FAZER LOGINShifa menggeleng pelan. “Pak Dusan nggak tanya apa-apa lagi, Bu. Tapi beliau…”Selina segera mendongak. “Tapi kenapa?”“Beliau meminta saya untuk mengawasi Bu Selina dan Pak Raven.” Shifa kembali menunduk. Ia tidak berani menatap wajah Selina.Selina mendengus kecil. Dusan ini terlalu mudah terbakar cemburu. Bahkan dengan anaknya sendiri. “Kamu berani?” tanya Selina datar membuat Shifa tersentak. “Eng—enggak, Bu. Saya hanya mengiyakan tapi saya nggak berani bilang apa pun tentang Ibu dan Pak Raven.”Selina melangkah mendekat satu langkah. Senyum tipis terangkat di sudut bibirnya. Tangannya terulur, jari-jarinya mencengkeram dagu Shifa dan memaksa wajah itu terangkat.Dengan senyum yang lebih lebar, Selina berkata, “Sebaiknya kamu ingat betul berapa banyak uang yang sudah saya berikan.”Shifa menelan ludah ketika ekspresi Selina berubah datar dalam sekejap. “Jangan lupa, Shifa. Saya bisa menghentikan pengobatan anakmu atau menjebloskan suamimu ke penjara lagi kapan saja," ujar Selina
Sebelah alis Raven bergerak naik. Detik selanjutnya, pria itu tersenyum simpul. "Buat apa aku pakai trik murahan begitu? Kalau aku mau aku tinggal bilang saja."Beberapa detik Selina terdiam, ia membenarkan argumen itu. Raven bukan orang bertele-tele. Dia bahkan terang-terangan mengatakan ingin menjalin hubungan terlarang dengan Selina. Seharusnya hal remeh seperti permintaan foto bersama itu akan diutarakan dari mulutnya sendiri, bukan?"Terus itu permintaan siapa?" tanya Selina lagi, masih ingin tahu kebenarannya. Raven mengedikkan bahunya. "Permintaan mereka sendiri. Mereka sudah bertahun-tahun menjadi data analyst, sudah pasti tahu selera pasar dengan baik."Selina akhirnya membuang napas panjang. "Walaupun bukan kamu yang minta, tapi kenapa kamu malah setuju?"Dengan senyum simpul yang kembali terukir Raven kembali menarik pinggang Selina hingga kini mereka tidak berjarak. "Mana mungkin aku melewatkan kesempatan berduaan dengan kamu?""Tapi kalau kaya gini, kita jadi nggak bebas
Dusan masih bersandar pada kursi putarnya. Punggung tengaknya menekan sandaran busa di kursi itu. sementara kedua tangannya mencengkeram penopang kursi hingga buku-buku jarinya tampak memutih. Mertuanya itu sedikit memutar kursinya ke samping, lalu kembali menghadap lurus. Tatapan mata pria paruh baya itu mengeras saat menyorot sang bawahan di depannya.Bahkan dari sorot mata saja, sudah jelas Dusanmenolak keras usulan yang baru saja diberikan. "Usulan kamu mungkin punya dampak. Tapi ini juga berisiko." Dusan menghela napas pendek, rahangnya mengeras. "Selina sudah menikah. Kalau saja benar-benar viral, bagaimana dengan reputasi Giovanni jika publik malah justru mendukung Selina dan Raven? Saya nggak ingin ada berita negatif yang menyerang Mathias Group maupun keluarga saya."Pegawai wanita itu menegakkan bahunya. Jari-jarinya meremas map tipis di tangannya sebelum akhirnya ia melangkah satu langkah lebih dekat ke meja."Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud ingin menjatuhkan ataupun memb
Selina menggigit bibirnya, matanya menatap kosong ke dinding apartemen. Ia berusaha menyusun kalimat yang terdengar wajar, seolah semuanya memang terjadi tanpa cela. Hampir saja ia menepuk dahinya sendiri. Terlalu larut dalam permainan Raven semalam membuatnya lupa satu hal penting, mengabari Giovanni bahwa ia tidak pulang. Kini pria itu menuntut jawaban. “Ah, maaf, Sayang. Aku lupa ngabarin kamu semalam,” katanya akhirnya, nada suaranya dibuat seringan mungkin. “Temanku dari Norvast lagi liburan ke Sylan beberapa hari. Dia ngajak aku ke apartemennya. Kami minum bir dan ngobrol sampai larut, jadi aku menginap di sana.” Ada jeda di seberang sana. Selina bisa membayangkan Giovanni menghela napas, kebiasaan kecil yang selalu muncul saat ia sedang menahan kecewa. “Aku tahu kamu pasti kangen sama temanmu itu,” ujar Giovanni akhirnya. Nada suaranya terlihat lebih santai dari sebelumnya. “Tapi apa susahnya kirim pesan sebentar? Aku benar-benar khawatir waktu tahu kamu nggak pulang.” Se
“Bukan buat main-main. Hanya keperluan kontrak sebagai model. Kamu juga harus menjalani pemotretan, sama seperti model-modelku yang lain.” Selina menoleh ke arah Raven. Kerutan di dahi pria itu perlahan menghilang setelah mendengar penjelasan tersebut. Bahkan tak tersisa sedikit pun raut curiga di wajahnya. “Nggak usah fisiknya, fotonya aja nggak apa-apa,” imbuh Selina lagi. Raven hanya mengangguk-anggukkan kepala. “Ya, nanti aku kirim fotonya ke kamu,” ujar pria itu sambil memainkan rambut Selina dengan tangan yang ditindih oleh kepala wanita itu. Senyum Raven berubah menyeringai. Ia kembali melingkarkan tangannya di pinggang Selina. “Tapi kalau begitu aku juga punya satu syarat lagi,” bisiknya, dan entah sejak kapan tatapan pria itu berubah menjadi sayu. “Syarat...” Selina bergumam seraya menundukkan kepala, melihat pergerakan tangan Raven yang makin tidak biasa. “Syarat apa?” Senyum di bibir Raven semakin mengembang sempurna. “Menghabiskan malam ini... dengan olahraga malam.
Raven menggeser tubuhnya mendekat, mempersempit jarak di antara mereka. Lengannya melingkar santai di pinggang Selina, menarik tubuh wanita itu sedikit lebih dekat ke dadanya. Kekehan tawa pelan keluar dari bibirnya, terdengar malas namun sarat sindiran.“Kamu benar-benar nggak bisa sabar, ya?”Selina mengerutkan kening. Tatapannya tertuju pada wajah Raven, bingung sekaligus kesal.“Maksudmu apa?”Raven memiringkan kepala. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring.“Baru saja selesai bercinta, kamu sudah ingin bertanya soal suamimu. Benar-benar memanfaatkan kesepakatan kita dengan sempurna.”Selina mendengkus. Ia melepaskan diri dari pelukan Raven, lalu bangkit setengah duduk. Kedua lengannya menyilang di depan dada, seolah memasang jarak.“Bukannya memang begitu perjanjiannya? Kamu yang bilang punya banyak solusi untuk masalahku. Kamu mau bantu asal aku jadi pacarmu, benar?”Wanita itu menatap Raven tanpa gentar. Sorot matanya tegas, nyaris menantang.“Sekarang aku sudah menep







