjemput Leon kembali. Karena dari informasi yang dia dapat, biasanya bocah itu sering keluyuran setelah pulang sekolah.

Penampilannya sudah cukup membuat beberapa murid lain terheran-heran. Bahkan ada beberapa remaja laki-laki yang terus menggodanya. Namun Silvi hanya menanggapi dengan senyum sinis.

Bruk!

“Arrghh…!” Silvi terlonjak ketika cairan kopi dingin menyiram kemeja ketatnya. Noda cokelat pekat langsung melebar di dadanya.

“SIAPA YANG—”

Pemuda yang mengenakan jaket varsity hitam itu langsung panik, menunduk dengan wajah polos. “Ma-maaf, Tante! Aku gak sengaja. Sumpah!”

Silvi mengusap bajunya yang lengket, wajahnya masam. “Ck… dasar ceroboh. Di mana toilet?!”

Pria itu buru-buru menunjuk. “D-di sana, Tante! Deket tangga!”

Silvi mendengus, lalu melangkah cepat ke toilet wanita.

Di dalam toilet, ia berdiri menatap noda kopi di bajunya lewat cermin. Ia menghela napas, lalu tiba-tiba tersenyum miring. 

“Dasar bocah-bocah nakal. Mereka pikir aku tidak tahu?" suaranya rendah, penuh nada menantang. “Leon, Leon… kau benar-benar cari mati, ya?”

Alih-alih panik, ia justru melakukan peregangan. Jari-jarinya diregangkan hingga terdengar bunyi krek-krek. Tatapannya berubah dingin.

Setelah membersihkan noda kopi itu, ia melangkah menuju pintu. Terkunci.

Silvi mendesah pelan, lalu menyeringai lebih lebar. “Hmm… begini rupanya permainan mereka. Baiklah…”

---

Sepanjang jalan, Leon yang berada dalam boncengan temannya itu nampak tertawa puas. Ia merentangkan tangannya, seolah menghirup kebebasan yang tidak ia dapatkan dari hari kemarin setelah bertemu dengan guru barunya itu.

"Hahaha ... Wanita itu pasti terkurung di toilet dan lagi nangis-nangis sekarang. Gue gak bisa bayangin, dia pasti ketakutan. Apalagi jam pulang, gak bakal ada yang lewat di sana," ucap Leon setengah berteriak di tengah bisingnya jalanan.

Namun sayangnya, kesenangan itu tak bertahan lama. Ketika dirinya dan teman-temannya tiba di basecamp, mereka dibuat terlonjak.

Sebuah rantai baja raksasa melilit pagar basecamp, lengkap dengan gembok sebesar kepala bayi. Seakan-akan ada yang sengaja menyegel tempat itu.

“Apa-apaan ini?!” teriak Leon, suaranya menggema di jalanan. Motor teman-temannya sampai tidak bisa masuk karena pagar yang digembok itu.

"Siapa yang berani-beraninya menyegel basecamp gue, hah?!" teriaknya penuh amarah.

Dua penjaga basecamp, Jono dan Joni, berdiri kaku di depan pintu. Wajah mereka masih biru lebam akibat kejadian kemarin.

Pintu basecamp tiba-tiba terbuka. Keluar seorang wanita dengan langkah anggun. Rambut kecoklatan bergelombang terurai, matanya tajam, auranya membuat semua orang menelan ludah.

Tante Silvi.

“KAU!?” Leon terhenyak, begitupun teman-temannya.

“Ba–bagaimana bisa? Ke–kenapa kau ada di sini?" tanyanya gugup dan heran.

Silvi menyeringai, menatap wajah-wajah penuh keterkejutan itu. "Kenapa? Kaget ya? Pasti kalian berpikir jika aku masih terkurung di toilet, bukan?"

Wajah Leon memerah, antara malu sekaligus marah. Ia tidak mengerti, mengapa Silvi yang jelas-jelas sudah dikunci di toilet itu bisa keluar dan tiba lebih dulu dari mereka.

Leon mendengus, menyembunyikan keterkejutannya. “Brengsek. Jangan ikut campur. Tugas lo itu ngajarin gue belajar, bukan ngatur hidup gue!" tegasnya.

“Kamu lupa? Aku ini sekarang selain menjadi guru privat juga menjadi pengasuhmu!" Silvi menatap Leon sambil tersenyum meremehkan.

"Pffttt..." Teman-temannya yang berdiri di luar pagar basecamp itu langsung terbelalak dan refleks menahan tawa mereka. "What? Pengasuh? Oh ya ampun, Baby Leon," bisik salah satu dengan nada meledek.

Darah Leon seketika mendidih. Ia menoleh pada teman-temannya yang kini menertawakan. Matanya melotot tajam, nafasnya memburu. Ini benar-benar sudah kelewatan. 

"Lo belum tahu sedang berhadapan dengan siapa? Gue gak akan tinggal diam. Jangan mentang-mentang lo dapat dukungan dari bokap gue, lo pikir gue jadi takut!"

Silvi mendekat. Tidak gentar sedikitpun. “Aku cuman menjalankan tugas. Pulang sekolah, kalian harus langsung pulang. Basecamp boleh dipakai cuma weekend aja, itu pun di bawah pengawasanku.”

“Lo pikir siapa berani ngatur-ngatur gue?!” Leon meraung, hendak menaiki pagar yang digembok itu.

Silvi malah tertawa kemudian menunjuk keluar pagar, tepatnya arah samping halaman basecamp itu. 

"Lihat itu!"

Semua menoleh ke arah mobil pengangkut alat berat yang berdiri gagah, siap meratakan bangunan di hadapannya.

“Kalau kalian nekat, basecamp ini hancur!" ancam Silvi dengan wajah menawan namun menyeramkan.

“KAU!!” Leon semakin menaiki pagar, hendak menyerang, tapi mobil itu maju menghantam tembok pembatas hingga ambruk sebagian.

Semuanya nampak panik. Leon bergegas turun. "Oke! Oke! Gue ikut pulang sekarang! Astaga... pagi tadi motor, sekarang basecamp, besok apa lagi yang bakal dia rampas?" keluhnya dengan geram.

Silvi tersenyum miring lalu membuka kunci gembok di pagar itu. "Masuk ke mobil, kita pulang, anak manis!"

"Dasar wanita gila!" ucap Leon sambil mendengus.

**

Malam harinya, Leon duduk di ruang belajar khusus—tempat luas dengan rak buku, proyektor, dan kursi empuk. 

Harusnya nyaman, tapi bagi Leon rasanya seperti di neraka. Dua jam belajar bersama Silvi serasa dua tahun kerja rodi.

“Ngantuk?” tanya Silvi. “Mau kopi?”

“Gak usah!” Leon menolak ketus.

Setelah menyerahkan tugas, ia buru-buru keluar, meregangkan badan. “Akhirnya bebas juga! Gila, tuh Tante hobi banget nyiksa orang.”

Pria itu naik ke balkon, bersantai sejenak setelah seharian ini berada dalam siksaan guru privatnya. Dalam diam, ia berpikir rencana selanjutnya. Bagaimana caranya membuat Silvi tidak betah dan pada akhirnya mengundurkan diri?

Namun di saat sedang berpikir, matanya menangkap mobil ayahnya masuk. Leon mendengus sinis.

“Ck, bawa cewek lagi. Dasar buaya!" sinisnya.

Bukan Leon namanya jika dia tidak iseng. "Ngintip papi ah, seru kayaknya!"

Dengan kunci cadangan, Leon membuka pintu sedikit, lalu mengintip. Benar saja—ayahnya sedang bermesraan dengan seorang wanita.

Leon menyeringai, mengeluarkan ponsel, siap merekam. Namun tiba-tiba—

Plak!

Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Leon kaget, ponselnya jatuh ke lantai. Bunyi keras itu membuat Roberto berhenti.

“Siapa di luar?!” teriak Roberto, keluar kamar. Tapi saat ia membuka pintu, tak ada siapapun di sana.

Roberto geleng-geleng, “Ah, mungkin tadi lupa ngunci pintu,” lalu kembali ke dalam.

Leon sebenarnya sudah diseret menjauh. Mereka bersembunyi di balik tembok.

"Eh, Tante... " Leon mengusap tengkuknya, salah tingkah karena ketahuan ngintip.

Wanita itu menatapnya dengan mata menyala. “Ngapain kamu intip-intip orang dewasa?!”

Leon gugup, wajahnya merah padam. Jarak mereka begitu dekat, ia bahkan bisa mencium aroma harum tubuh Silvi.

“Iseng," jawabnya singkat.

“Iseng? Anak kecil kayak kamu pikir boleh ngintip begituan? Dasar cabul!” Silvi mendelik.

Leon, bukannya jera, malah nyengir jail. “Emang apa salahnya? Gue udah dewasa. Gue juga sering melakukan olahraga kayak papi," ucapnya dengan bangga.

Silvi mengangkat alis. “Olahraga?”

“Ya, gue bukan bocah, Tante. Gue suhunya!" Leon membusungkan dada.

Silvi menyipitkan mata, lalu tersenyum manis namun menohok. “Oh, gitu? Suhu ya? Kalau gitu... ajarin dong! Tante juga mau berolahraga dan berkeringat." Silvi menunjukkan wajah menantang, suaranya dibuat mendesah manja.

Leon langsung salah tingkah, wajahnya semerah tomat. Semangat nakal dan pikiran kotor mendominasi. 

"Heh, kalau Tante berani, ayo! Gue sih mau banget."

Silvi mendekat, jaraknya nyaris menempel. “Siapa takut. Yuk, kita olahraga sekarang…” katanya sambil berkedip nakal, membuat Leon semakin tak tahan.

***

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Liar Tante Silvi   75. Janji Suci

    Di tengah kekacauan itu, Leon justru bergerak. Wajahnya nampak tenang, meskipun geram karena kedatangan Anya yang menggangu pernikahannya ini.Ia memeluk Silvi, mencoba menyenangkannya. Matanya menatap ke arah Anya yang berdiri di pintu utama gereja.Kemudian tatapannya beralih pada seluruh hadirin yang hadir. Ia begitu Tegas dan penuh enuh wibawa.Leon melepaskan pelukan dari Silvi hanya untuk berdiri lebih maju, tubuhnya melindungi Silvi di belakangnya. Matanya menatap lurus ke arah Anya dan barisan paparazi, sorot hitam tajam yang membuat banyak orang otomatis terdiam.Dengan suara yang rendah namun menggema ke seluruh sudut gereja, Leon berkata, “Cukup.” Para tamu membeku, paparazi ragu mengambil langkah, bahkan Anya tersentak sejenak.Leon melangkah lagi, naik satu tapak ke altar, lalu menatap seluruh ruangan. “Aku tidak peduli siapa yang mencoba menghentikan pernikahan ini,” ucap Leon. Suaranya tak bergetar, penuh keyakinan dan kekuatan. “Aku tidak peduli rumor. Tidak peduli m

  • Gairah Liar Tante Silvi   74. Pernikahan

    2 minggu kemudian.Setelah acara lamaran yang menggemparkan seisi kantor itu, Leon benar-benar membuktikan keseriusannya. Ia mempercepat acara pernikahannya dengan Silvi. Yang tadinya akan dilaksanakan bulan depan, dimajukan 3 minggu lebih awal. Semuanya Leon yang urus, ia juga memilih kota Bali untuk acara pernikahannya.Bali sore itu seakan diberkati. Langit biru tanpa cela, angin laut berembus lembut membawa aroma garam dan bunga kamboja. Di atas bukit kecil menghadap pantai, berdiri sebuah gereja batu putih yang megah, tempat pernikahan Leon dan Silvi akan dilangsungkan.Semua dipersiapkan dalam waktu singkat, gila, bahkan nekat… tapi sempurna. Leon memastikan setiap inci rangkaian acara dari gereja hingga pesta pantai dipersiapkan oleh tim terbaik yang bisa dibayar dengan uang dan kekuasaannya. Namun untuk Silvi, semua itu terasa seperti mimpi.Di sebuah ruangan bridal yang wangi dan hangat, Silvi duduk dengan tangan menggenggam pangkuan, mencoba menstabilkan napas. Di hadapanny

  • Gairah Liar Tante Silvi   73. Pembuktian

    "Entahlah, aku butuh sendiri dulu. Hari ini ayahmu akan datang, rapat direksi akan dilaksanakan 30 menit lagi, fokuslah! Anggap saja aku tidak melihat yang tadi."Pintu ruang CEO itu akhirnya tertutup rapat setelah Silvi keluar. Leon menatap punggung kekasihnya yang menjauh, ia tahu Silvi masih marah. Silvi tidak menoleh. Bahkan tidak sedikit pun. Leon mengembuskan napas panjang, meninju meja sekali, pelan tapi penuh frustasi. “Sial…”Ia benci situasi tadi. Benci karena Silvi harus melihat sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi. Dan Leon menyesalinya, kenapa tadi ia membeku saat Anya mencoba menggodanya. --- Di Lift Lantai 30Silvi berdiri tegak, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Napasnya masih naik-turun, bukan hanya karena perkelahian tadi… tapi karena sesuatu yang lebih mengganggu. Benarkah Leon tidak tergoda? Ia membenci dirinya karena mempertanyakan hal itu. Padahal Leon bersikap jelas, tegas dan sejak dulu tidak pernah memberi celah untuk orang lain. Namun kat

  • Gairah Liar Tante Silvi   72. Benih Sang CEO

    Audi merah itu melesat memasuki kawasan King Residence. Silvi baru saja pulang dari rumah paman Handoyo.Leon yang sejak tadi gelisah, langsung berdiri dari kursinya. Tidak ada sapaan, hanya tatapan tajam yang langsung menahan langkah Silvi.Jam menunjukkan pukul 11 malam. Suasana rumah megah itu begitu sunyi. Leon menghampiri Silvi tanpa suara, mengambil tas dari tangannya lalu berkata pelan namun tegas, “Ke atas.”Silvi bahkan belum sempat menjawab ketika Leon sudah menggenggam pergelangan tangannya dan membawanya naik dengan langkah panjang. Tidak kasar… tapi jelas menunjukkan betapa pria itu menahan sesuatu sejak berjam-jam lalu. Di Kamar Leon. Begitu pintu tertutup— klik Leon tidak menunggu. Ia menarik pinggang Silvi, membalikkan tubuh wanita itu ke arahnya, dan sebelum Silvi sempat berkata apa pun, bibir Leon sudah menutup bibirnya.Ciuman itu bukan sapa, bukan salam. Ciuman itu adalah pelepasan rindu yang ditekan seharian. Silvi terkejut sejenak, tetapi tubuhnya langsung

  • Gairah Liar Tante Silvi   71. Merestui

    Keesokan Pagi.King Residence terasa berbeda. Ada aura kebahagiaan yang tidak diucapkan tapi terasa. Emily yang sedang menyiapkan sarapan hanya melirik cincin di jari Silvi, lalu tersenyum panjang.“Wah, sepertinya semalam ada yang sudah dilamar nih! Selamat ya,” ucapnya canggung. Emily sebenarnya tidak suka dengan Silvi , namun dia tidak memungkiri jika Silvi lah yang membuat hubungan antara Leon dengan Cheryl perlahan dekat. Silvi mengangguk dan memaksakan senyum, ia harus mencoba memperbaiki hubungan dengan calon ibu mertuanya itu “Terima kasih, Emily.”Leon turun dari tangga dengan kemeja hitam yang membuatnya tampak semakin tegas. Ia berjalan santai ke arah meja makan, memegang pinggang Silvi dengan natural, seolah itu sudah menjadi kebiasaan.Roberto yang sedang membaca laporan dari tab miliknya seketika menurunkan kacamatanya. “Jadi… apa ada kabar baik pagi ini?"Leon tidak menjawab, hanya menarikkan kursi untuk Silvi. Gestur sederhana tapi elegan yang membuat Emily sedikit

  • Gairah Liar Tante Silvi   70. Will You Marry Me?

    Keesokan pagi."Kau mau menemaniku hari ini?" tanya Leon saat Silvi merapihkan dasinya. "Ya, tentu saja. Aku sudah mengajukan resign di SMA Starlite," ujarnya.Leon terperangah. "Serius?" Silvi mengangguk. "Misi selesai, Sayang. Aku sudah berhasil menangkap sindikat disana. Clara dan anak-anak lain yang terlibat juga mau buka suara, Paman memastikan jika Evan, Edward dan Elena mendapatkan hukuman yang berat. So, tidak ada lagi alasan aku disana. Aku lebih suka jadi konsultan pribadimu," ucapnya dengan senyuman yang menggoda.Leon tersenyum jumawa. "Kau suka menjadi konsultan pribadi, atau... kau takut aku digoda wanita lain, huem?"Silvi memukul dada Leon, gemas. "Ish, apaan sih. Sok kegantengan banget kamu!""Memang aku ganteng, buktinya kamu suka!"Silvi mengulum senyum, tersipu namun bahagia. Dan ia semakin mantap untuk serius dengan Leon, tak peduli resikonya nanti.---Siang itu, Lucas Corporation terlihat sibuk seperti biasa. Para karyawan berlalu-lalang dengan cepat, menjaga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status