Akhirnya Romi bisa masuk ke halaman rumah Wilona, meskipun harus memanjat pagar tinggi yang kini menjadi benteng pembatas antara dirinya dan perempuan yang masih bersemayam di hatinya. Satpam rumah Wilona sempat menghalangi, namun Romi tidak peduli. Baginya, semua rintangan ini tidak ada apa-apanya dibanding tekadnya untuk menemui Wilona, perempuan yang entah sampai kapan akan terus tinggal di hatinya.Langkah Romi terhenti di depan pintu utama. Ia menekan bel berkali-kali. Tidak ada jawaban. Hanya sunyi yang menyambutnya.Dengan sedikit panik, Romi mengetuk pintu rumah tersebut dengan kencang. Berharap Mbak Rini yang selalu baik padanya, akan membuka pintu."Mbak Rini! Tolong buka pintunya!" teriak Romi sekencang mungkin.Tak lama kemudian, pintu terbuka sedikit. Dari celahnya, muncul wajah Mbak Rini yang tampak gugup."Pak Romi." ucapnya pelan, seperti tidak percaya Romi benar-benar berdiri di depan rumah itu."Mana Lona? Aku ingin bertemu dengannya," ujar Romi, hendak masuk ke dal
Devi menghela napas panjang setelah Romi benar-benar meninggalkan rumahnya. Ada rasa kecewa karena Romi pergi terburu-buru, padahal semua orang masih berada di dalam rumahnya.Namun, Devi segera tersenyum. Senyum yang lembut, penuh harap, dan begitu bahagia. Karena dalam hitungan satu bulan ke depan, ia dan Romi akan menikah dan menjadi sepasang suami istri."Aku sudah tidak sabar menunggu bulan depan, ya Tuhan," ucap Devi lirih, namun jelas terdengar nada penuh kebahagiaan di dalamnya. Ia menatap kosong ke depan, namun pikirannya melayang, membayangkan gaun pengantin, suasana pelaminan, dan bagaimana rasanya dipanggil istri dari Romi, pria yang mampu membuatnya tertarik pada pandangan pertama.Devi tahu benar bahwa perasaan yang ia miliki pada Romi bukan sekadar suka. Sejak pertemuan pertama, Romi sudah mampu menarik hatinya, dan kini cinta itu tumbuh dan semakin dalam, padahal Devi selama ini tidak mudah tertarik pada lawan jenis, tapi dengan Romi semuanya berbeda. Itu yang mambuat
Lio dengan sigap meraih ponsel dari tangan Romi."Ya ampun, masih sempat mau nerima telepon. Ini malam penting banget buat kamu, Rom," ucapnya setengah kesal, lalu dengan seenaknya memasukkan ponsel sang sahabat ke dalam saku celananya sendiri."Balikin ponselku." pinta Romi. "Ada hal penting." Ucapnya, karena ia yakin. Mbak Rini menghubungi ponselnya, pasti ada hal penting mengenai Wilona, dan ia tidak bisa mengabaikan itu.Lio memutar tubuhnya dan menatap Romi dengan tegas."Lebih penting mana dengan lamaran yang akan kamu lakukan, hah?" tanya Lio, yang langsung menarik tangan Romi untuk segera masuk ke dalam rumah Devi. "Ayo masuk!"Romi akhirnya mengalah. Ada keraguan dalam hatinya, tapi ia tak ingin membuat semuanya berantakan. Ia berjalan mengikuti Lio masuk ke dalam rumah Devi, dan setelah urusannya selesai, ia akan segera menghubungi Mbak Rini yang pasti akan memberi informasi tentang Wilona.Kedatangan keluarga Romi disambut hangat oleh keluarga Devi. Senyum ramah dan obrolan
Hari ini adalah hari yang penting bagi Romi. Hari di mana ia akan melamar Devi, sahabat Lili dan juga wanita yang tiba-tiba ingin ia lamar, untuk melupakan masa lalunya. Persiapan singkat Romi lakukan dengan sempurna. Cincin sudah siap, busana terbaik sudah dikenakan, dan kedua orang tuanya pun turut serta dalam rombongan kecil yang menuju rumah keluarga Devi.Mobil hitam yang ditumpangi Romi dan Lio melaju pelan membelah jalanan yang padat di malam hari. Supir pribadi Lio dengan tenang menyetir di depan, sementara di kursi belakang, suasana hening hanya diisi oleh deru mesin dan ketukan pelan jari Lio ke jok kulit. Ia melirik ke samping, mengamati ekspresi Romi yang terlihat tidak seperti pria yang akan melamar kekasihnya. Wajahnya tegang, tidak ada senyum, bahkan tatapan matanya kosong seperti memikirkan hal lain yang lebih penting daripada acara lamaran yang sudah di depan mata."Kamu yakin dengan keputusan kamu ini?" tanya Lio, memecah keheningan."Tentu saja yakin." Jawab Romi ce
Mama Feli tidak membiarkan Lio, sang putra, mendekati Lili. Ia berdiri di samping ranjang perawatan Lili dengan tangan terlipat di dada, membentuk tembok tak terlihat yang menghalangi siapa pun, termasuk Lio, dari menyentuh menantunya. Ia tidak ingin terjadi sesuatu lagi pada Lili. Ia tahu betul bagaimana Lio, putranya itu, bisa begitu berlebihan pada Lili, apalagi dengan aktivitas di atas ranjang yang membuat Lili masuk dan di rawat di rumah sakit seperti saat ini."Ma, minggir dong. Lili itu istriku. Aku yang berhak menemaninya,' ucap Lio kesal, berusaha menyelinap lewat sisi kiri ranjang.Mama Feli langsung memperkuat posisinya. "Dan Lili itu menantu mama. Yang sedang mengandung cucu mama! Kamu pikir mama tega membiarkan Lili kelelahan lagi gara-gara kamu yang terlalu hyper.""Ya ampun, Ma. Aku ini suaminya. Yang paling bertanggung jawab atas Lili.""Mama juga bertanggung jawab, melindungi Lili dari kamu."Lio menghela napas, frustrasi. "Astaga, mama kenapa sih? Masa suami dilarang
Wilona duduk termenung di kursi rodanya, memandang kosong ke arah jendela yang dibuka sebagian. Hembusan angin malam menerpa wajahnya, namun tidak cukup untuk mendinginkan perasaan yang sedang kacau dalam dadanya. Sejak Romi pergi meninggalkan rumah tadi, pikirannya tak bisa tenang. Jantungnya berdetak tidak karuan, dan dadanya terasa sesak seperti dicekik sesuatu yang tak kasat mata.Melihat majikannya masih belum bergeming dari posisi semula, Mbak Rini, asisten rumah tangga yang telah bekerja separuh umurnya di rumah itu, akhirnya mendekat. Wajahnya penuh kekhawatiran."Bu, mau aku bantu naik ke atas tempat tidur?" tanyanya pelan, berusaha tidak menyinggung perasaan sang majikan yang tengah rapuh.Wilona menggelengkan kepala, meskipun tubuhnya nyaris tidak bergerak. "Aku bisa sendiri, Mbak." ucapnya pelan.Padahal kenyataannya, Wilona memang tidak pernah bisa naik ke tempat tidur sendirian. Sejak setahun lalu, tubuhnya lumpuh total dari pinggang ke bawah. Semua terjadi begitu cepat,