“Loh, Mas. Kok cepat banget?” tanya Nayla sambil berjalan ke arah pintu, sudah mengenakan piyama tidur. Dia berjalan menghampiri sang suami yang baru masuk ke dalam rumahnya. “Malas,” jawab Darren. Dia langsung masuk, melepaskan jasnya, dan menaruhnya di sandaran kursi di meja makan. Wajahnya tampak masam, dan Nayla tak perlu tanya sudahtahu penyebabnya, langkahnya cepat, jelas dia ingin langsung masuk dan senang terbebas dari percakapan yang tidak penting di restoran. Begitu pintu tertutup, suasana rumah sang istri langsung terasa berbeda. Bukan karena Darren datang membawa angin segar, tapi karena Raja langsung berteriak senang dari arah ruang keluarga. Bocah tiga tahun itu awalnya duduk di sofa bersama Marcella, sibuk menyusun balok mainan yang sebenarnya lebih sering berakhir berantakan daripada jadi bentuk utuh. Begitu melihat Darren, Raja langsung berdiri, berlari, dan meloncat ke pelukan sang Daddy. Seolah dari tadi dia sudah menunggu dengan penuh semangat, padahal lima me
“Aku belum terlambat, kan?” tanya Maria dengan wajah sok polos, seolah dia tamu kehormatan yang memang ditunggu-tunggu sejak tadi.Darren langsung menoleh. Sorot matanya langsung tajam menatap wanita itu. Jelas dia tidak suka Maria muncul di sini. Tapi seperti biasa, Miranda malah tersenyum manis, seolah-olah semua ini bagian dari rencananya yang sudah matang.“Kami juga baru sampai, silakan duduk,” ucap Miranda ramah, senyumnya tidak pernah lepas sejak Maria muncul. Entah senyum karena bahagia, atau karena skenario yang dia susun berjalan sesuai keinginannya.Maria mengangguk dan langsung duduk di samping Darren, tanpa ada keraguan sedikitpun. Seolah kursi itu memang disediakan khusus untuknya. Darren hanya diam, tapi wajahnya langsung berubah masam. Pandangannya lurus ke depan, tidak mau melirik sedikit pun ke arah wanita yang sekarang menempel di sisi kirinya.Andika yang duduk tak jauh dari mereka, terlihat kikuk. Dia diam saja, seperti sedang menahan napas. Matanya beberapa kali
“Halo, Mas? Udah kangen lagikah?” sindir Nayla.Darren terkekeh dari seberang telepon, “kangen banget. Aku cuma mau bilang jangan lupa minum obat kuat, karena aku akan minta jatahku 3 ronde. Gak boleh kurang.”Wajah Nayla panas, bukan karena marah tapi dia malu mendengar ucapan suaminya. “Kamu ini kalau telepon aku nggak jauh-jauh dari urusan itu,” ucap Nayla ketus.“Kalau urusan tembak-tembakan pastinya aku telp Raja dong, sayang,” jawab Darren. Terdengar suara Marcella di rumah sang istri membuat Darren berdecak sebal.CK“Ada dia?”Nayla terkekeh, bukankah tadi pagi aku sudah bilang dia akan datang hari ini, Mas. Kalau menaklukkan Raja saja kamu bisa, masa pawangnya Raja gak bisa kamu taklukkan juga,” ejek Nayla.“Galak banget, dia,” ucap Darren. Nayla hanya terkekeh.“Oh iya, sayang. Nanti malam aku mau temenin Mama dulu ketemu sama kolegannya nenek. Sepertinya ada hal penting yang akan dibicarakan. Mama sih memintaku datang ke restoran, jadi setelah dari makan malam itu aku bar
“Maaaaaaas!”Teriakan Nayla menggema dari depan ruang kerja CEO Atmaja Group. Suaranya bikin Bayu langsung refleks berdiri dari kursinya. Darren yang sedang duduk selonjoran dengan sandal jepit, dan Raja yang lagi main robot-robotan di bawah meja, langsung menoleh kaget.Pintu terbuka lebar. Nayla muncul dengan wajah merah, alis terangkat, dan tangan di pinggang. Begitu matanya menyapu seluruh ruangan, napasnya langsung naik-turun. Ruang kerja Darren udah seperti ruang kelas anak TK campur markas ninja. Robot-robot plastik berserakan, pistol mainan ngelinding ke kolong sofa, pedang-pedangan nyangkut di tirai. Meja kerja penuh stiker, sticky note coret-coretan Raja, dan ada tumpahan susu kotak di pojok.Rambut Raja acak-acakan seperti baru bertarung lawan lima anak tetangga. Jaketnya entah ke mana, sekarang dia cuma pakai kaos oblong tipis yang udah hampir melorot ke bahu. Darren sendiri? Lebih cocok disebut tukang parkir daripada CEO. Kemeja terlepas setengah, rambut berantakan, dan..
Nayla berdiri di depannya, kedua tangannya saling meremas. Dia sudah siap dengan segala reaksi Raka, tapi tetap saja detak jantungnya tak bisa tenang. Ruangan itu terasa pengap. Tapi bukan karena AC mati, melainkan karena aura Raka yang penuh amarah karena tidak bisa mengontrol egonya.Kalimat yang barusan keluar dari mulut Raka menghantam Nayla seperti batu besar yang jatuh dari atas gunung. Namun dia tidak goyah. Dia tahu kalimat-kalimat seperti itu pasti akan keluar dari mulut atasannya. Dari dulu Raka memang tidak pernah suka jika ada orang menolak perintahnya. Sekali dia anggap bawahannya penting, maka bawahan itu harus siap diikat sampai leher.“Maaf, Pak. Saya tetap tidak bisa. Saya tidak bisa ikut ke Amerika. Anak saya masih kecil. Saya gak mungkin ninggalin dia seminggu penuh hanya demi pekerjaan,” kata Nayla lirih. Tangannya kini mengepal di sisi tubuhnya, menahan semua tekanan yang ada depan meja besar itu.Raka mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya mendekat ke map bening
Setelah keluar dari ruangan Raka, Nayla langsung menuju ke meja kerjanya yang berada persis di depan ruang kerja bosnya itu. Langkahnya terasa berat, dan pikirannya masih kacau. Dia menarik kursi dan duduk pelan, lalu menatap layar monitor yang sejak pagi belum sempat disentuh.Tangannya memegang sisi meja, mencoba menstabilkan napas yang terasa sesak. Kepalanya terasa sakit. Rasanya seperti baru ditabrak kenyataan besar yang tak pernah dia perkirakan. Hanya dalam waktu kurang dari lima menit, rencana hidupnya berantakan total.“Ya Tuhan, aku benar-benar gak nyangka dua hari lagi harus nemenin Pak Raka ke Amerika…” gumam Nayla lirih. Suaranya seperti nyaris tenggelam di tengah suara keyboard dan printer dari arah ruangan lain.Dia bersandar di kursi dan menatap langit-langit kantor. Matanya kosong. Pikirannya tak karuan.Dia bukan stres karena harus ke luar negeri, bukan juga karena harus pergi mendadak. Tapi karena tak bisa jauh dari Raja.Bagaimana mungkin dia meninggalkan anaknya s