Home / Rumah Tangga / Gairah Panas Suami Kontrak / 15. Kau Hampir Membunuhku

Share

15. Kau Hampir Membunuhku

Author: Rich Ghali
last update Huling Na-update: 2023-07-09 17:34:43

“Sayang ....” Mas Irsan memanggil dengan lembut, sebab aku hanya diam sejak tadi.

“Maaf, Mas. Aku gak bisa. Udah dulu ya, telfonnya aku matiin.” Aku tetap menolak untuk beralih ke panggilan video. Mata kian terasa memanas di tengah ruang dingin ber-AC. Menahan tangis sejak tadi agar Mas Irsan tidak disinggahi oleh rasa khawatir sama sekali.

“Jangan dimatiin dulu, aku masih pengen ngobrol sama kamu. Kamu lanjutin aja tugas kamu, panggilannya jangan diputus.” Mas Irsan berucap dengan penuh harap.

Kujauhkan ponsel dari wajah ketika isak tangis akhirnya pecah, tidak sanggup menahan diri untuk menahan sesak lebih lama lagi.

Hening, tidak ada suara sama sekali.

“Mas, obatnya diminum dulu.” Terdengar samar suara Reviana dari dalam ponsel ketika meminta Mas Irsan untuk meminum obat.

Kuhela napas dengan dalam saat dada semakin terasa sesak. Harusnya aku yang berada di sana, mengingatkan dan memberikan ia butiran obat. Mengurus ia dengan sangat baik layaknya istri yang mengabdi pada suam
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Gairah Panas Suami Kontrak   53. Tamat

    “Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari

  • Gairah Panas Suami Kontrak   52. Menyembunyikan Kelahiran Bayi Kembar

    Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke

  • Gairah Panas Suami Kontrak   51. Cerai

    Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga

  • Gairah Panas Suami Kontrak   50. Pendarahan

    Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den

  • Gairah Panas Suami Kontrak   49. Hampir Keguguran

    “Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”

  • Gairah Panas Suami Kontrak   48. Aku Menyerah

    Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status