로그인Meski mendekati siang, Serena tetap membawa Rion untuk mencari udara di depan mansion seperti yang dilakukan Steave. Putranya tampak nyaman dan menikmati waktu bersama. Hari libur seperti ini jarang sekali ia rasakan dengan tenang. Ia tidak harus memikirkan banyak hal dan bersantai. Rion tertawa kecil saat Serena mengajaknya berceloteh. Jarinya yang kecil meraih udara, seolah ingin menangkap sesuatu yang hanya ia lihat sendiri.“Suka di sini ya Sayang,” gumam Serena. Ia mengecup kening Rion dengan lembut.Steave benar-benar memperhatikan putra mereka, ia tidak membiarkan polusi di sekitar mansion, hingga Rion bisa menghirup udara segar setiap hari. “Hari ini Rion mau makan masakan ibu?”Seakan mengerti, anak itu mengangguk senang. “Ibu akan masak sesuatu yang sangat enak.”Di tengah kenyaman mereka, Serena menoleh refleks.Sebuah mobil berwarna abu-abu berhenti tepat di depan tangga mansion. Bukan kendaraan staf yang biasa keluar masuk halaman. Serena mengernyitkan dahi, menahan
Pagi datang, Serena terbangun lebih dulu. Kesadarannya muncul perlahan. Ia menyadari sesuatu ketika sedikit menggeser tubuhnya.Steave masih terlelap di sampingnya.Mereka berdua berada di bawah selimut yang sama, tanpa sehelai kain pun yang memisahkan kulit. “Yang tadi malam sangat luar biasa.” Serena memandangnya beberapa detik. Dengan hati-hati ia membuka selimut. Serena bangkit dari tempat tidur tanpa membangunkan Steave, dan melangkah menuju kamar mandi.*** Di dalam kamar mandi, Serena menyalakan shower. Air langsung mengalir deras, membentuk tirai transparan yang menghalangi pandangan. Ia masuk ke dalam kubah shower, membiarkan aliran air menyiram tubuhnya yang masih terasa panas karena aktivitas semalam. Air mengalir melalui rambutnya yang kusut. Serena berdiri dengan mata terpacak ke arah dinding keramik berwarna cream, pikirannya melayang pada reaksi Steave yang sangat terangsang saat permainan mereka lebih panas dari biasanya. Tiba-tiba, Serena merasakan sentuhan di
“Steave, kau mau?” Serena menumpukan kedua tangannya ke belakang dan membuka kedua kakinya dengan sensual. Gerakannya lambat seperti menyuguhkan mahakarya yang hanya bisa dinikmati olehnya saja.Pandangan pria itu terkunci pada bentuk tubuh Serena yang menggoda, jantungnya berdebar kencang seolah ingin melompat keluar. “Serena, kau mengejutkan ku sejak pagi.” Steave bersimpuh di depan belahan kakii Serena dan menariknya ke depan hingga Steave leluasa melihat ke dalam. “Kau bisa menikmati ku sepuasmu.” Serena mengigit bibirnya sembari memejamkan mata saat jemari Steave mengelus paha luarnya. “Tentu saja, tidak akan ku lewatkan sedikitpun.” Steave melonggarkan dasinya lalu beranjak mengikat kedua tangan Serena ke atas kepalanya, kali ini ikatan itu tidak menyakitkan sama sekali. Tak hanya itu, Steave juga mengambil penutup mata dan memakaikannya pada Serena. Wanita itu sangat menantang sekarang. Steave menarik napas dalam-dalam, menikmati pemandangan di hadapannya. Serena terbari
Serena melihat Clarine yang sudah pergi ke ruang penyimpanan di belakang mansion. Sesekali wanita itu menghentakkan kakinya karena kesal. Serena tertawa dengan reaksinya, meski hukuman ini tidak berat, setidaknya cukup untuk menunjukkan pada pelayan itu kalau posisi mereka berbeda. “Nona Serena.”Serena berbalik dan mendapati Paul berdiri beberapa meter darinya.“Paul,” sapa Serena sopan. “Ada yang bisa kubantu?”Paul tersenyum sopan. “Saya ingin mengambil beberapa berkas Tuan Steave yang tertinggal di ruang kerjanya. Sepertinya beliau lupa membawanya pagi tadi.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Bolehkah saya naik ke lantai tiga?”“Tentu saja,” jawab Serena tanpa ragu. “Silakan. Aku akan menunggu di sini.”Paul mengangguk hormat lalu melangkah menuju tangga utama. Serena memperhatikannya sampai sosok pria itu menghilang di tikungan tangga. Sembari menunggu Paul, Serena duduk di ruang tamu. Ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya. Tentang sang ayah yang tidak ada kabar samp
Serena baru saja selesai memastikan Rion siap untuk terapi nanti siang. Anak itu masih tidur di ranjangnya napasnya setelah sesi peregangan ringan bersama suster. Serena menarik selimut hingga ke dada Rion, menatapnya sebentar lebih lama, lalu keluar. Ia melihat Steave baru saja muncul dari arah lantai tiga. Pria itu memakai semua yang ia siapkan. Serena melangkah cepat menghampirinya.Tanpa ragu, tangannya terulur dan menggandeng lengan Steave. Gerakannya begitu natural, seolah itu hal yang sudah biasa ia lakukan sejak lama.“Sarapan dulu,” ucap Serena sambil menariknya ke arah ruang makan.Steave menoleh, jelas terkejut.Ia menatap tangan Serena yang melingkar di lengannya, lalu wajah wanita itu. Serena tampak tenang, bahkan leluasa. “Serena–” Steave hendak bicara.“Hm?” Serena menengadahkan kepalanya untuk melihat Steave, sungguh ekpresi wanita itu sangat menggemaskan bagi Stesve. Akhirnya, Steave memilih diam dan mengikuti. Ia membiarkan dirinya dituntun, meski di kepalanya pe
Steave baru saja keluar dari kamar mandi, tapi langkahnya terhenti di ambang pintu dengan handuk yang masih melingkar di pinggangnya. Ia terpaku karena pemandangan berbeda pagi ini. Serena ada di kamarnya. Wanita itu berdiri membelakanginya, sibuk di depan rak yang menjejerkan pakain Steave. Di atas ranjang, setelan jas sudah tersusun rapi, kemeja, bahkan dasi digelar berdampingan dengan jam tangan dan manset. Tak hanya itu, sepatu Steave sudah dikeluarkan dan diposisikan sejajar, seolah Serena sudah hafal kebiasaan pria itu tanpa perlu bertanya. “Sepertinya ini sudah pas.” Serena berpikir sesaat menimbang pilihannya. Serena mengenakan gaun selutut berwarna krem. Rambutnya dijepit ke belakang, meski simpel tapi berhasil menarik perhatian seseorang di belakangnya. Steave tidak segera menghampiri. Ia berdiri di depan pintu kamar mandi, memperhatikan tanpa suara. Kenapa tiba-tiba Serena datang ke kamarnya? Ditambah lagi wanita itu tampak biasa saja, padahal baru kemarin ini mere







