LOGINDaniel datang dengan wibawanya seakan dia menunjukkan usianya bukan takaran kemampuannya dalam memimpin perusahaan.
"Bawa proyek yang sedang kalian kerjakan."perintah Daniel tegas, "Baik pak." sahut pak Wijaya segera bersama Alya membawa beberapa dokumen. *** Pagi setelah pengumuman itu terasa seperti badai yang tertahan. Kantor yang biasanya riuh dengan desas-desus kini diselimuti oleh bisikan tertahan. Semua mata tertuju pada lift eksekutif, menanti kemunculan sosok yang baru saja memimpin Arkana Corp—Daniel Arkana. Alya, seperti biasa, sudah duduk di mejanya sebelum pukul tujuh pagi. Ia menolak bergabung dengan rekan-rekan kerjanya yang masih larut dalam spekulasi mengenai usia dan rencana CEO baru. Ia fokus pada tumpukan laporan, namun otaknya terus memutar ulang detik-detik saat tatapan Daniel berhenti padanya kemarin. Bukan tatapan seorang atasan yang menyambut, melainkan tatapan yang terlalu meneliti, terlalu mengenal. Pukul sembilan tepat, asisten eksekutif mengumumkan rapat darurat Divisi Senior. Ruang rapat lantai teratas terasa lebih mencekam dari biasanya. Meja marmer hitam panjang yang tadi malam masih didominasi oleh Direksi lama, kini memiliki aura kepemilikan yang berbeda. Alya duduk di kursinya, memasang topeng profesionalisme. Daniel masuk. Tidak ada basa-basi, tidak ada senyum. Ia mengenakan double-breasted suit berwarna abu-abu gelap, posturnya yang tinggi dan tegap memenuhi ruang. Daniel langsung duduk di kursi kepala, memancarkan dominasi yang luar biasa untuk usianya. “Selamat pagi. Saya tidak suka membuang waktu. Saya sudah meninjau laporan keuangan kuartal terakhir,” Daniel memulai, suaranya tenang namun memiliki resonansi yang memaksa semua orang diam. “Proyek ‘Zenith’ yang Bapak Wijaya sebutkan tadi malam... itu tidak agresif, itu hanya rutinitas mahal.” Bapak Wijaya tersentak. Seluruh ruangan menahan napas. Daniel menoleh langsung ke arah Alya. “Manajer Alya, Anda adalah kepala Pemasaran yang paling lama bertahan. Delapan tahun, jika data saya benar,” ucap Daniel, matanya menatap Alya lurus, intens. “Apakah delapan tahun itu membuat Anda yakin bahwa strategi low-risk adalah satu-satunya cara untuk menang?” Alya menegakkan punggungnya. Ini adalah tantangan yang ia tunggu. “Dengan segala hormat, Bapak Daniel,” balas Alya, suaranya dingin dan terkontrol, “Strategi low-risk adalah yang menjaga profit kita stabil selama delapan kuartal, bahkan saat pasar global fluktuatif. Agresivitas, apalagi tanpa pemahaman mendalam tentang market lokal, adalah taruhan bunuh diri.” Senyum tipis dan dingin terukir di sudut kanan bibir Daniel. Senyum yang persis sama yang terukir di bandara kemarin ketika dia memasuki jakarta. "Taruhan bunuh diri," ulang Daniel, mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Saya tidak melihatnya sebagai taruhan, Manajer. Saya melihatnya sebagai revolusi. Dan saya butuh tim yang revolusioner." Daniel memindai wajah Alya selama beberapa detik yang terasa seperti keabadian. Pandangan itu begitu tajam dan penuh perhitungan, namun Alya merasakan ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang familiar—seperti musik lama yang diputar dengan ritme baru. Di tengah ketegangan profesional mereka, Alya tiba-tiba menangkap kilasan memori yang samar. Bukan tentang Daniel, melainkan tentang kantor ini. Delapan tahun lalu. Ia ingat pernah melihat seorang anak laki-laki kurus, sekitar usia 12 tahun, berlari di lorong eksekutif, memegang action figure mobil sport. Anak itu menabraknya. Alya muda, yang baru bekerja dua tahun, membentaknya dan menyuruhnya berhati-hati. Apakah—? Tidak. Tidak mungkin. Alya menggelengkan kepalanya sedikit, membuang ingatan yang konyol itu. Daniel Arkana adalah CEO-nya, bukan anak kecil yang pernah ia marahi. Daniel, yang memperhatikan gerakan itu, tidak mengubah ekspresi wajahnya. Tetapi jauh di lubuk hatinya, ia tersenyum puas. Ia tahu Alya tidak ingat, atau tidak ingin ingat. "Delapan tahun aku menunggu untuk kembali ke ruang ini, Alya." pikir Daniel. "Aku kembali bukan hanya untuk perusahaan, tapi untuk membuktikan bahwa aku bukan lagi anak 12 tahun yang kau marahi. Aku kembali untuk meruntuhkan benteng pertahananmu, satu per satu."Pagi setelah malam yang membara di kantor dan kamar Daniel terasa surreal. Alya terbangun di apartemen mewah Daniel, yang kini menjadi "sarang" rahasia mereka. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit di atas cakrawala Jakarta. Ia adalah wanita yang sama, Manajer Senior yang sama, tetapi ia membawa rahasia yang jauh lebih berat. Daniel sudah bangun, menyiapkan kopi dan sarapan ringan. Ia bertingkah seperti kekasih yang posesif dan lembut, bukan CEO yang menuntut. "Aku membiarkanmu tidur lebih lama. Kau pasti lelah," kata Daniel sambil tersenyum menggoda, menyinggung intensitas malam mereka. "Kita harus lebih berhati-hati, Daniel," ujar Alya, mencoba mencari celah untuk menyisipkan kembali rasionalitas ke dalam hubungan mereka. "Kita tidak boleh datang ke kantor bersamaan. Kita tidak boleh meninggalkan jejak." Daniel duduk di tepi tempat tidur, memegang tangan Alya. "Kau khawatir tentang apa yang akan dipikirkan orang-orang? Biarkan mereka berpikir. Selama kit
"Ayo," Daniel berkata, sambil mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di meja marmer. "Kita akan pulang. Dan kau akan tidur di ranjangku malam ini."Perjalanan dari kantor Daniel ke apartemennya terasa seperti perjalanan ke hukuman mati. Daniel mengemudi dengan tenang, namun aura dominasi yang terpancar darinya membuat Alya kaku di kursinya.Ketika mereka memasuki penthouse Daniel yang megah tempat Alya telah tinggal selama dua bulan terakhir, di bawah dalih "mempermudah akses ke kantor" semua rasa bersalah Alya mendidih menjadi ketakutan.Ini adalah tempatnya. Ini adalah sangkarnya.Daniel mematikan lampu di ruang tamu, meninggalkan mereka dalam cahaya redup dari jendela kaca yang menampilkan pemandangan seluruh Jakarta. Alya berdiri mematung di tengah karpet bulu, sementara Daniel berjalan melewatinya."Pergi mandi," perintah Daniel tanpa menoleh, suaranya kembali dingin. Ia membuka lemari es, mengeluarkan sebotol air mineral dingin. "Aku akan menunggumu di kamar."Alya merasa terh
Daniel tidak bergeming. Pelukannya semakin mengerat, membuat Alya kesulitan bernapas, bukan karena fisik, tapi karena beban emosional dari keintiman yang baru saja mereka bagi.Keheningan yang menggantung setelah puncak gairah itu jauh lebih memekakkan telinga daripada erangan atau bisikan mereka sebelumnya.Lampu-lampu kota yang semula tampak romantis kini terasa seperti mata-mata. Alya bisa melihat pantulan dirinya dan Daniel di jendela dua sosok yang saling berpelukan, telanjang, di dalam kantor CEO yang seharusnya menjadi simbol profesionalisme yang dingin.Ia mencoba bergerak, namun Daniel menahannya."Jangan bergerak," perintah Daniel, suaranya kini tenang, namun memancarkan otoritas yang jauh lebih menakutkan karena diselimuti oleh kepuasan. Ia mencium puncak kepala Alya, menghirup aroma sampo mahal yang bercampur dengan aroma keringat mereka sendiri. "Aku hanya ingin seperti ini sebentar."Alya memejamkan mata. Kata-kata Daniel, "Kamu sudah membuat aku gila, Alya Pranata," te
Lampu kota Jakarta di luar jendela kantor Daniel adalah satu-satunya saksi.Setelah Alya membatalkan janji dengan Sarah, Daniel tidak membiarkan keraguan atau rasa bersalah Alya bertahan lama. Ia membalikkan Alya, menatap lurus ke dalam matanya, dan semua sisa profesionalisme menghilang dari tatapannya."Kau milikku di sini, Alya. Tidak ada ponsel, tidak ada laporan, tidak ada dunia luar," bisik Daniel, suaranya dalam dan serak, memancarkan otoritas yang jauh lebih menggairahkan daripada perintah rapat manapun.Ia mencium Alya dengan intensitas yang tak tertahankan. Ciuman itu adalah janji, sekaligus penaklukan. Daniel menciumnya seolah ia haus akan delapan tahun yang hilang, seolah Alya adalah warisan paling berharga yang harus ia klaim.Alya, meskipun jiwanya berteriak menolak kendali Daniel, tidak bisa menipu tubuhnya. Gairah Daniel adalah kekuatan alam yang ia coba lawan, namun selalu berakhir dengan penyerahan diri. Ia merangkul leher Daniel, membiarkan dirinya ditarik ke dalam
Kemenangan Daniel di rapat direksi, yang didukung oleh "pengkhianatan" Alya terhadap Bapak Wijaya, terasa manis sekaligus pahit. Publik melihat Alya sebagai Manajer Senior yang brilian, yang dengan cepat beradaptasi dengan visi baru CEO. Mereka melihatnya sebagai tangan kanan Daniel, sosok kunci dalam revolusi Arkana Corp.Namun, di dalam diri Alya, rasa bersalah itu mulai berkarat.Setelah rapat itu, Bapak Wijaya mengirim email singkat kepada Alya. Semoga keputusan ini sepadan, Alya. Kalimat itu menusuk hati Alya lebih dalam daripada kemarahan atau teguran apapun. Ia tahu, ia telah kehilangan kepercayaan seorang mentor.Alya mencoba menyalurkan rasa bersalahnya menjadi kerja keras yang lebih intens. Ia fokus membuat strategi baru Daniel berhasil, berharap keberhasilan itu bisa membenarkan cara-cara kotor yang ia gunakan. ***Tiga minggu berlalu. Hubungan Alya dan Daniel semakin intim dan tersembunyi. Mereka bertemu di apartemen mewah Daniel yang kosong, jauh dari mata kantor. Di s
Setelah ciuman di malam pengkhianatan itu, hubungan Alya dan Daniel memasuki fase berbahaya. Di siang hari, di mata karyawan dan direksi, Alya tetaplah Manajer Senior yang profesional, sedangkan Daniel adalah CEO yang menuntut.Namun, begitu pintu kaca ruang eksekutif tertutup dan jam kerja berakhir, batas-batas itu runtuh total.Ruangan kerja Alya, yang terpisah dari kantor Daniel hanya oleh dinding kaca buram, menjadi saksi bisu keintiman terlarang mereka. Kopi hitam yang dulu disajikan sebagai tanda otoritas, kini menjadi pembuka diskusi pribadi yang hangat, sering kali diakhiri dengan sentuhan dan bisikan.Daniel, di luar imej CEO-nya, adalah pria muda yang penuh gairah dan perhatian. Ia terobsesi pada Alya, dan obsesi itu menyenangkan sekaligus mencekik. Ia tidak hanya menginginkan tubuh Alya, tetapi juga otaknya, dan yang paling penting, kendali penuh atas emosinya. ***Suatu sore, setelah semua karyawan pulang, Alya dan Daniel duduk di sofa kantor Daniel, berhadapan langsu







