"Puk." Amel membenturkan keningnya ke kuning Bram, yang membuat pria tampan itu refleks membuka mata.
Ia sama sekali tidak sadar kalau Amel berada di atas tubuhnya, bahkan sebelah tangannya masih melingkar di pinggul wanita cantik itu.
"Aaaaa...." Teriak Bram saat matanya beradu dengan mata Amel.
Kedua tangan kekarnya refleks mendorong tubuh Amel, hingga wanita cantik itu jatuh ke lantai.
"Aow...." Rintih Amel, "Om sudah gila." Lanjutnya.
"Kamu yang gila, kenapa tidur di tasku?" Protes Bram dengan wajah kesal, "Kamu pasti....."
"Pasti apa?" Sela Amel yang membuat Bram tidak melanjutkan kata-katanya.
"Pasti ingin memperkosaku, ih....." Bram bergidik.
"Enak saja." Gerutu Amel sambil bangkit dari lantai, "Yang benar itu! om yang ingin memperkosaku." Lanjutnya.
"Masa!"
"Biar om tahu ya! om yang menarik tangan Amel sambil bicara, tolong jangan tinggalkan aku Tania." Amel berbicara sambil memanyunkan bibir, untuk mencibir Bram.
"Pasti kamu berbohong, iya kan?" Todong Bram.
"Terserah, susah bicara dengan orang tua."
Amel bergegas masuk ke dalam kamar. Wanita cantik berusia 19 tahun itu sudah mulai berani dan menunjukkan sifat aslinya.
Sementara Bram langsung bangkit dari sofa, ia berdiri di depan cermin. Kepalanya berputar ke kiri dan ke kanan untuk melihat wajah tampannya dari pantulan kaca.
"Setampan dan semudah ini! dia menyebutku orang tua!" Ucap Bram sambil menggeleng, "Besok aku harus membawanya ke rumah sakit, untuk periksa mata." Lanjutnya.
Memang benar, Bram masih terlihat muda dan tampan walupun usainya sudah menginjak 40 tahun.
Wajar saja terlihat muda, Bram selalu perawatan dan menyempatkan waktu untuk olahraga setiap hari. Itu sebabnya ia terlihat seperti usia 25 tahun.
......................Kring.....kring.....kring..... Suara nyaring itu membangunkan Amel di pagi hari.Ia membuka mata dengan malas, kedua kakinya diturunkan dari atas tempat tidur, melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah itu, Amel bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Hanya dalam waktu 15 menit, Amel sudah menyiapkan roti panggang yang diolesi cokelat lalu ditabur dengan parutan keju. Dan tidak lupa, dua cangkir kopi hitam.
"Sayang, jangan bicara seperti itu. Aku sangat mencintaimu." Suara itu terdengar dari ruang tamu.
Awalnya Amel tidak peduli dan mengabaikannya. Tetapi ia tiba-tiba penasaran, dengan siapa Bram bicara? apa dia membawa wanita lain?
Amel melangkah dengan hati-hati, ia menjulurkan kepala dari balik tembok.
"Ah...." Amel dan Bram berteriak secara bersamaan, bahkan ponsel yang di tangan Bram sampai terlepas.
Bagaimana tidak berteriak! saat Amel menjulurkan kepala, saat itu juga Bram muncul.
"Aku benar-benar sial setiap kali bertemu denganmu." Geram Bram dengan nada kesal.
Pria tampan itu meraih ponselnya dari lantai, dan langsung pergi meninggalkan apartemen. Sementara Amel hanya diam memandang punggung Bram menghilang di balik pintu.
"Ya Tuhan, yang sial itu! dia atau aku," ucap Amel.
Huf... Ia menghela napas untuk menenangkan perasaan. Entah mengapa, hatinya terasa pedih setiap kali Bram mengatakan sial jika bertemu dengannya.
Sementara di tempat lain, Bram sedang bicara dengan Alex. Pria tampan satu anak itu bukannya ke kantornya, melainkan ke kantor sahabatnya. Ia meminta Alex untuk membatalkan kontrak dengan Amel.
"Ya gak bisa dong Bram," ucap Alex.
"Kenapa gak bisa? kan aku gak meminta uangnya kembali!"
"Kamu kenapa sih gak suka sama itu anak? padahal Amel cantik, bohai, montok, bahkan dia lebih menarik daripada Riska."
Alex bingung kenapa sahabatnya itu tidak tertarik kepada Amel. Padahal Amel jauh lebih cantik dan lebih montok dari istri Bram.
"Kan dari awal kamu sudah tahu Lex, kalau aku tidak pernah tertarik dengan wanita lain. Cintaku hanya untuk Tania." Jawab Bram.
Bram sangat mencintai istrinya, ia menikahi Tania saat berusia 17 tahun. Kini usia pernikahan mereka sudah menginjak 21 tahun. Bram jatuh hati kepada Tania, saat wanita cantik itu bekerja sebagai pelayan di kediaman Wijaya, yang tak lain rumah Bram sendiri.
"Tania lagi Tania lagi. Bram, apa kamu tidak sadar dengan sikap Tania? dia itu selalu mengabaikan kamu, dan selalu meninggalkan kamu dengan alasan sibuk mengurus ibunya," ucap Alex dengan kesal.
"Dia mendekati kamu saat dia butuh uang. Istri macam apa seperti itu? bukankah seharusnya dia lebih mengutamakan suami dan anaknya?" Lanjut Alex.
Selama ini Alex tidak pernah membuka mulut tentang rumah tangga Bram. Ini pertama kalinya ia bicara seperti itu, Alex benar-benar muak dengan sikap Tania terhadap sahabatnya.
Alex tidak hanya menganggap Bram sebagai sahabat, tetapi ia sudah menganggapnya sebagai kakak. Bahkan di saat terpuruk, hanya kepada Bram lah ia meminta bantu. Mereka juga sudah berteman sejak kecil.
"Tapi Lex, Tania tidak seperti yang kamu bayangkan. Dia hanya berusaha berbakti kepada ibunya." Jelas Bram.
"Bram, Bram. Kamu itu terlalu cinta, sehingga matamu buta, tidak bisa melihat kenyataan. Tapi satu yang pasti, tidak ada kata membatalkan kontrak." Tegas Alex.
Pria tampan itu yakin, kalau Amel bisa menghibur Bram dari kesepian. Karena Riska sudah menceritakan semuanya, tentang Amel kepadanya.
"Terserah kamu saja, tapi jangan paksa aku untuk menemuinya setiap hari." Setelah mengatakan itu, Bram langsung pergi.
Sementara Amel, melakukan hal yang sama. Wanita cantik itu mengeluh karena tidak sanggup menghadapi Bram.
Tetapi Riska dengan bijak mengatasinya, ia menakuti Amel dengan mengatakan! Amel akan didenda jika mundur dari kontrak. Alhasil wanita cantik itu mengurungkan niat untuk berhenti menjadi sugar baby.
Kring....kring....kring..... Tiba-tiba ponsel Amel berdering.
Ia meraih ponsel jadulnya dari dalam tas, dengan sigap ibu jari tangannya menekan tombol berwarna hijau.
*Halo* Ucapnya.
*Halo, apa saya bisa bicara dengan ibu Amel Rahayu?* Suara dari seberang sana.
*Iya, saya sendiri* Jawab Amel.
*Kami dari perusahaan Pratama grup, meminta ibu untuk datang interview siang ini*
Amel langsung tersenyum, "Baik Bu, saya pasti datang." Jawabnya dengan penuh semangat.
"Siapa Mel?" Tanya Riska setelah sambungan teleponnya terputus.
"Katanya dari perusahaan Pratama grup, mereka memintaku untuk datang interview."
"Wah.... selamat ya," ucap Riska dengan tidak kalah semangat. "Tapi Mel, apa om Bram mengizinkannya?" Riska tiba-tiba teringat dengan status Amel.
"Ah, aku enggak peduli. Yang penting siang ini aku mau interview."
Amel sama sekali tidak peduli, Bram mengizinkannya atau tidak.
Tepat pukul 2 siang, Amel sudah tiba di perusahaan Pratama grup. Melihat bangunannya saja sudah membuat ia bahagia, apalagi setelah bekerja nanti! pasti dia sangat bahagia.
Amel masuk ke dalam lift menuju lantai 40. Setibanya di sana, ia melangkah dengan hati-hati agar sepatunya tidak mengeluarkan suara.
Rambutnya yang sedikit berantakan, ia rapikan di depan kaca. Amel mengeluarkan sisir dari dalam tas, lalu menyisir rambut panjangnya. Setelah itu ia mengoleskan lip glos ke bibirnya, dengan santainya ia memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan, tanpa menyadari kalau dari balik kaca banyak mata yang melihatnya.
"Ya Tuhan, kenapa anak itu ada di sini?"
==============Ramel tidak membuka mulut, rasa terharu sekaligus sedih membuat bibirnya kaku."Jadi untuk sementara waktu...." Melisa belum selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari lantai dua. Sontak membuat keduanya refleks meninggalkan ruang tamu menuju arah datangnya suara."Tidak, tidak, tidak." Teriakan itu menyambut Ramel dan Melisa."Ibu, ibu, ada apa ibu?" Melisa merangkul ibunya, wajahnya terlihat khawatir.Begitu juga dengan Ramel, pria tampan itu menarik Bella lalu memeluknya dengan erat. Menungkupkan wajah wanita cantik itu di dada bidangnya, sambil mengecup ujung kepala Bella dengan penuh kasih sayang.Setelah Bella sedikit tenang, Ramel mengajaknya duduk di sisi ranjang. Memberinya air mineral sambil berbicara dengan lembut."Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, aku merasakan sesuatu saat memasuki kamar ini," ucap Bella dengan wajah bingung.Ramel tersenyum tipis, "Apa kamu mengingat sesuatu?"Bella menggeleng, "Aku hanya merasa tidak asing dengan kamar ini, padahal
Dua hari telah berlalu, Ramel dan Tania sedang bersiap-siap untuk menemui wanita itu. Selama ini ayah satu anak itu benar-benar sibuk karena kliennya datang dari Singapura. "Kenan, kamu gak jadi ikut?" tanya Ramel saat tiba di meja makan.Dua hari yang lalu pria tampan berusia 17 tahun itu berjanji untuk ikut. Namun pagi ini ia masih terlihat mengenakan baju santai."Enggak Pah," jawab Kenan."Kenapa?" Tentu Ramel bertanya, apa alasan putranya tidak ikut!"Kenan merasa tidak enak badan Pah, kepalaku sedikit pusing.""Yasudah, kamu istirahat aja di rumah." Kali ini Tania yang membuka mulut.Ruangan itupun seketika hening, semua sibuk menikmati sarapannya masing-masing. Setelah itu Ramel dan Tania meninggalkan kediaman Wijaya bersama Lukas sopir kepercayaan keluarga Wijaya.Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, akhirnya mereka tiba. Tania memperhatikan rumah sederhana yang berdiri kokok di hadapannya. "Ayo Oma," ajak Ramel.Keduanya melangkah secara bersamaan, Ramel mengangkat sat
Tepat pukul satu siang, Ramel dan teman-temannya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Villa dan kembali ke kota. Sebenarnya mereka masih memiliki satu tujuan lagi, tetapi Ramel tiba-tiba ada urusan mendadak. Kliennya dari Singapura besok pagi sudah tiba di Indonesia."Mel, dari tadi Melisa kok gak kelihatan ya? Apa dia gak kerja?" tanya Alex sambil membantu Ramel memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Dia shift malam, jadi udah pulang tadi pagi," jawab Ramel dengan jujur."Oh, pantas itu anak gak kelihatan," sahut Alex, "Oh iya, kamu tahu dari mana?" lanjutnya."Tadi aku yang mengantarnya pulang." Ramel menceritakan semuanya kepada Alex, ia juga mengatakan merasakan sesuatu saat melihat ibunya Melisa berdiri di depan jendela."Kenapa kamu gak singgah dulu?" Tentu Alex bertanya!"Segan sama tetangganya, soalnya di rumah itu gak ada laki-laki," dalih Ramel."Iya juga sih, tapi Melisa dan ibunya kapan ke Jakarta? Bukannya kamu menawarinya untuk jadi asisten rumah tangga di kediaman W
"Kamu baru lulus sekolah ya?" Ramel kembali bertanya."Iya Om," sahut singkat Melisa."Kalau baru lulus sekolah jangan langsung nikah, lanjut kuliah dulu. Pernikahan itu tidak seindah yang dibayangkan." Ramel seketika menjadi seorang ayah yang sedang menasehati putrinya."Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya jadi tukang masak, lebih baik cari laki-laki yang mapan lalu nikah." Jawaban melihat membuat Ramel dan teman-temannya tercengang.Melisa bicara dengan wajah polos tanpa sedikitpun tersenyum. Wanita cantik berusia 18 tahun itu sungguh-sungguh ingin menikah, terlihat dari sorot matanya saat menatap Ramel.Entah apa yang membuatnya ingin segera menikah, padahal usianya masih sangat muda."Gimana Om? Mau nikah dengan saya?" lanjut Melisa sembari bertanya.Ramel tersenyum mengejek, "Anak zaman sekarang selalu bertindak tanpa berpikir dulu. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Lagipula aku tak mungkin menikah denganmu.""Kenapa gak mungkin Om? Yang penting kan, suka sama suka," p
Tujuh belas tahun telah berlalu, selama itu juga Ramel hidup dalam kesendirian, ia membesarkan Kenan bersama Tania yang saat ini sudah menginjak usia 67 tahun. Wanita tua itu sudah sering kali meminta Ramel untuk menikah, tetapi permintaannya selalu ditolak.Tania sudah mencoba menjodohkan beberapa wanita dari golongan atas kepala Ramel, tetapi pria tampan itu sama sekali tidak tertarik. Ia masih berharap Bella hidup dan kembali ke pelukannya."Ken," panggil Ramel yang duduk di ruang tamu bersama Tania.Kenan yang melangkah menuju pintu utama, terpaksa memutar langkah menghampiri ayah dan buyutnya."Iya Pah," sahut Kenan sambil menjatuhkan bokongnya di samping Tania."Besok pagi Papah mau touring ke luar kota, tolong jaga Buyut dan jangan pulang larut malam," pesan Ramel kepada putranya."Baik Pah, Kenan gak diajak Pah?" jawab Kenan sembari balik bertanya."Fokus dengan sekolahmu." Setelah mengatakan itu, Ramel bergegas meninggalkan ruang tamu.Kenan pun berpamitan kepada buyutnya, an
"Pantas saja ini tempat favorit mas Ramel, selain pemandangannya yang indah, suasananya juga terasa tenang," ucap Bella dengan nada lembut dan nyaris tak terdengar.Wanita satu anak itu memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari hidung dengan lembut, sambil menikmati sejuknya hembusan angin."Bella."Bella refleks membuka mata saat mendengar seseorang memanggil namanya, ia baru saja akan memutar kepala untuk melihat orang yang memanggilnya, tetapi dua telapak tangan sudah terlebih dahulu mendorong punggungnya dari belakang."Aaaaaahh...." teriak Bella yang terguling ke jurang hingga jatuh ke aliran air terjun.Saat itu juga Ramel terbangun dari tidurnya, seluruh kening pria tampan itu terlihat mengkilat akibat tetesan keringat, sehingga membuat Tania bingung dan terkejut ketika melihatnya ke luar dari kamar."Ramel, kamu kenapa?" tanya Tania yang sedang memberikan susu formula pada Kenan."Bella di mana Oma?" Bukannya menjawab, Ramel justru balik bertanya.
Setelah melepas hasrat sebanyak dua kali, Ramel dan Bella meninggalkan rumah pohon dan kembali ke Villa. Setibanya di sana, Tania langsung mengajak mereka untuk makan siang bersama. Wanita tua itu sudah menyiapkan beberapa menu di atas meja bersama pelayan.Makan siang kali ini sedikit berbeda, biasanya suasana di meja makan pasti akan hening karena tak ada yang boleh berbicara. Tetapi saat ini Ramel, Bella dan Tania menikmati makan siangnya sambil berbincang-bincang."Mel, Bel, malam ini Kenan biar tidur sama Oma aja ya?" ucap Tania sambil mengunyah makanannya.Iya, Ramel dan Bella menamai putranya Kenan Alexander Wijaya."Kenan setiap malam sering minta susu, nanti Oma jadi terganggu," sahut Bella."Enggak apa-apa, Oma gak merasa terganggu kok," ucap Tania.Wanita tua itu sengaja meminta Kenan tidur di kamarnya, agar Bella dan Ramel bisa berduaan menikmati liburannya. Dari awal Tania sudah menolak untuk ikut ke Villa, tetapi Bella memaksa."Yaudah, terserah Oma aja." Kali ini Ramel
Empat puluh hari telah berlalu, hari ini keluarga Wijaya sedang bersiap untuk liburan. Ramel akan memboyong keluarganya ke villa, seperti permintaan Bella waktu itu. Rencananya mereka akan menginap di sana selama satu Minggu."Mas," panggil Bella.Ramel yang melangk menuju pintu, menghentikan langkahnya lalu berputar menghadap Bella."Iya sayang," sahut Ramel dengan lembut."Sebabnya ada yang ingin aku bicarakan, Mas," ucap Bella dengan wajah serius.Ramel melangkah menghampiri istrinya yang duduk di sisi ranjang tepat di samping wanita cantik satu anak itu."Bicara apa sayang? Apa tentang liburan kita?" todong Ramel.Bella menggeleng, "Tidak mas, aku ingin bicara tentang pak Bara dan Mbok Inem," ucapnya.Ramel menghela napas, ia meraih tangan Bella lalu menggenggamnya dengan erat. Walupun Bella belum mengatakan apapun, Ramel sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh istrinya itu.Tentu tentang kejadian beberapa bulan yang lalu, di mana pak Bara dan Mbok Inem tiba-tiba mengkhianatinya
"Kenapa sayang?" tanya Ramel yang langsung memeluk Bella."Mas tega," bisik Bella."Bukan tega sayang, tapi Mas hanya mengikuti saran dari dokter," sahut Ramel yang juga berbisik.Akhirnya Bella mengikuti kemauan suaminya, ia mengijinkan dokter untuk melakukan tugasnya. Bella menggigit ujung baju Ramel untuk menahan rasa sakit yang luar biasa, bahkan lebih sakit dari melahirkan."Sudah Dok, saya gak kuat lagi," keluh Bella, akhirnya wanita cantik itu menyerah."Sebentar lagi ya Bu, tinggal satu jahitan lagi," sahut dokter. Wanita berjubah putih itu sengaja mengajak Bella bicara, untuk mengalihkan rasa sakitnya.Setelah 60 menit berlalu, Bella dipindahkan ke ruang inap begitu juga dengan bayi mungilnya. Wanita cantik itu sudah pasti menempati kamar President Suite.Ramel tak sedetikpun meninggalkan istri dan anaknya. Tatapnya tak lepas dari wajah tampan putranya, bayi mungil itu benar-benar mirip dengannya. Sungguh Ramel tak menyangka memiliki anak diusianya yang masih sangat muda, ia