Share

Rapuh

Sepanjang malam, Joanna gelisah, nyaris terjaga semalaman. Pukul empat dini hari, wanita itu bangun dari tempat tidur, bergegas menyambar ponsel dan kunci mobilnya. 

"Semoga ibu baik-baik saja," gumam wanita itu. 

Joanna meninggalkan basemen apartemen lantas menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jarak tempuh yang biasanya menghabiskan satu setengah jam, kali ini bisa dia jangkau dengan waktu empat puluh lima menit. 

Wanita itu segera turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah sakit. 

Semakin melangkah menyusuri lorong ruang rawat inap, tangan Joanna semakin keringat dingin. Dadanya terasa sesak sekali menahan air matanya.

"Mbak Joanna."

Suara Via membuat Joanna menoleh ke belakang. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ketika adiknya memeluknya secara tiba-tiba. 

"Aku takut, Mbak," ujar Via lirih. 

Joanna memeluk adiknya dengan erat, mengusap punggungnya beberapa kali untuk menenangkan adiknya yang tengah terisak. 

"Ibu pasti baik-baik saja," bisik Joanna. "Kamu tahu ibu itu kuat, selama ini bisa bertahan dengan penyakitnya dan mbak yakin kali ini ibu bisa melewatinya sekali lagi."

Via melepaskan pelukan itu, mengusap air mata di pipinya. "Aku senang sekali mbak ada di sini. Ibu dipindah ke ICU karena tidak sadarkan diri, Mbak."

Tubuh Joanna menegang seketika. Pantas saja dia gelisah sepanjang malam, ternyata ibunya kritis. "Apa? Kenapa tidak bilang?" 

Via tertunduk lesu. "Maafkan aku, Mbak! Aku ... Aku berniat mengabari pagi ini."

"Di mana ruang ICU?" 

Joanna segera mengikuti adiknya. Wanita itu menggenggam erat tangan Via yang dingin, dia berusaha tidak terlihat lemah di depan adiknya. 

Langkah Joanna terhenti, genggaman tangannya juga terlepas ketika matanya menatap jendela besar yang menghubungkan bagian dalam ruang ICU. Dari balik kaca itu dia bisa melihat beberapa orang terbaring di atas tempat tidur dengan beberapa alat medis yang menempel di tubuh. 

Satu tetes air mata mengalir dari pelupuk mata Joanna melihat ibunya tak sadarkan diri. Dengan cepat dia menghapus air matanya. 

"Ibu cari mbak terus sebelum kondisinya makin drop."

Ucapan Via membuat tangis Joanna pecah. Penyesalan mulai membuatnya sesak karena Joanna tidak bisa terus di samping ibunya.

Seorang dokter yang baru keluar dari ruang ICU mengagetkan mereka berdua. Dengan sigap, Joanna langsung mendekati dokter itu.

"Dokter, bagaimana kondisi Bu Juwita?" tanya Joanna dengan suara gemetar. "Apa yang harus saya lakukan agar ibu saya bisa sembuh?" 

"Silahkan ikut ke ruangan saya, Mbak. Saya akan jelaskan semuanya!"

Joanna mengangguk, dia meminta adiknya tetap di sana sebelum menyusul dokter itu. 

"Tunggu di sini sebentar, Via!"

***

Joanna termenung menatap layar monitor ATM yang memperlihatkan saldo rekeningnya. Sisa uang yang dia miliki tinggal sepuluh juta, bahkan tidak cukup untuk membayar pengobatan ibunya. 

Tanpa pikir panjang Joanna mengambil semua uang miliknya dan membawanya ke bagian administrasi. 

"Dokter tidak bisa mengambil tindakan jika biaya tidak dilunasi, Mbak."

Perkataan petugas loket pembayaran itu membuatnya kecewa. "Saya akan lunasi semuanya, tapi saat ini tolong selamatkan ibu saya dulu! Besok, tidak, nanti siang saya lunasi."

"Maaf, Mbak. Kami hanya menjalankan SOP rumah sakit," jawab orang itu. 

Tangan Joanna terkepal kuat. 

BRAK!

Wanita itu memukul meja dengan keras, melampiaskan semua emosinya. "Apa uang lebih penting bagi kalian? Nyawa ibu saya berada dalam bahaya. Selamatkan dulu ibu saya dan saya akan lunasi semuanya. Nanti siang saya bayar lunas tunggakannya!" geram wanita itu. 

Wanita yang berada di balik meja itu memucat melihat kemarahan Joanna. 

Dengan cepat wanita itu mengambil KTP miliknya dan memberikan pada resepsionis itu. "Ambil sebagai jaminan! Siang ini saya lunasi. Telepon dokter sekarang juga! Lakukan kemoterapi pada ibu saya!"

Orang itu langsung menghubungi dokter.

"Mbak silahkan ke ruang dokter karena dokter akan menjelaskan prosedur kemoterapi."

Tanpa mengatakan apapun Joanna berbalik, berjalan menuju ke ruangan dokter. 

Hasil diskusi dini hari tadi, dokter mengatakan sel kanker kembali aktif dan menyebar ke seluruh tubuh. Jalan satu-satunya yang bisa diambil saat ini adalah melakukan kemoterapi.

***

Beban Joanna sedikit terangkat ketika dia keluar dari ruang dokter, beruntung dokter memberikan keringanan untuk membayar biaya karena ibunya merupakan pasien yang sudah lama keluar masuk rumah sakit. 

"Mbak Joanna bagaimana?" tanya Via panik.

"Dokter akan melakukan kemoterapi setelah ibu siuman dan kondisinya stabil. Kita berdoa ya semoga ibu cepat sadar." Joanna berusaha memberikan pengertian adiknya.

Via mengangguk pasrah. 

"Kamu tidak sekolah? Pergilah sekolah biar mbak yang jaga ibu hari ini." Joanna tidak tega melihat adiknya yang masih kelas tiga SMA sering membolos demi menjaga ibu di rumah sakit. 

Via menggeleng. "Aku di sini jaga ibu, Mbak."

"Maaf, Via." Joanna merasa bersalah karena adiknya harus menjaga ibunya. 

Joanna diberikan kesempatan untuk menjenguk ibunya sebelum dia kembali ke ibu kota. Wanita itu mengusap punggung tangan ibunya, tidak tega melihat ibunya terbaring tak sadarkan diri. 

"Aku akan lakukan apapun untuk kesembuhan ibu," gumam Joanna. 

Wanita itu menyeka air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Tak lama kemudian Joanna meninggalkan rumah sakit karena dia harus masuk kerja dan mencari uang untuk melunasi biaya rumah sakit ibunya. 

***

“Cari tahu jadwal penerbangan Joanna hari ini!” perintah Ethan tanpa mengalihkan pandangan matanya dari iPad di tangannya. 

Perintah itu membuat sekretarisnya kaget, lelaki itu bahkan menoleh ke belakang untuk menatap bosnya. “Mbak Joanna, Pak?”

Ethan mendongak, melempar tatapan tajam. “Ya, apa kamu tidak dengar?”

“Baik, Pak!” Sekretaris itu kembali menatap ke depan, mobil yang mereka tumpangi masih melaju di jalan raya. 

Lelaki itu menatap pantulan wajahnya di jendela mobil, menurutnya tidak ada yang kurang darinya, dia tampan, kaya dan punya segalanya. Tapi, Ethan masih tidak habis pikir Joanna menolaknya mentah-mentah. 

Raut wajah Ethan berubah saat ekor matanya tidak sengaja melihat wanita yang mirip Joanna di seberang jalan sana. “Hentikan mobilnya!” perintah Ethan. 

CHIT!

Sopir itu membanting stir ke kiri lantas menghentikan mobilnya secara mendadak. 

Tanpa menunggu Ethan turun dari mobil, menatap wanita yang duduk di trotoar. “Apa yang dia lakukan di sini?”

“Pak Ethan mau ke mana?”

Ethan tidak menjawab pertanyaan dari sekretarisnya, dia bergegas menyeberang jalan dan menghampiri Joanna. Meskipun, wanita itu menunduk, tapi Ethan yakin jika wanita itu adalah Joanna. 

***

Kecepatan mobil Joanna memelan saat dia merasakan ada yang aneh dengan mobilnya, dia bergegas menepikan mobilnya lantas turun untuk mengeceknya. Dia terdiam melihat ban mobilnya bocor. 

“Apa lagi ini?” gumam Joanna. 

Wanita itu memilih duduk di trotoar, lantas menunduk sambil mengusap wajahnya. Joanna berusaha berpikir tenang, tapi malah air matanya mengalir. Dia menutup mulutnya, berusaha menahan isak tangisnya. Mengingat kondisi ibunya membuatnya hancur. 

Isak tangis Joanna berhenti saat matanya melihat sepasang sepatu berhenti di depannya. 

“Joanna, apa yang kamu lakukan di sini?”

DEG!

Suara itu membuat Joanna mendongak perlahan. 

“Pak Ethan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status