“Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”
Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den
Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga
Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke
“Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari
“Loh, kok suami kamu beda? Bukannya pas kita reuni tahun lalu kamu bawa suami yang wajahnya kayak orang Arab itu?” Aku bertanya dengan heran. Sebab, wajah lelaki yang ia sebut sebagai suami itu jauh berbeda dengan lelaki sebelumnya. Tidak ada kemiripan sama sekali. “Oh, yang itu suami kedua aku. Yang ini suami keempat.” Suya menjawab dengan santai. Seolah tidak ada beban sama sekali. Lelaki yang duduk di sebelah kanannya itu juga terlihat tidak masalah saat Suya berucap demikian. “Loh, kok bisa?” Aku benar-benar terkejut mendengar jawabannya. Hanya berjarak satu tahun, ia telah kawin cerai dua kali. “Kalau ada uang, apa sih yang enggak bisa?” Lidia ikut menimpali. “Kamu kalau mau, bisa aku kenalin ke temen-temen. Barangkali ada yang mau. Syukur-syukur kalau kontraknya dibayar mahal.” Suya menawarkan. Aku semakin bingung. Tidak paham sama sekali. Kusipitkan mata seraya mengerutkan kening saat menatap wanita itu. “Kawin kontrak, entar ada perjanjian sebelum akad. Perkawinan kalian
“Mas, aku mau ngomong serius sama kamu.” Kuremas lembut jemari Mas Irsan ketika kami tengah berdiskusi menjelang tidur seperti biasa. Lelaki berhidung mancung itu menatapku lamat-lamat. Membalas remasan jemariku dengan begitu lembut. Aku terdiam sejenak, memberi jeda sebelum kembali berucap. Kutatap sepasang mata tajam itu dengan sangat dalam. Ada kerinduan yang kutangkap dari sorot matanya. “Kau ada masalah di kantor?” Ia bertanya dengan lembut. Diselipkannya rambutku ke telinga ketika beberapa helai dari mereka menghalangi wajahku dari pandangannya. Aku menggeleng pelan. Masih mencoba menyusun kalimat yang tepat agar Mas Irsan tidak salah paham. Ia lelaki yang baik, suami penyayang dan penuh perhatian. Aku tidak tahan jika terus melihatnya dalam kondisi seburuk ini. Aku ingin ia bisa seperti sedia kala. Berjalan dengan baik seperti sebelum kecelakaan itu terjadi. “Aku akan bekerja ke luar kota untuk waktu yang lama.” Aku berucap dengan lemah. Mengikuti saran Suya agar memasukka
“Kamu gak kerja?” Mas Irsan bertanya ketika ia melihatku mengenakan pakaian yang tidak biasa. Setelan ini kudapat dari Suya kemarin, katanya agar lebih menarik ketika bertemu dengan Celoz nanti. “Aku ada meeting penting di luar, katanya harus berpenampilan menarik.” Ternyata sekali berbohong saja tidak cukup. Butuh kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama. “Itu terlalu terbuka, Sayang. Aku gak suka.” Mas Irsan protes. Sebab dress yang diberikan Suya memang hanya sebatas paha. Lengannya juga hanya seluas dua jari. Mas Irsan memutar kursi roda hingga ia mentok dengan lemari. Kemudian membukanya dan berusaha untuk meraih outer lengan panjang. Aku tersenyum saat ia menyodorkan outer itu. Ia masih saja sama dengan yang dulu. Tidak ingin istrinya menjadi pusat perhatian orang-orang. Cukup ia saja yang menikmati apa yang ada pada tubuhku. “Aku berangkat ya, Mas.” Kukecup pipinya setelah outer yang ia berikan kukenakan. Lelaki itu hanya mengangguk dengan lemb