Darren membanting pintu mobil begitu memarkirkan kendaraan di basement kantor pusat Atmaja Group. Suara bantingan pintu terdengar nyaring, membuat beberapa staf yang melintas langsung menoleh. Tapi Darren tak peduli. Wajahnya tegang, langkahnya cepat, napasnya berat. Amarah dan rasa malu campur aduk, tak tahu lagi harus dilampiaskan ke siapa. Setelah dipermalukan Nayla di depan kantor Sejahtera Group, dan—yang paling menyakitkan—diusir secara paksa oleh satpam, Darren merasa harga dirinya benar-benar diinjak-injak. Dan sialnya, ia tak bisa membantah atau membalas. Karena satu hal yang menyakitkan dari semua itu adalah: Nayla benar. “Bangke…” geram Darren pelan saat masuk lift, tak tahan menahan umpatnya sendiri. Ia menekan tombol lantai 12 dengan kasar, seperti tombol itu bisa jadi pelampiasan dari semua emosi yang mengaduk dadanya. Begitu lift terbuka, Darren langsung melangkah ke ruangannya. Ia membuka pintu dengan keras. Kaca jendela nyaris bergetar. Brakk. Ia melempar jas ke
Darren membanting pintu mobil begitu memarkirkan kendaraan di basement kantor pusat Atmaja Group. Suara bantingan pintu terdengar nyaring, membuat beberapa staf yang melintas langsung menoleh. Tapi Darren tak peduli. Wajahnya tegang, langkahnya cepat, napasnya berat. Amarah dan rasa malu campur aduk, tak tahu lagi harus dilampiaskan ke siapa.Setelah dipermalukan Nayla di depan kantor Sejahtera Group, dan—yang paling menyakitkan—diusir secara paksa oleh satpam, Darren merasa harga dirinya benar-benar diinjak-injak. Dan sialnya, ia tak bisa membantah atau membalas. Karena satu hal yang menyakitkan dari semua itu adalah: Nayla benar.“Bangke…” geram Darren pelan saat masuk lift, tak tahan menahan umpatnya sendiri. Ia menekan tombol lantai 12 dengan kasar, seperti tombol itu bisa jadi pelampiasan dari semua emosi yang mengaduk dadanya.Begitu lift terbuka, Darren langsung melangkah ke ruangannya. Ia membuka pintu dengan keras. Kaca jendela nyaris bergetar.Brakk.Ia melempar jas ke sofa
“Naylaaaa!” panggil Darren lantang.Suara pria itu terdengar sangat menyebalkan di telinga Nayla. “Ya ampun…” gumam Nayla, kesal. “Gila beneran ini orang...”Ia berjalan cepat keluar rumah, tapi tidak membuka pagar. Ia hanya berdiri di balik pintu pagar besi rumahnya, menatap Darren dengan wajah tak suka.“Apa begini kelakuan seorang CEO perusahaan ternama di Asia Tenggara? Datang ke rumah orang tanpa sopan santun? Atau jangan-jangan memang aslinya memang begini?” seru Nayla, tak bisa menyembunyikan amarahnya.Ekspresi Darren yang menyeringai malah membuat Nayla makin kesal. Cara pria itu berdiri dengan wajah menyebalkan dan sikap seenaknya membuat Nayla ingin menyiram mukanya dengan air bekas cucian piring.“Makanya cepat buka pagarmu. Aku harus bicara denganmu,” kata Darren dengan nada memaksa.“Maaf, saya tidak menerima tamu. Kecuali Anda datang menyerahkan nyawa!” Nayla membalas dengan tajam, dingin, dan sangat tidak bersahabat.Alih-alih jera, Darren justru tertawa, seenaknya. T
Ting nong.Suara bel kembali terdengar. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Nayla menegang di tempatnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu siapa yang kemungkinan besar berdiri di balik pagar itu.Darren.Bukan karena perasaannya masih dipenuhi dengan dendam. Bukan juga karena takut pada masa lalu. Tapi karena Nayla belum siap jika pria itu tahu tentang Raja. Anak mereka. Nayla belum siap jika pria itu akan mengganggu kehidupannya dengan Raja. Tak ada alasan untuk Nayla bilang kalau Raja bukan darah daging Darren, karena kemiripan wajah mereka yang sangat jelas terlihat.Ia sudah terlalu jauh membangun ulang hidupnya dari nol. Tapi Darren, seperti yang ia kenal dulu, bukan tipe yang mudah menyerah. Nayla yakin pria itu pasti mencari tahu tentang keberadaan Nayla.“Mbak, tolong...” ucap Nayla pelan sambil memeluk erat tubuh kecil Raja yang duduk di pangkuannya.“Baik, Bu. Kalau ternyata dia itu sama dengan Raja, usir dan tonjok. Begitu kan, Bu?” Jawaban santai Mbak Siti membuat Nayl
Sementara itu, di sisi lain Nayla baru saja mengunci pagar rumahnya ketika suara riang dan nyaring langsung menyapa dari arah dalam.“Mamaaaaaaaa!” teriak Raja dengan semangat, berlari kecil menghampiri sang mama.Nayla langsung berjongkok, menyambut putranya yang berusia tiga tahun itu dengan pelukan hangat. Pelukannya penuh rasa sayang, seperti pelukan yang menghapuskan seluruh rasa lelah yang dibawa pulang dari kantor. Di sela pelukan itu, bibir Nayla mengecup wajah kecil Raja berkali-kali, seolah tak ingin melewatkan satu titik pun.“Anak Mama sudah makan belum?” tanyanya, sembari menempelkan kecupan hangat di kening anaknya.Raja mengangguk cepat. “Sudah, Mama. Ayo kita masuk. Mama harus istirahat. Mama nggak boleh capek-capek,” ucap bocah itu sambil meraih tas kerja sang Mama dari tangannya.Nayla hanya bisa tersenyum kecil melihat perhatian buah hatinya. Meski masih sangat belia, Raja selalu menunjukkan sikap dewasa yang kadang membuat Nayla lupa bahwa anaknya baru berusia tiga
Nayla meronta ingin melepaskan diri dari pria yang paling ingin Ia hindari. Tapi cengkraman tangan pria itu sangat kuat.“Jangan turun. Kita harus bicara. Kita harus selesaikan semua ini. Kamu nggak bisa terus-terusan menghindar dan tiba-tiba menghilang gini,” suara Darren terdengar kesal bahkan sudah naik satu oktaf dan penuh tekanan. Tangannya terus mencengkeram pergelangan tangan Nayla dari kursi depan, membuat Nayla sontak menarik diri.“Masalah itu seharusnya dihadapi, bukan ditinggal kabur begitu saja. Aku nyuruh kamu ke apartemen waktu itu karena aku mau nenangin diri dulu. Setelah itu, kita bisa ngomong baik-baik. Tapi kamu malah hilang. Nggak ada kabar. Bahkan semua orang juga nggak tahu kamu ke mana!” Darren makin emosi, suaranya meninggi. Cengkeramannya makin erat.Nayla tidak menjawab. Tapi tatapannya menusuk hingga tembus kerudung hati Darren. Bukan tatapan orang ketakutan, tapi tatapan orang yang muak dan menyimpan dendam dan kebencian yang tak bisa diukur dengan apapun.