Lili menatap pada mantan mama mertuanya tersebut, setelah mama Ika menahan lengannya, saat dirinya ingin turun dari atas tempat tidur.Melihat tatapan Lili, mama Ika langsung melepas tangannya. "Maaf." Ucap mama Ika.Ucapan maaf dari mama Ika benar-benar membuat Lili tidak percaya, jika yang duduk tepat di hadapannya adalah mantan mertuanya yang dulu begitu arogan, dan selalu memandang Lili sebelah mata."Maksud mama, kamu jangan pulang dulu." pinta mama Ika."Kenapa?""Jika kamu pulang dengan kondisi kaki kamu terluka seperti ini, pasti suami kamu akan murka. Dia akan membuat hidup mama hancur," jelas Mama Ika takut, ia tahu Lio begitu mencintai Lili, dan jika tahu Lili terluka seperti sekarang. Sudah pasti Lio tidak akan mengampuninya, karena memang luka di kaki yang Lili derita, itu gara-gara mama Ika mendorongnya."Itu sudah pasti." balas Lili. "Suamiku tidak akan mengampuni siapapun yang telah melukai istri yang begitu dia cintai." Mama Ika menyatukan kedua telapak tangannya, me
Bela benar-benar merasa bahagia, karena polisi sama sekali tidak tahu jika dirinya dan juga mama Ika yang telah membunuh Lili. Dan itu benar-benar membuatnya merasa menang. Meskipun begitu, ia masih harus berusaha membebaskan Zian sang suami yang ditahan di kantor polisi.Menjelang malam, Bela memutuskan untuk pergi ke rumah mama mertuanya, mama Ika. Karena hari ini mama mertuanya itu, tidak kunjung datang ke rumahnya seperti biasanya.Padahal Bela ingin berdiskusi dengan mama Ika, tentang langkah selanjutnya agar bisa membebaskan Zian sang suami dari kantor polisi, supaya ia bisa kembali bersama dengan Zian tanpa bayang-bayang Lili yang sudah tenang di alam lain.Bela yang baru sampai di halaman parkir rumah mama Ika, segera masuk ke dalam rumah setelah asisten rumah tangga mama Ika membukakan pintu."Mama." panggil Bela seperti biasa. Kemudian ia memanggil lagi. "Mama!"Namun, yang di panggil tidak menyahut. Padahal biasanya mama Ika akan langsung menyahut sekali panggil, tapi sekar
Sehari setelah kematian Lili, Lio benar-benar tidak tahu arah. Tidak ada lagi semangat menjalani hidup. Yang ada hanya mengurung diri di kamar, tidak mau makan ataupun minum. Dan itu benar-benar membuat mama Feli kuatir dengan kondisi sang putra.Meskipun mama Feli juga masih merasa kehilangan, karena menantu yang begitu amat di sayanginya telah tiada. Tapi mama Feli berusaha untuk tegar, agar Lio tidak berlarut larut dalam kesedihan, tapi nyatanya putranya itu semakin terpuruk.Mama Feli berdiri di ambang pintu kamar Lio yang baru saja ia buka, kedua matanya menatap putranya yang sedang memeluk pakaian Lili, seolah sedang memeluk istrinya.Melihat putranya begitu sedih, membuat mama Feli merasakan hal yang sama.Apalagi mendengar ratapan Lio yang begitu memilukan."Sayang, kamu tega padaku. Kamu sudah bilang akan selalu berada di sampingku selamanya, sampai kita menua sama-sama. Tapi kamu ingkar, kamu meninggalkan aku sendiri disini, kamu benar-benar tidak mencintaiku, Sayang," ucap
Bukan hanya kedua orang tua Lili yang begitu bersedih mengetahui sang putri meninggalkan dunia, tetapi juga mama Feli. Saat pertama kali kabar itu sampai di telinganya, tubuh mama Feli seolah kehilangan tenaga. Ia langsung pingsan saat sedang, mengetahui menantu yang begitu disayanginya, perempuan yang sudah ia anggap seperti anak sendiri, kini telah tiada. Lebih menyayat lagi, Lili pergi bersama bayi yang sedang dia kandung, cucu pertama yang begitu dinantikan oleh mama Feli.Setelah tersadar dari pingsannya, mama Feli tak henti-henti menangis. Tangisnya pecah sambil memeluk tubuh Lio, sang putra yang sama sekali tak kuasa menahan luka batin. Lio duduk terpaku, wajahnya pucat, matanya sembab, dan tatapannya kosong seolah jiwanya ikut terkubur bersama Lili.Waktu terasa begitu lambat. Lio tidak berbicara banyak, hanya terdiam, dan sesekali menarik napas panjang seperti mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini nyata. Tubuhnya masih bernapas, tapi semangat hidupnya telah pergi.Setela
Lio terbangun dari pingsannya. Tubuhnya masih terasa berat, kepalanya pening, dan pandangannya sempat buram beberapa detik. Ia baru menyadari dirinya terbaring di atas jok mobil dengan nafas terengah-engah. Ingatan terakhir yang muncul adalah kalimat tajam salah satu polisi sebelum ia kehilangan kesadaran, kalimat yang merobek jiwanya. Dimana polisi itu mengatakan jika istri yang begitu amat ia cintai jatuh ke dasar jurang.Sekejap saja, kalimat itu kembali bergema di kepalanya. Lio tersentak bangkit, duduk tergesa di kursi mobil, lalu meraih gagang pintu dengan tangan gemetar."Sayang." bisiknya lirih, seolah memanggil nama Lili, istrinya.Tanpa pikir panjang, Lio turun dari mobil. Kakinya bergetar, namun tetap dipaksakan untuk berlari menuju jurang yang dimaksud polisi. Namun, langkahnya terhenti ketika Romi, sahabat karibnya, dengan cepat menahan tubuhnya."Lio! Tetap di sini!" pinta Romi dengan suara tegas."Lepas!" bentak Lio. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong tubuh Romi hingga
Salah satu anggota Basarnas mendekati Romi yang sejak tadi menunduk, menahan guncangan batin. Telepon dari mama Feli terus bergetar di saku celananya, namun Romi memilih mengabaikan. Ia tidak sanggup mengatakan apa pun tentang Lili."Maaf Pak, kami membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan evakuasi," ujar anggota Basarnas itu dengan suara berat. "Jurang terlalu dalam dan curam. Tapi Anda tidak perlu khawatir, tim kami akan segera mengangkat tubuh korban. Maaf, jika korban sudah kehilangan nyawa."Ucapan itu seperti pisau yang mengiris dada Romi. Ia terdiam, menutup matanya rapat-rapat, mencoba mengatur napas yang terasa semakin sesak. Wajah Lio terbayang jelas dalam benaknya, wajah sahabatnya yang sudah rapuh, kini harus dipaksa menelan kenyataan bahwa wanita yang paling dicintainya mungkin telah pergi selamanya.Langkah Romi gontai ketika ia menjauh sejenak dari bibir jurang. Suara-suara tim penyelamat yang sibuk menyiapkan tali, lampu sorot, dan peralatan lain terdengar samar. Ia