Share

Will You Marry Me?

Joanna mendekati Ethan setelah dia sadar dari keterkejutannya. Kini jarak mereka sangat dekat, wanita itu menatap mata Ethan dengan berani.

"Menikah?" tanya Joanna dengan suara tenang.

"Will you marry me?" Ethan sengaja mengulanginya agar Joanna semakin percaya dengannya.

"In your dream, Mr. Ethan," balas Joanna sambil menyeringai. Ethan salah jika dia bisa takluk semudah itu. Dia adalah Joanna, wanita yang sudah berkomitmen tidak ingin menikah dan jatuh cinta.

Joanna mundur dua langkah, melipat kedua tangannya di depan dada. "Silahkan pergi dari apartemenku, Pak Ethan!"

Ethan menatap Joanna tak percaya, bisa-bisanya wanita itu menolak lamarannya tanpa pikir panjang padahal di luar sana banyak wanita yang mengantri berada di posisi Joanna.

"Kamu menolakku, Joanna?" tanya lelaki itu ingin memastikan lagi. Sampai saat ini dia masih belum bisa terima, Joanna menolaknya dengan begitu mudah.

Tanpa ragu, Joanna mengangguk. "Ya, dengan penuh kesadaran aku menolak lamaran, Pak Ethan. Jelas bukan? Sekarang silahkan pergi dari sini, Pak!"

Joanna mulai geram, entah dengan apa lagi dia harus mengusir Ethan.

Ethan memasukkan kembali kotak cincin ke dalam saku celana. Dalam diam, lelaki itu mendekati Joanna. Namun, Joanna justru mundur menjauh.

Joanna tersentak kaget saat tangan Ethan bergerak menuju wajahnya, spontan wanita itu menahan tangan lelaki itu.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Joanna.

Wanita itu terlonjak saat mendengar suara buket terjatuh. Wanita itu menunduk dan benar saja, buket mawar yang dibawa Ethan sudah jatuh ke lantai.

Dengan cepat tangan Ethan menarik tangan Joanna, sehingga kini tangannya bisa kembali bergerak bebas. Ethan mencengkeram erat pergelangan tangan Joanna. Sedangkan tangannya yang lain terulur merapikan rambut Joanna.

"Kenapa buru-buru mengambil keputusan, Joanna? Tidak perlu buru-buru! Aku akan beri waktu satu Minggu untuk memikirkan lamaranku, Joanna."

"Tid—"

Joanna terdiam saat jari telunjuk Ethan menyentuh bibirnya. "Pikirkan baik-baik, Joanna! Aku punya segalanya, kamu tidak akan menyesal menerimaku. Hidupmu akan terjamin."

Ethan tersenyum tipis, tangannya mengusap pelan bibir Joanna dan berpindah ke pipi wanita itu.

"Satu Minggu, Joanna!" ujar Ethan kembali mengingatkan.

Sentuhan Ethan di pipinya membuat wanita itu linglung dan sialnya dia justru kembali mengingat malam panas bersama atasannya.

Perlahan Ethan melepaskan tangan Joanna, lelaki itu mengambil buket bunga dan menyerahkan pada Joanna, memaksa wanita itu memegang bunga pemberian darinya.

"Ini kesempatanmu untuk menjadi Nyonya Ethan, Joanna. Pikirkan baik-baik!"

Ethan berbalik dan berjalan meninggalkan Joanna. Satu tangan Ethan dia masukkan ke dalam saku, lelaki itu menyeringai setelah selesai menjalankan satu misinya. Ethan yakin sebentar lagi wanita itu akan bertekuk lutut padanya.

Joanna menjatuhkan buket bunga itu, dia berjalan menginjak mawar pemberian bosnya. Langkah kakinya semakin cepat mengejar Ethan.

Wanita itu menghadang langkah Ethan. Kemunculannya berhasil mengagetkan lelaki itu.

"Aku tidak butuh waktu satu Minggu, Pak Ethan. Detik ini juga aku sudah mengambil keputusan, aku tidak menerimamu. Jadi, silahkan cari wanita lain yang dengan senang hati menerimamu sebagai suaminya!" ujar Joanna dengan deru napas memburu.

"Kamu akan menyesali keputusanmu, Joanna," ucap Ethan penuh penekanan.

Joanna menarik kedua sudut bibirnya membentuk seulas senyum tipis. "Aku tidak pernah menyesal, Pak Ethan. Aku anggap malam itu tidak pernah ada dan sebaiknya Pak Ethan melupakan semuanya. Mari kita jalani hidup seperti sebelumnya, tidak saling mengenal."

Usai mengatakan hal itu Joanna langsung meninggalkan Ethan.

Mata Ethan terus mengikuti pergerakan Joanna.

"Sepertinya semua orang harus tahu, wanita seperti apa dirimu, Joanna!"

Joanna berhenti seketika, dia menoleh ke belakang. "Maksudmu apa?"

"Aku akan beritahu semua orang tentang pekerjaanmu," ancam Ethan dengan raut wajah serius.

Wajah Joanna memucat seketika. Kedua tangannya terkepal kuat, dia menatap Ethan dengan tatapan penuh kebencian.

"Ya, bongkar saja!" tantang Joanna. "Katakan pada semua orang, Pak Ethan. Aku tidak peduli dan tidak akan pernah mengubah keputusanku. Aku tidak mau menjadi istrimu!"

***

Ethan kembali meneguk minuman dingin lantas meletakkan gelas itu dengan kasar. Tangannya mencengkram erat gelas itu hingga buku-buku jarinya memutih.

"Ternyata dia masih sombong," gumam lelaki itu.

Masih teringat jelas di ingatannya, bagaimana Joanna menolaknya.

"Bisa-bisanya dia memerintahku seperti itu. Memangnya dia siapa?" Ethan kembali menyeringai. "Kita lihat saja, sampai sejauh mana kamu bisa menolakku, Joanna?"

Ethan tidak akan pernah mundur sebelum dia mendapatkan apa yang dia inginkan.

***

Joanna mendesah kesal saat mengingat Ethan, atasannya begitu menyebalkan, terus saja mengusik hidupnya.

"Apa belum cukup dia mengambil milikku yang paling berharga?" gumamnya.

Wanita itu tersentak kaget ketika ada panggilan masuk, dia melirik layar ponselnya dan mengabaikan begitu saja setelah melihat ayahnya yang menelpon. Namun, detik berikutnya ayahnya kembali menghubunginya lagi.

"Halo, ada apa, Yah?" tanya Joanna malas.

"Mana uangnya, Joanna?" tanya lelaki paruh baya itu tak sabaran.

Permintaan ayahnya membuat Joanna mencengkeram erat ponselnya. Matanya terpejam sejenak lantas menghembuskan napas jengah.

"Minggu lalu baru aku transfer sepuluh juta, Yah. Apa sudah habis lagi?" tanya wanita itu geram.

"Kamu pikir segitu cukup? Cepat kirim lagi, Joanna! Mereka terus mendatangi ayah untuk menagih hutang. Apa kamu tidak bisa mencari kerja yang menghasilkan lebih banyak uang?"

"Aku bukan mesin pencetak uang ayah!" tegas Joanna. "Ayah masih sehat kan? Kerja ayah! Jangan hanya mabuk dan judi terus!"

"Dasar anak durhaka. Berani kamu sama ayah?"

Kepala Joanna mulai berdenyut mendengar ucapan tak penting itu. "Aku sibuk."

"Jangan lupa kirim uang Joanna! Kamu sudah janji mau melunasi hutang ayah. Jika, kamu tahu akibatnya, kan? Pak Tegar dengan senang hati menikahimu dan semua hutang ayah akan lunas. Bagaimana, Joanna?"

"AYAH!" bentak Joanna.

"Beraninya ka—"

"Sampai mati aku tidak akan sudi menikah dengan kakek tua itu," potong Joanna cepat. Wanita itu bergegas mematikan sambungan telepon.

Tangan Joanna terkepal kuat, wanita itu menatap pantulan wajahnya di cermin. Perlahan dia menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum tipis.

"Kamu akan baik-baik saja, Joanna!" ujarnya memotivasi dirinya sendiri.

Wanita itu kembali dikejutkan dengan suara panggilan masuk. Dia pikir dari ayahnya, ternyata dari adiknya. Segera dia menjawab panggilan itu.

"Halo, ada apa Via?"

"Mbak Joanna, ibu sudah dua hari di rumah sakit," jawab wanita di seberang telepon itu.

DEG!

Joanna kaget sekali, ayahnya bahkan tidak mengatakan apapun tentang ibunya. "Apa ibu kambuh lagi?"

"Maaf Mbak Joanna, ibu sebenarnya melarangku memberitahu tapi penyakit ibu sudah kambuh tiga bulan ini."

Joanna meremas ujung seragam pramugarinya. "Ayah tahu ibu sakit?"

"Ya, mbak. Tapi ayah tidak peduli, kerjanya setiap hari hanya mabuk dan berjudi. Mbak kata dokter sel kankernya aktif kembali dan harus segera melakukan kemoterapi. Bagaimana ini mbak? Aku dan ibu tidak pegang uang."

Joanna mengusap kasar wajahnya. "Kamu tenang ya! Nanti selesai kerja aku akan ke rumah sakit. Berapa biayanya?"

Joanna terdiam mendengar jawaban adiknya. Bukan hanya biaya kemoterapi tapi juga tunggakan rumah sakit ibunya.

"Jaga ibu Via!"

Joanna meremas ponselnya setelah panggilan berakhir. Mengirim uang pada ayahnya adalah sebuah kesalahan, harusnya dia memberikan pada ibunya langsung.

"Ke mana aku harus mencari uang?" gumam Joanna. Tabungannya sudah terkuras habis untuk mencicil hutang ayahnya.

Joanna terdiam saat teringat tawaran yang diberikan oleh Ethan.

"Aku bisa memanfaatkan Ethan? Dia kaya dan terobsesi padaku. Haruskah aku menerimanya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status