Raka digiring turun dari rooftop oleh dua polisi yang memegang erat kedua lengannya. Wajahnya pucat, keringat bercucuran, bukan hanya karena rasa sakit di kaki akibat tembakan, tapi juga karena amarah yang ditahan-tahan. Sepatunya berlumuran darah, meninggalkan jejak di setiap anak tangga darurat yang mereka lewati. Suara langkah sepatu polisi dan teriakan singkat dari beberapa staf yang melihat pemandangan itu bercampur jadi satu, membuat suasana di dalam gedung terasa menegangkan.Sampai di lantai satu, pintu darurat dibuka paksa. Beberapa karyawan yang sedang duduk di sofa lobby langsung berdiri, sebagian menutup mulutnya kaget, sebagian lagi berbisik-bisik sambil menatap ke arah Raka yang dibopong dua polisi.Ambulans sudah terparkir tepat di depan pintu kaca gedung. Sirenenya tidak berbunyi, tapi lampu strobo merah-biru berputar pelan, memantul di kaca depan lobby. Dua petugas medis berdiri di dekat pintu ambulans, siap dengan tandu lipat yang sudah dibentangkan. Begitu melihat
“Dia kabur lewat pintu darurat, pak. Dia sudah naik motor,” lapor salah satu staf yang tadi juga ikut mengejar Maria. Di perusahaan Atmaja group memang memiliki pintu darurat. Dan Maria mengetahui seluk beluk kantor Atmaja group karena dia dulu adalah bagian terpenting dari sang pemilik perusahaan. Tentu saja dengan mudah dia bisa melarikan diri. “Brengsek!” Umpat Darren.“Kami akan mengejarnya, pak. Kami permisi dulu,” pamit polisi itu. Darren mengangguk. Dia dan Bayu juga menyusul ke kantor polisi untuk membuat laporan resmi sambil membawa barang bukti.Di sisi lain, dua polisi berpakaian sipil melangkah cepat menuju meja resepsionis Sejahtera Group. Wajah mereka serius, tapi senyum tipis tetap mereka berikan untuk menjaga kesan ramah. Salah satu dari mereka membuka map berisi dokumen, sementara empat polisi yang lain menatap sekeliling, memastikan kondisi aman.“Selamat sore, Bu,” sapa polisi yang berdiri di depan resepsionis. “Kami dari kepolisian. Bisa kami bertemu dengan Pak
“Aaaargggh! Praaaaaang.” Darren melempar semua benda di atas meja kerjanya. “Ternyata dia dalang di balik kebakaran gudangku!” teriak Darren. Suaranya menggema di ruang kerjanya, membuat Bayu reflek mengambil laptop dan ponsel Darren agar tak ikut tersapu seperti benda lainnya. Dadanya naik turun, wajahnya merah padam menahan amarah. Tangannya memukul meja berkali-kali seakan siap menghancurkan apapun yang ada di depan matanya.“Cepat lapor polisi! Mereka harus menangkap Raka, Maria, dan Bima!” Darren memberi perintah tegas pada Bayu. Ucapnya singkat dan naik beberapa oktaf, tidak memberi ruang untuk Bayu menanyakan sesuatu atas perintahnya.“Baik, Pak.” Bayu langsung berdiri. Dia harus bergerak cepat, tapi matanya masih melirik ke arah Darren, memastikan perintah itu benar-benar serius.Darren kembali duduk di kursinya, tapi wajahnya penuh rasa benci pada orang-orang yang sudah menghianatinya. “Bisa-bisanya aku tertipu oleh Maria. Ternyata anak itu… anaknya Bima! Anak yang dikandung
“Aku nggak nyangka ternyata Pak Raka kerjanya gercep juga dan aku puas, hanya dalam hitungan menit saham perusahaan ini anjlok,” ucap Bima, wajahnya penuh kepuasan. Ia duduk bersandar di kursinya, menatap layar ponsel yang menampilkan grafik saham Atmaja Group yang turun tajam. Bibirnya tersenyum lebar, seolah baru saja memenangkan undian besar. Tidak ada sedikit pun rasa bersalah di matanya, justru ia terlihat bangga bisa menghancurkan tempatnya bekerja sendiri.“Kamu masih dendam banget ya sama Darren?” tanya Maria, memiringkan kepalanya sambil melirik Bima. Dari suaranya seperti ingin memastikan, meski sebenarnya dia tahu jawabannya. Maria sengaja memancing, ingin mendengar lagi alasan di balik kebencian Bima.“Sampai mati pun aku akan dendam pada manusia itu. Andai saja dia tidak datang, mungkin Nayla sudah kembali ke pelukanku. Tapi aku bersumpah akan memisahkan mereka,” jawab Bima, matanya menyipit penuh amarah. Tangannya mengepal di atas meja, seolah membayangkan wajah Darren
“Apa kita lepas saja perusahaan ini ya, Bay?” tanya Darren.Semua jalan sepertinya sudah tertutup. Tak Ada yang Bisa menutup kekacauan keuangan di Atmaja Group. Sejak gudangnya kebakaran, Darren tak pernah memberikan bonus lagi pada semua karyawan di pusat maupun di cabang. Dia tak punya uang untuk melakukan itu lagi. Dia hanya ingin berguna sedikit untuk anak dan istrinya. Mengambil sebagian tabungan pribadinya untuk mereka. Dan sisanya sudah ia gunakan untuk menutup kekacauan di perusahaan. Bahkan sebentar lagi mobil-mobil mewahnya itu semuanya akan dijual. Tapi itu belum cukup. Satu masalah belum selesai, kini timbul lagi masalah yang lain. “Lepas gimana maksud anda, pak?” tanya Bayu.Bayu sangat mengerti apa maksud atasannya. Tapi dia bingung harus merespon seperti apa. Semua investasi pribadi milik atasannya sudah terjual untuk menutup keuangan perusahaan. “Kita serahkan pada Pak Agung. Karena aku nggak sanggup harus pinjam lagi sama dia. Mau mengembalikan pakai apa kalau haru
“Pak… harga saham anjlok.”Ucapan itu jatuh begitu saja dari bibir Bayu, namun bagi Darren, kata-kata itu terasa seperti hantaman palu godam ke dadanya.“Apa…?” Suara Darren tercekat, matanya membesar tak percaya.“Ini… jauh lebih parah dari sebelumnya, Pak.” Bayu melangkah maju, tangannya gemetar saat menyerahkan MacBook yang menampilkan grafik merah menyala, garisnya menukik tajam bagai jurang yang tak berujung.Darren menatap layar itu. Setiap detik, angka demi angka berubah, seolah-olah mempermainkan hatinya. Wajahnya memanas, urat-urat di pelipisnya menegang. Baru saja ia berencana pergi ke kantor polisi untuk menghadapi John—pria yang diduga menjadi dalang di balik pemberian racun—namun kini badai lain datang menerjang tanpa ampun.Bagaimana ini bisa terjadi? Bayu, bukankah kemarin semuanya masih terkendali? pikirnya.Nafas Darren terasa berat. Warna wajahnya memudar, digantikan pucat yang menyebar hingga ke leher. Keringat dingin mengalir deras, membasahi pelipis dan punggungny