Ethan nyaris terlonjak saat ayah Joanna mendadak berdiri dibelakangnya. "Kita harus bicara," ujar lelaki paruh baya itu. Tanpa mengatakan apapun, Ethan mengikuti ayah Joanna. Dia sudah menyiapkan diri diintrogasi oleh ayah Joanna. Mereka duduk di ruang tunggu yang sepi karena sudah larut malam. Ethan menatap lelaki paruh baya itu dalam diam. Alih-alih berbicara lelaki itu malah mengeluarkan bungkus rokok, mengambil sebatang lantas meletakkan di atas meja. Ethan mendorong bungkus rokok itu menjauh. "Tidak merokok?" tanya lelaki paruh baya itu lantas mengepulkan asap rokok dari bibirnya. "Tidak, Om," jawabnya cepat. Ethan sedikit terganggu dengan kepulan asap rokok yang mengganggu pernapasannya. "Apa pekerjaanmu?" tanyanya sambil menatap Ethan penuh selidik. "Hanya pegawai kantoran biasa, Om," jawab Ethan asal. "Hanya pegawai kantor? Ck, pasti gajinya masih banyakan Joanna. Saya tidak merestui kalian!" tegasnya. Ethan terperangah, tidak menyangka dia dipand
"Kenapa kamu berikan uangnya? Kamu tahu ayah nggak akan berhenti meminta uang. Sekali dia minta dan dikasih, dia akan terus melakukannya. Uangnya hanya untuk judi dan mabuk." Joanna tidak habis pikir, padahal dia sudah melarang Ethan memberikan uangnya, tapi tetap saja lelaki itu keras kepala. Ethan menggenggam tangan Joanna, membuat wanita itu tersentak kaget. "Jangan emosi! Ibu hamil nggak boleh emosi karena nanti akan mempengaruhi kondisi janin," ujar Ethan. Joanna tersentuh mendengar ucapan Ethan. Lelaki yang dia pikir cuek dan dingin ternyata punya sisi perhatian juga. Joanna mendekat saat dia melihat Ethan memberikan uang pada ayahnya. "Kembalikan uangnya, Yah!" pinta Joanna. Dia berusaha menarik amplop cokelat dari tangan ayahnya, tapi lelaki paruh baya itu malah menjauh dan menyembunyikan uangnya di balik punggung. "Enak saja, ini uang ayah. Sekarang terserah kalau kamu ingin menikah dengan Ethan. Ayah tidak akan menghalanginya." Joanna berusaha mengejar ayahn
"Biarkan aku tetap bekerja meskipun kita sudah menikah!" pinta Joanna. Ethan terkejut mendengar permintaan Joanna, jelas dia keberatan karena itu bisa membahayakan kehamilannya. "Tidak bisa, Joanna. Aku tidak akan membiarkanmu bekerja saat hamil. Kamu fokus saja pada kehamilanmu! Aku akan cukupi semua kebutuhanmu." Joanna sama sekali tidak tergiur dengan tawanan yang diberikan oleh Ethan. "Jangan halangi aku berkarir, Ethan!" "Berhentilah keras kepala, Joanna! Kamu sedang hamil, terlalu beresiko. Kamu bisa berkarir lagi setelah melahirkan." Joanna mencondongkan tubuhnya ke depan. Sepertinya dia harus mengingatkan janji yang telah mereka sepakati sebelumnya. "Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak akan mengekang aku setelah menikah." "Ya, tapi untuk yang satu ini aku tidak bisa. Aku tidak mau ambil resiko. Keselamatanmu dan anak kita yang paling utama," tegas Ethan. Lelaki itu harap kali ini Joanna mau mendengarkannya. "Aku bisa jaga diri, Ethan. Tidak perlu khawatir!
Jantung Joanna berdebar kencang saat dia melihat pantulan wajahnya di depan cermin setelah penata rias selesai meriasnya. Dia nyaris tidak mengenali wajahnya sendiri. Akhirnya, hari pernikahannya tiba juga. “Mbak Joanna cantik sekali,” puji penata rias itu. Joanna bahkan tidak bisa berkata-kata lagi. “Ayo, ganti gaun pengantin dulu, Mbak Joanna!” Wanita itu hanya menurut, tiga orang membantunya menggunakan gaun itu. Kini penampilannya sudah lengkap dari atas kepala sampai ujung kaki. Gaun yang memiliki ekor panjang itu melekat sempurna di tubuh Joanna. “Astaga, gaunnya cocok sekali dengan Mbak Joanna. Cantik sekali, Mbak!” puji penata rias itu lagi. Joanna tersenyum tipis. “Terima kasih.” Wanita itu tidak bisa berpaling dari cermin, meskipun gaun itu cukup berat tapi Joanna menyukai gaun itu. Desainer pilihan Ethan memang terbaik, bisa membuatkan gaun sesuai dengan permintaannya. Tok … Tok … Tok …. Suara ketukan pintu membuat semua orang menoleh ke pintu. “Sep
“Bagaimana dengan kamar pengantin?” Joanna bingung saat suaminya mengajaknya meninggalkan hotel tempat mereka melangsungkan pernikahan. Padahal, dia tahu Ethan sudah menyiapkan kamar untuk mereka dan harganya sangat mahal. Pertanyaan itu membuat Ethan menoleh. “Apa kamu ingin kita di sana?”Joanna menggeleng. “Tidak usah. Terserah kamu saja!”Ethan mengajak Joanna pergi ke kediamannya yang kini sudah resmi menjadi rumah mereka. Gerbang rumah langsung terbuka begitu Ethan tiba, seseorang langsung membukakan pintu untuk mereka setelah mobil itu berhenti di depan rumah. Ethan membantu Joanna mengangkat ekor gaun pengantin wanita itu. “Aku bisa sendiri, biar aku bawa,” ujar Joanna berusaha mengambil alih gaunnya. “Tidak usah, jalanlah dulu!”Joanna mengangguk, berkat Ethan dia bisa berjalan dengan nyaman. Wanita itu berhenti setelah melewati pintu, dia baru menyadari rumah Ethan begitu mewah sekali. Rasanya dia tidak bosan melihat furniture mewah yang ada di ruang tamu. “Joanna, seka
“Sekian briefing hari ini.” Lelaki berseragam pilot itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas begitu dia sadar jika masih punya banyak waktu untuk sekedar bersantai di cafetaria. Lelaki itu beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Joanna yang masih berada di ruang briefing. Kesempatan bicara empat mata dengan wanita itu setelah semua orang meninggalkan ruangan. “Joanna.”Panggilan itu membuat Joanna mendongak, dia kaget melihat captain penerbangannya berdiri di depannya. “Ya, Captain Edward. Ada apa?”“Bagaimana kalau kita makan dulu? Bukankah kamu juga belum sarapan?” tebak Edward, dia hafal sekali jika Joanna dari dulu selalu sarapan di cafetaria sebelum penerbangan. Joanna mengusap perutnya, padahal dia sudah sarapan, entah kenapa malah lapar lagi. “Baiklah, ayo!”Senyum Edward mengembang sempurna mendengar jawaban Joanna, dia bahagia sekali karena Joanna mau menerima ajakannya. Sambil berjalan mereka mengobrol santai,
Suara ketukan pintu membuat Joanna menoleh. “Masuk saja, Bi! Pintunya nggak dikunci.” Akhirnya, makanan yang dia tunggu datang juga, setengah jam yang lalu memang dia meminta bibi untuk membelikan donat di tempat langganannya, entah kenapa mendadak Joanna ingin sekali makan donat. Senyum di wajah Joanna menghilang saat melihat Ethan muncul dari balik pintu kamarnya. Seketika dia menarik selimut untuk menutupi bahannya yang terbuka. “Bibi bilang kamu ingin makan donat. Tadi, aku belikan donat di tempat biasa kamu beli,” ujar lelaki itu sambil meletakkan kotak donat di atas pangkuan Joanna. Lelaki itu mengambil tempat duduk di tepi ranjang, menatap Joanna dengan tatapan dalam. Dengan sigap Joanna menggeser tubuhnya menjauh. Wanita itu menggigit bibir bawahnya karena harus berhadapan dengan Ethan, padahal selama ini dia berhasil menghindar dari lelaki itu. Rasanya masih canggung bagi Joanna. “Kenapa tidak bilang padaku kalau kamu sedang ngidam?” Ada rasa kecewa karena dia haru
Joanna terkekeh pelan saat dia mengingat ucapan Ethan yang mengatakan jika dia cemburu melihatnya dengan Edward. "Ck, omong kosong," gumam Joanna. Dia tidak percaya dengan ucapan Ethan. Joanna menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin seorang Ethan cemburu padanya. Wanita itu kian mempercepat jalannya, tangannya menarik koper. "Astaga!" pekik Joanna ketika Ethan menghubunginya. Joanna menempelkan ponselnya di telinga. "Ada apa?" "Kenapa kamu pergi dulu? Bukankah kemarin aku sudah bilang tunggu aku? Aku akan mengantar jemput mulai sekarang," ujar Ethan dari sebrang sana. "Tidak usah. Aku bisa pergi sendiri." Joanna tidak habis pikir bisa-bisanya Ethan menyuruhnya melakukan hal itu. Jika, dia melakukannya sama saja artinya lelaki itu ingin membongkar pernikahan rahasianya. "Di mana kamu sekarang. Aku bawakan sarapan untukmu. Bibi bilang kamu belum sarapan." Joanna menghela napas karena lelaki itu begitu keras kepala. Perhatian yang diberikan oleh Ethan berlebihan sekali. "Adu