Clara menunggu Alexander dengan gelisah di dalam Penthouse. Sudah satu jam, suaminya itu masih di luar. Pikirannya melayang-layang, mencoba menebak apa yang sedang dilakukan oleh Alexander di luar sana."Apa sih, yang dia lakukan di luar?" gumam Clara pelan sambil berdiri dari tempat duduknya. Hatinya mulai resah dan kegelisahan semakin menghampiri dirinya.Namun, sebelum dia sempat membuka pintu menuju keluar, tiba-tiba saja pintu tersebut terbuka dengan sendirinya. Clara terkejut melihat Alexander sudah berada di depannya."Apa yang kau lakukan?" tanya Alexander heran saat melihat ekspresi wajah Clara yang penuh kekhawatiran."A-Aku... Kau terlalu lama di luar," ucap Clara canggung mencoba menjelaskan perasaannya pada suaminya.Namun, kata-kata Clara terputus begitu saja karena takut akan reaksi marah dari Alexander jika ia menyampaikan isi hati yang sebenarnya: rasa takut bahwa Alexander akan meninggalkannya lagi seperti sebelumnya. Keinginan untuk mempertahankan hubungan mereka me
Alexander melangkah keluar dari pintu gudang tua yang rapuh, meninggalkan Markus yang berdiri tegak di sana. Wajah Markus penuh dengan ekspresi tegas saat ia memerintahkan tiga orang besar dan kuat untuk menurunkan tubuh Pedro yang lemas dari gantungan itu, darah mengalir deras dari lukanya."Bawa pergi dia ke tempat sejauh mungkin," ucap Markus dengan suara rendah namun penuh otoritas, "sehingga sulit baginya untuk kembali ke kota ini lagi!"Ketiga orang tersebut hanya mengangguk sebagai jawaban atas perintah sang bos. Mereka segera merapatkan barisan dan dengan sigap mengangkat tubuh Pedro yang tak berdaya itu. Langkah mereka mantap menuju mobil Jeep hitam yang terparkir tidak jauh dari gudang tua tempat insiden mengerikan itu terjadi.Sementara itu, Alexander melangkah menjauhi gudang tersebut tanpa sepatah kata pun. Ekspresi wajahnya serius dan pikirannya tampak tenggelam dalam ketakutannya terlambat dan mengingkari janjinya kepada Clara. Ia tahu bahwa hal ini sangatlah tidak coco
"Bi Lea? Ada apa malam-malam datang ke sini? Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Papa?" tanya Clara terkejut dengan kedatangan assisten rumah tangga ayahnya."Bi Lea, ayo masuk dulu. Kita bicara di dalam," pinta Alexander mencoba untuk tetap tenang."Nyonya Clara, Tuan William..." ucap Bi Lea dengan wajah serius."Papa? Ada apa?" Clara sangat panik, matanya mencari-cari jawaban dari ekspresi wajah Bi Lea."Clara, tenangkan dirimu. Ada apa dengan Tuan William, Bi Lea?" Alexander merangkul tubuh Clara untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Ekspresi cemas terpancar jelas dari raut wajahnya."Tadi ketika saya akan pulang ada tamu, dan sedikit terjadi pertengkaran," jelas Bi Lea sambil menundukkan kepala. Namun Clara tidak sabar untuk segera melihat kondisi ayahnya yang mungkin dalam bahaya."Tuan, ayo kita pergi ke apartemen Papa. Papa..." rengek Clara memohon kepada Alexander sambil meneteskan air mata kekhawatiran."Nyonya, maafkan saya. Saya sengaja datang ke sini karena saya khawatir
Clara menatap makam ayahnya dengan mata berkaca-kaca, Alexander yang berdiri di sampingnya mencoba menenangkannya dengan pelukan hangat. Mereka berdua terdiam sejenak, meratapi kepergian yang mendadak."Kita akan melaluinya bersama-sama, Clara," bisik Alexander sambil memeluk erat Clara.Clara hanya mengangguk lemah, air matanya masih mengalir deras. Namun, di balik kesedihan yang mendalam, ada keinginan yang berkobar dalam dirinya untuk mengetahui kebenaran.Sementara itu, Alexander merasa perlu untuk bertindak. Dia membiarkan Clara melepaskan kesedihannya sejenak di makam Papanya. Alexander sendiri melangkah perlahan menjauh dari pemakaman saat dirinya mendapat panggilan, wajahnyabtelrihat serius saat menerima panggilan tersebut. Dia tahu bahwa untuk membuktikan apa yang dicurigainya, dia harus menyelidiki dengan hati-hati.Langit senja mulai memerah ketika Clara dan Alexander meninggalkan pemakaman tersebut. Mereka berjalan berdampingan menuju mobil hitam milik keluarga mereka. Sua
Clara mengamati anting tersebut, dia mencoba mengingat siapa pemiliknya karena dia sangat familiar dengan anting itu. Anting dengan permata hijau."Bukankah ini anting Mama, yang dulu diambil oleh..." Clara terdiam sejenak, ingatan akan masa lalu mulai memenuhi pikirannya. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dan perlu segera diungkap.Clara kini mengerti, jika Abigail pernah datang ke apartemen milik Ayahnya. Tanpa ragu lagi, Clara segera bergegas meninggalkan apartemen ayahnya dan menghubungi Alexander untuk memberitahunya bahwa saat ini dia akan pergi ke rumah lamanya.Setelah beberapa percakapan singkat dengan Alexander, mereka sepakat untuk bertemu di rumah lama Clara. Saat itu tiba, jantung Clara berdetak kencang ketika melihat rumah megah keluarganya terbengkalai begitu saja. Banyak rumput liar yang tumbuh di sana menambah kesan suram pada pemandangan yang disaksikan oleh Clara.Perlahan Clara membuka pagar rumah tersebut dan langkah kakinya semakin berat ketika ia melangkah
Selma merasa semakin kesal dengan sikap Alexander yang tampaknya tidak lagi memperhatikan keberadaannya. Ia merasa diabaikan dan terpinggirkan oleh anaknya sendiri. Dengan langkah berat, Selma akhirnya meninggalkan Penthouse Alexander sambil menahan emosi yang meluap-luap di dalam dirinya.Saat berjalan keluar dari gedung tersebut, pikiran Selma dipenuhi dengan rasa frustasi dan amarah. Ia tak habis pikir bagaimana seorang wanita murahan bisa membuat putranya begitu cuek padanya. Raut wajah Selma pun semakin gelap ketika ia membayangkan betapa rendahnya tingkat moralitas wanita itu."Dia pasti akan mendapat balasannya suatu hari nanti," desis Selma pelan sambil menoleh sekali lagi ke arah Penthouse tempat tinggal Alexander. Matanya bersinar penuh tekad untuk menghadapi si wanita murahan itu tanpa ampun.Dalam hati, Selma bertekad untuk memberikan pelajaran kepada siapa pun yang telah mencoba merusak hubungan antara dirinya dan sang anak. Ia tak akan tinggal diam melihat orang lain men
Di tengah perdebatan Clara dan Abigail, Polisi penyidik memanggil Abigail dan Rilla masuk ke dalam. Mereka berdua melakukan penyelidikan pada sidik jari mereka. Rupanya, hasil dari penyelidikan tersebut mengejutkan banyak pihak. Sidik jari yang ditemukan tidaklah milik Abigail atau Rilla seperti yang dituduhkan oleh Alexander. Hal ini membuat situasi semakin rumit karena misteri pembunuhan Tuan William belum terpecahkan.Setelah beberapa saat diam, tiba-tiba seorang detektif senior masuk ke ruangan tersebut dengan ekspresi serius di wajahnya."Dapat kabar dari laboratorium forensik bahwa ada DNA lain yang ditemukan di tempat kejadian perkara," ujar detektif senior tersebut.Hal ini membuat Clara dan Alexander terkejut."Tapi siapa pemilik DNA tersebut?" tanya Alexander penasaran.Detektif senior menggelengkan kepala sambil menjawab, "Belum diketahui secara pasti"Bagaimana bisa? Lalu anting ini?" tanya Clara bingung, begitu juga dengan Alexander.Abigail dan Rilla tertawa lega, mereka
"Tuan, pemilik mobil itu adalah seorang wanita. Kemarin saya hampir saja mendapatkan identitas wanita itu, tapi dia tampaknya sadar jika diikuti. Dia lari menggunakan penutup kepala dan kaca mata hitam." Markus melaporkan hasil dari penyelidikannya."Sial. Dia ternyata wanita cerdik, pasti saat ini dia akan lebih berhati-hati," dengus Alexander terlihat kesal.Markus hanya diam, dia juga berpikir langkah apa yang bisa dia lakukan untuk membantu Alexander.Alexander menyuruh Markus pergi dari ruangannya. Dalam keheningan ruangan yang megah, Alexander merenung tentang kemungkinan langkah selanjutnya dalam mengungkap kasus ini. Wanita misterius pemilik mobil putih tersebut benar-benar berhasil membuat mereka tertinggal jauh dalam upaya penyelidikan mereka. Dia kembali mulai menyusuri setiap detil rekaman CCTV di sekitar apartemen ayah mertuanya dengan seksama dalam tempo yang lambat. Sekilas dia melihat kaca mata milik pelaku tersebut."Sepertinya kaca mata itu tidaklah asing." Alexander