MasukSteave meraih pinggang Serena dengan sebelah tangannya, hingga jarak mereka sangat dekat. Lalu menyodorkannya kembali pada Serena.“Katanya kau ingin mencari tahu, bagaimana dirimu yang sebenarnya kan?” jelas Steave. “Jadi, apa ini jati diri Serena? Suka hal-hal yang berbau mesum?” Steave membisikkan kata terakhir di telinga wanita itu.Serena mengambil buku itu dengan dua tangan. “Kau jangan asal menyimpulkan sendiri, aku membeli ini karena tertarik dari iklannya. Itu saja.”“Begitu, ya. Kenapa kau sangat ingin menjelaskan padaku?”Serena mendengkus. “Agar pikiran mu yang mesum tidak berpikir hal-hal yang aneh.”“Aku mesum?” ulang Steave.“Ya.”“Mesum dari mananya?” Steave mengendus leher Serena. “Seperti sekarang, kau sangat mesum.” Serena berusaha menghindar, tapi Steave menguatkan pelukannya.“Sebutkan, bagaimana mesumnya aku Serena.”“Engh.” Serena kelepasan mendesah saat bibir Steave menghisap lehernya.“Steave, jangan bercanda.” Serena berusaha mendorong dada pria itu.“Kau me
Kotak ketiga dibuka dengan gerakan yang lebih santai. Begitu tutupnya terangkat, warna-warna langsung menyambutnya. Pita dengan berbagai warna dan motif.Serena tertawa kecil. Ia mengangkat satu pita kuning, lalu menyampirkannya di tangannya. Mengambil pita hijau, biru, ungu, meski belum tahu akan digunakan untuk apa, tapi pikirannya sudah mulai bekerja.Kotak terakhir berdiri paling besar di antara yang lain. Serena berdiri untuk mendekatinya. Kardusnya lebih tebal, dan berat. Ia membaca labelnya sebentar, lalu mengangguk sendiri.Rak bongkar pasang.Ia membukanya dengan sedikit usaha. Di dalamnya ada papan-papan kayu, baut, dan buku petunjuk. Serena mengeluarkan satu papan, menimangnya sebentar. Apa dia bisa memasangnya?Ia membayangkan rak itu berdiri di dekat jendela. Novel-novelnya tersusun rapi disertai hiasan kecil di sela-selanya, lalu peralatan menjahit di bagian bawah. Pikirannya terasa lebih tertata hanya dengan membayangkannya. “Baiklah, kita mulai saja. Bagaimana hasil
“Aiihhs, sakit.” Serena menggenggam pegangan tangga lebih erat dari biasanya. Setiap kakinya menuruni anak tangga, rasa ngilu semakin terasa di langkah pahanya. Percintaannya dengan Steave sejak malam dan diulang kembali pagi ini, benar-benar menyedot habis tenaganya. Sementara pria itu, ia bahkan sudah hilang dari ranjang saat Serena terbangun untuk kedua kalinya tadi pagi.“Pelan-pelan saja,” gumamnya pada diri sendiri. “Awas saja dia, kalau sampai melakukannya lagi, akan ku tendang miliknya.” gerutu Serena.Sebelum turun, Serena sempat melihat Steave dari balkon kamar tengah menggendong Rion di depan rumah.Ia menuruni anak tangga terakhir dengan tarikan napas panjang. “Aku menang hebat.” Serena bergumam.Seorang pelayan wanita muncul dari arah dapur, membawa nampan kecil. Begitu melihat Serena, pelayan itu berhenti, lalu membungkuk hormat.“Selamat pagi, Nona.”“Pagi,” jawab Serena tersenyum.Pelayan itu mundur dengan sigap, memberi ruang untuk Serena, sepertinya dia melihat car
Serena teringat, ia harus ke kamar Rion pagi ini. Saat dirinya mulai bergerak untuk melepaskan dekapan Steave, tiba-tiba pria itu membuka matanya separuh.Membiarkan tatapan itu berlama-lama di wajah Serena. “Apa kau sudah puas memandangiku?”Serena tersentak. Jadi, Steave sudah bangun?“Kau… kau sudah bangun?” suara Serena tercekat.Steave membuka mata sepenuhnya. Mengunci Serena yang gempal gelisah.“Sejak kapan?” tanya Serena.“Sejak kau menyentuh wajahku,” jawabnya singkat.Serena menelan ludah. ‘Astaga, aku malu.’ batin Serena.Tangannya refleks ingin menarik diri, tapi Steave bergerak lebih cepat. Lengannya kembali mengunci pinggang Serena, menariknya hingga tubuh mereka bersentuhan lagi.“Kau mau lari,” ucap Steave.“Aku tidak–” Serena terhenti. Kata-katanya lenyap saat Steave mencondongkan wajahnya lebih dekat.“Kau menatapku lama sekali,” lanjut Steave. “Apa kau mulai terang-terangan menyukaiku sekarang?”Serena memalingkan wajah yang langsung jatuh ke dada Steave, ia malah
Setelah memberikan sentuhan yang menganggu tidur wanita itu. Steave memutar tubuh Serena hingga berada di bawahnya. Mata wanita itu setengah terbuka, antara ingin tidur dan membuka matanya.Dengan cekatan, Steave melepaskan semua pakaian Serena serta celananya, membiarkan kain-kain itu jatuh ke lantai hingga mereka berdua telanjang di bawah selimut.“Kau tidur saja, biar aku yang bergerak,” ucap Steave. Ia menatap Serena dengan tatapan penuh hasrat. Mengagumi setiap lekuk tubuhnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tidur katanya? Pria itu sudah menganggu tidurnya, saat ia akan mencumbui tubuhnya, mana mungkin matanya bisa tidur lagi.Tanpa menunggu lebih lama, Steave menunduk dan mulai menciumi tubuh Serena. Ia memulai dari lehernya, memberikan kecupan-kecupan yang membuat Serena merinding nikmat. Kemudian, ia turun ke dadanya, menatap kedua putingnya yang sudah menegang.“Aku suka ini.” Steave menjilati dan menghisap puting Serena dengan penuh gairah."Aahhh..." desah Serena liri
Serena berdiri tidak jauh dari matras tebal yang digelar di lantai ruang terapi di mansion. Tangannya saling menggenggam di depan perut, sesekali jemarinya saling menekan tanpa sadar. Pandangannya tidak lepas dari sosok kecil yang berada di tengah ruangan. Rion. Anak itu mengenakan pakaian latihan. Tubuhnya ditopang bantalan kecil di beberapa sisi. Di hadapannya, seorang dokter rehabilitasi medik, Dr. Adrian, Sp.KFR berjongkok di depannya. Di samping sang dokter, seorang fisioterapis membantu mempersiapkan alat sederhana. “Pelan-pelan Saja, Rion,” ucap dokter itu. Rion hanya menatap lurus, lalu tanpa sadar melirik ke arah Serena sekilas. Dokter mulai menggerakkan kaki Rion perlahan dengan sangat hati-hati. Setiap tarikan kecil membuat jantung Serena berdegup kencang. Bahunya menegang, lalu turun lagi ketika Rion tidak meringis. Ia maju setengah langkah, lalu berhenti sendiri. “Jangan terlalu dekat dulu, Bu,” ujar fisioterapis itu dengan nada sopan. Serena mengangguk cepat dan m







