Anastasia menatap dua garis merah di alat uji kehamilan di tangannya dengan gemetar.
Garis itu tampak begitu jelas, seolah berteriak mengonfirmasi apa yang sebenarnya sudah dia curigai sejak beberapa hari terakhir ini. Napasnya terasa berat, seakan beban berton-ton baru saja diletakkan di pundaknya secara bersamaan. “Ini benar-benar gila...” gumamnya sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Satu malam saja. Hanya satu kesalahan. Dan kini hidupnya akan berubah selamanya. Anastasia bangkit dari duduknya, berjalan mondar-mandir di dalam kamar apartemennya yang luas. Tangannya masih menggenggam alat itu, seakan belum benar-benar percaya dengan kenyataan yang baru saja menghantamnya. Berharap ini mimpi, atau alat jika kehamilan itu rusak. Seharusnya dia tidak terkejut. Siklus haidnya memang terlambat hampir dua minggu, dan beberapa hari terakhir dia sering merasa mual. Tapi tetap saja, melihaRuangan rapat utama dipenuhi para eksekutif dan kepala divisi. Suasana tegang, sebagian besar dari mereka masih menyangsikan kemampuan Greyson. Bagi sebagian orang, dia hanyalah ‘anak bos’ yang belum teruji. Tapi hari itu, mereka akan melihat sesuatu yang berbeda. Greyson masuk dengan jas rapi, rambut tersisir bersih, dan langkah mantap. Tatapannya tajam, wajahnya serius. Ia membuka laptopnya, menyapa semua orang dengan tenang. “Selamat pagi. Mulai hari ini, saya akan bekerja langsung di bawah arahan Ayah saya, untuk dua tahun ke depan. Dan saya tidak datang ke sini untuk main-main lagi.” Beberapa orang bertukar pandang, sebagian masih skeptis. Tapi Greyson tidak goyah. Greyson mulai ikut dalam setiap rapat penting, menganalisis laporan keuangan, bahkan terjun langsung ke lapangan untuk memahami bisnis secara menyeluruh. Ia tid
Suasana rumah yang biasanya tenang berubah drastis. Teriakan William menggema dari kamar utama, nadanya bukan sekadar panik, melainkan ketakutan yang dalam, seperti pria yang baru saja melihat dunianya runtuh di depan matanya. “Emily! Sayang, bangun! Jangan seperti ini! Emily! Jangan menakuti ku!” Greyson yang sedang berada di ruang kerjanya di lantai atas langsung berdiri, memegang. Napasnya seketika tercekat. Ia belum pernah mendengar ayahnya, sosok yang selalu tenang dan tangguh itu berteriak dengan suara seperti itu. Ia melesat menuruni tangga dan menerobos pintu kamar orang tuanya tanpa izin. Di sana, ia melihat ayahnya bersimpuh di samping tempat tidur, memeluk tubuh Emily yang terkulai lemah, tidak sadarkan diri. Wajah William penuh air mata, tangannya gemetar saat menyentuh wajah istrinya. “Ayah! Apa yang terjadi?!”
Pagi hari menyambut mereka dengan cahaya lembut yang masuk melalui jendela kayu klasik hotel bergaya renaisans di tepi kanal. Lavine membuka mata lebih dulu, lalu menoleh dan menatap Elle yang masih tertidur di sampingnya. Ia tersenyum kecil, sebuah senyum penuh syukur dan rasa takjub yang begitu luar biasa. Beberapa menit kemudian, Elle terbangun. Ia mendapati Lavine menatapnya dengan penuh cinta. “Good morning, Sayangku?” sapa Lavine. Elle menggeliat. Wajahnya sampai memerah membuat Lavine terkekeh. “Apa?” tanya Elle sambil menyembunyikan wajahnya dengan selimut. “Aku cuma mengagumi wajah cantik istriku saja,” bisik Lavine. “Cih! Gombal saja sepagi ini,” ujar Elle. Lavine tersenyum. Ia langsung membawa Elle ke dalam pelukannya. “Hari ini kita mau pergi ke luar atau di kamar saja, Sayang?” Pertanyaan itu membuat Elle merinding. Di kamar saja?
Ramon tengah terduduk di sofa ruang tamunya yang mulai terasa kosong. Beberapa furnitur sudah dijual diam-diam untuk menutupi biaya hidup mereka selama dua bulan terakhir ini. Kini, surat pemberitahuan penjualan rumah sudah tiba, lengkap dengan tanda tangan pengacara. Rumah itu akan segera dilelang, dan hasilnya akan dibagi dua. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, baik hartanya, maupun pernikahannya dengan Casandra. Casandra berdiri di ambang pintu, tangan bersedekap, matanya merah karena menangis, tapi juga penuh dengan kemarahan. “Jadi... kau benar-benar menggugat ceraiku?” tanyanya, suaranya nyaris gemetar. Ramon mengangguk tanpa menatapnya. “Perusahaan kita sudah hancur, Casandra. Aku sudah coba segala cara, tapi semuanya berakhir sia-sia. Dan kita… kita juga sudah tidak punya alasan untuk tetap bersama, bukan? Aku tidak sanggup menghadapai sikap mu, begitu juga dengan
Beberapa hari setelah kemarahan besar Ramon, berita mulai bermunculan bukan tentang Lavine, melainkan tentang Rayn dengan narasi yang buruk. Salah satu media besar yang sebelumnya diam, tiba-tiba merilis artikel panjang investigasi berjudul, “Uang Kotor di Balik Serangan terhadap Dunia Seni. Siapa Dalang yang Sebenarnya?” Artikel itu menyebutkan aliran dana mencurigakan yang dikaitkan dengan salah satu keluarga pebisnis kaya. Nama Rayn pun muncul, bersama bukti dokumen dan testimoni dari jurnalis bayaran yang kini memilih untuk bicara karena tekanan hukum yang jelas. Media sosial meledak. Netizen yang sebelumnya ikut terpancing isu palsu tentang Lavine kini berbalik arah, “Jadi semua itu cuma fitnah buatan kakak tirinya sendiri? Dia pasti sangat iri.” “Zero tetap terbaik. Rayn harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya!” “Dia terlihat seperti seorang pengecut. Dia pasti sangat iri dengan kesuksesan yang dirai
Lampu kristal raksasa bergemerlap di langit-langit ballroom mewah. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke pelaminan. Dekorasi bernuansa emas-putih memantulkan cahaya dengan indah, menambah aura eksklusif dari pesta pernikahan Elle dan Lavine. Para tamu berdatangan satu per satu, kolektor lukisan internasional, pengusaha, sosialita, hingga sesama seniman yang pernah bekerja dengan Lavine. Mereka berdesakan di lobi hotel, menanti giliran untuk masuk ke ruangan utama.Tamu undangan kelas atas dari William dan Emily pun ikut berdatangan. “Lihat, itu Lavine. Dan Elle. Mereka benar-benar seperti pasangan dari cerita dongeng,” bisik salah satu tamu dengan kagum. Lavine dan Elle berdiri di pelaminan. Keduanya tersenyum, menyapa satu per satu tamu yang menghampiri. Meski wajah mereka cerah, sorot mata keduanya menyiratkan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Bukan hanya karena pesta hari itu, tapi karena seluruh perjalanan