Ternyata Miranda mencoba mengambil pecahan kaca dan menyayat pergelangan tangannya. Tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat darah mengalir di kulit pucatnya. Semua orang terkesiap. Pelayan yang melihatnya pertama kali langsung berteriak dari belakang ruang tamu, membuat ruangan itu sontak hening dan mencekam.Andika segera bereaksi. Dengan sigap dia menarik tangan Miranda dan menyambar pecahan kaca dari tangan istrinya. Dilemparkannya jauh ke lantai. Miranda berteriak kecil, tubuhnya limbung, tapi Andika mencengkeram kedua lengannya agar tetap duduk di sofa.Wajah Andika merah padam, napasnya memburu, tapi bukan karena panik, melainkan karena marah. Sangat marah.“Kau pikir dengan mengakhiri hidupmu semua ini akan selesai, Miranda?” suaranya nyaris seperti lolongan penuh amarah. “Sekaranglah saatnya anak kita tahu siapa kamu sebenarnya! Aku sudah tidak peduli lagi! Mau kau ancam apa pun, bahkan kalau kau benar-benar ingin mati pun… aku tetap akan bongkar semuanya!”Miranda terisak ke
BRAAAK!Pintu kamar hotel itu terhempas keras menabrak dinding.Darren menerobos masuk tanpa aba-aba, tanpa salam, tanpa sepatah kata pun. Nafasnya memburu. Matanya menatap tajam seperti elang yang siap mencabik. Edward belum sempat bereaksi, pria itu bahkan belum selesai mengenakan celana panjangnya ketika tinju pertama mendarat tepat di rahangnya.BUGH!Tubuh Edward terhuyung ke belakang, membentur sisi ranjang.“Dasar laki-laki sampah!!” teriak Darren, marahnya tak bisa dihentikan seperti kendaraan tanpa rem. “Kau itu laki-laki muda! Tapi otakmu busuk! Bisa-bisanya kau tidur sama perempuan seumuran ibumu sendiri! Dan dia adalah Mamaku!!”BUGH! BUGH!Pukulan demi pukulan menghujani Edward. Tak ada celah untuk menghindar. Darren seperti kehilangan kontrol sepenuhnya. Edward hanya bisa mengangkat tangan menutupi wajah, tapi tetap saja, tangan Darren terus menghantam ke mana saja.Bayu berdiri tak jauh di ambang pintu, hanya bisa membisu dan menjadi penonton. Dia tak menghentikan Darre
“Berhenti, nggak?! Jangan kayak gini!” bentak Edward, wajahnya memerah menahan emosi.Suasana kamar hotel masih sangat menegangkan meski penggerebekan sudah selesai. Pakaian mereka sudah kembali melekat di tubuh, namun rasa malu tak bisa ditutupi. Petugas kepolisian masih berjaga, memastikan proses hukum tetap berjalan sesuai prosedur. Beberapa pihak hotel juga ikut menyaksikan, canggung, namun tak bisa berbuat banyak karena sudah menyangkut ranah hukum dan skandal publik.Tunangan Edward masih berdiri tegak di ambang pintu, wajahnya dingin tapi matanya menyala penuh kemarahan. Dia tidak bergeming sedikit pun dengan gertakan Edward. Dia bahkan tidak berkedip melihat pria yang selama ini ia percaya justru tidur dengan wanita paruh baya—seorang sosialita yang tak tahu malu.“Aku nggak akan pernah menikahimu kalau kamu seperti ini!” seru Edward lantang. “Kamu mempermalukan aku! Kamu hancurkan perusahaanku yang bahkan belum sempat berkembang!”Suara yang keluar dari mulut Edward naik turu
Darren membanting pintu mobil begitu memarkirkan kendaraan di basement kantor pusat Atmaja Group. Suara bantingan pintu terdengar nyaring, membuat beberapa staf yang melintas langsung menoleh. Tapi Darren tak peduli. Wajahnya tegang, langkahnya cepat, napasnya berat. Amarah dan rasa malu campur aduk, tak tahu lagi harus dilampiaskan ke siapa. Setelah dipermalukan Nayla di depan kantor Sejahtera Group, dan—yang paling menyakitkan—diusir secara paksa oleh satpam, Darren merasa harga dirinya benar-benar diinjak-injak. Dan sialnya, ia tak bisa membantah atau membalas. Karena satu hal yang menyakitkan dari semua itu adalah: Nayla benar. “Bangke…” geram Darren pelan saat masuk lift, tak tahan menahan umpatnya sendiri. Ia menekan tombol lantai 12 dengan kasar, seperti tombol itu bisa jadi pelampiasan dari semua emosi yang mengaduk dadanya. Begitu lift terbuka, Darren langsung melangkah ke ruangannya. Ia membuka pintu dengan keras. Kaca jendela nyaris bergetar. Brakk. Ia melempar jas ke
Nayla tak perlu tahu dari mana pria itu mendapatkan alamatnya. Karena segala sesuatu yang tidak mungkin, selalu menjadi mungkin di tangan Darren. Namun sayangnya, mengenai kebenaran fitnah itu tidak pernah pria itu cari tahu dengan sungguh-sungguh. Nayla tak peduli dengan fitnah baru sebagai penggoda Papanya Bima. Dan Nayla yakin omongan busuk itu pasti berasal dari Sang Mantan. Dia lebih memilih membersihkan diri. Benar kata Marcella, mereka harus segera menyelesaikan masalahnya, lalu benar-benar mengasingkan diri dari pria berisik itu. Setelah selesai membersihkan diri. Ia mengajak sang buah hati untuk tidur. Raja sudah terlelap. Napasnya terdengar lembut dan teratur. Tubuh kecilnya meringkuk dalam selimut biru kesukaannya, tangan mungilnya masih memeluk boneka dino yang setiap malam menemaninya tidur. Di samping ranjang, duduklah Nayla, membelai rambut anak itu perlahan. Malam itu sepi. Hanya suara pendingin ruangan yang pelan berputar di dinding kamar, menemani Nayla yang diam
“Naylaaaa!” panggil Darren lantang.Suara pria itu terdengar sangat menyebalkan di telinga Nayla. “Ya ampun…” gumam Nayla, kesal. “Gila beneran ini orang...”Ia berjalan cepat keluar rumah, tapi tidak membuka pagar. Ia hanya berdiri di balik pintu pagar besi rumahnya, menatap Darren dengan wajah tak suka.“Apa begini kelakuan seorang CEO perusahaan ternama di Asia Tenggara? Datang ke rumah orang tanpa sopan santun? Atau jangan-jangan memang aslinya memang begini?” seru Nayla, tak bisa menyembunyikan amarahnya.Ekspresi Darren yang menyeringai malah membuat Nayla makin kesal. Cara pria itu berdiri dengan wajah menyebalkan dan sikap seenaknya membuat Nayla ingin menyiram mukanya dengan air bekas cucian piring.“Makanya cepat buka pagarmu. Aku harus bicara denganmu,” kata Darren dengan nada memaksa.“Maaf, saya tidak menerima tamu. Kecuali Anda datang menyerahkan nyawa!” Nayla membalas dengan tajam, dingin, dan sangat tidak bersahabat.Alih-alih jera, Darren justru tertawa, seenaknya. T