Ruang tamu telah lengang, hanya suara denting halus porselen yang terdengar saat Alice meletakkan cangkir tehnya kembali ke meja. Sinar sore menembus tirai tipis, menyentuh wajahnya yang terlihat ragu namun tetap menjaga ketenangan.Pangeran Adhelard masih duduk di hadapannya, mata tajamnya menatap lurus seolah menanti sebuah jawaban. Tidak tergesa - gesa, tidak memaksa, namun jelas ia ingin mendengar.Akhirnya, Alice bicara.“Pangeran Adhelard...”Ia menundukkan kepala sedikit, menimbang kata-katanya dengan hati-hati. “Terkait hal yang pangeran sampaikan tadi... Saya juga mendengar dari Ayahanda tentang niat beliau menjodohkan hamba dengan pangeran.”Adhelard tidak menjawab. Ia hanya mengangkat alis tipis, menyuruh Alice melanjutkan.“Namun saya ingin menekankan, bahwa keputusan itu bukan berasal dari saya. Tidak pula hamba bersekongkol atau mengatur agar permintaan itu terjadi. Yang saya maksud adalah tentang permintaan menjadi putra mahkota kembali.” Suaranya tenang, namun jelas me
Pagi hampir menyentuh siang ketika Arthur membuka pintu kamar Adhelard dan menemukan pangerannya… berdiri di depan cermin, dikelilingi tiga mantel dan dua setelan yang masih tergantung.“Demi langit, Pangeran. Pilih salah satu sebelum Nona Alice mengira Pangeran kabur ke perbatasan.”Adhelard menoleh sekilas. Tatapannya datar. “Aku tidak ingin terlihat terlalu resmi.”“Kau ingin terlihat santai... di hadapan gadis yang membuat anda gelisah sejak pagi?” Arthur menyeringai.Adhelard menghela nafas panjang, lalu dengan enggan menarik setelan gelap dengan bordir emas di kerahnya. Ia memakainya tanpa banyak bicara, tetapi gerakannya lebih cepat dari biasanya.Arthur tertawa kecil. “Kalau aku tahu kau akan gugup begini hanya karena seorang gadis, sudah sejak dulu aku undang dia datang setiap pagi.”“Diamlah.”“Pangeran Adhelard yang agung bahkan menyisir rambutnya dua kali. Itu mencurigakan. Mengusir semua pelayan dan berdandan sendiri. Ini sangat langka.” ejek Arthur.“Apa kamu ingin menco
Langkah - langkah kecil penuh amarah terdengar cepat di sepanjang koridor kediaman keluarga Adelaide. Gaun Alice bergoyang cepat, rambutnya tak tersisir rapi. Nafasnya belum sepenuhnya stabil setelah ia terbangun beberapa jam lalu, setelah semua kenyataan menamparnya satu demi satu.Di balik dinding tinggi kediaman keluarganya, tak ada lagi tempat untuk diam. Kini, ia ingin bicara.Namun saat hendak membelok ke ruang kerja ayahnya, bahunya menabrak seseorang.“Alice?”Suara hangat namun khawatir itu membuatnya menoleh.Daniel Adelaide. Kakak sulungnya, lelaki dengan mata seperti cermin langit yang tenang, memandangnya penuh kekhawatiran. Ia berdiri mengenakan mantel panjang dengan emblem keluarga di pundaknya.“Kau tak apa? Kau baru saja sadar kemarin sore. Dan sekarang sudah berlari tergesa - gesa.”Alice menahan nafas, matanya menunduk. “Maaf, Kak. Tapi aku harus bertemu Ayah.” ucapnya dengan nada bergetar.Daniel mengangguk pelan. “Mengenai Anne, ya?”Alice mengangguk. “Para pelaya
Hening panjang memenuhi ruangan pribadi Pangeran Adhelard. Gelas anggur merah yang tadi bergetar kini telah diletakkan kembali di atas meja. Rose berdiri, tubuh tegapnya tampak tenang, namun nada dalam ruangan menjadi berat, menyesakkan, penuh bara yang siap membakar.Adhelard berjalan pelan ke arahnya. Setiap langkahnya membawa tekanan.“Sudah cukup permainan ini, Rose.” ucapnya tenang. “Kita bertiga tahu siapa yang membunuh Duke Jerome malam itu. Aku, Arthur... dan kau sendiri.”Rose terdiam. Tapi napasnya meninggi.“Kau pikir diam cukup menutupi segalanya?ahh tidak.. Kamu tidak diam saja. Kamu sekarang sedang berpura - pura berkorban. Untukku..” suara Adhelard tajam namun tenang, “Kau membunuh ayahmu, lalu menangis didepanku yang saat itu datang. Saat aku mengakui kesalahanmu, Kau malah memanfaatkan tuduhan itu... untuk apa? Untuk mendapat simpati? Untuk mendorongku turun lebih dalam ke dasar jurang?”“Aku.. aku tidak...” Rose Jerome tidak bisa mengelak.“Kau bahkan tidak punya cu
Suara berat itu membuat Teon membeku."Tidak seharusnya calon Pendeta Agung menatap seorang putri bangsawan yang belum debut seperti itu."Pelan-pelan, pria di sudut kamar berdiri dan berbalik. Antonie Adelaide, kepala keluarga yang ditakuti dan dihormati banyak pihak, kini berdiri tegak dengan sorot mata tajam menembus dada.Teon segera berdiri dan menundukkan kepala.“Paduka duke Antonie adelaide...”Antonie menyapu pandangan ke arah ranjang. Alice tertidur lemah, wajahnya pucat namun tenang. Sesaat, tampak sebersit sesuatu di mata sang ayah, apakah itu kepedulian, penyesalan, atau hanya kebekuan aristokrat?“Aku kaget saat mendapati seorang lelaki membawa anak perempuanku masuk ke kamar dari jendela,” ujarnya datar. “Kau terlalu sering melupakan batas, Teon.”Teon membuka mulut, namun tertahan.Antonie melangkah mendekat, jubah panjangnya menyapu lantai kamar.“Alice akan segera debut. Dan kau harus tahu tempatmu.”“Kau mungkin berpikir aku tidak memperhatikannya. Tapi melihat Anne
“Kau bukan anakku!”Kata-kata itu menghantam dada Alice seperti batu runcing. Dunia seolah memudar dalam sekejap, digantikan hanya oleh suara ibunya yang penuh kebencian.“Berani-beraninya kau bicara soal cinta?” Nyonya Adelaide berdiri tegak, matanya menyala oleh amarah. “Sama seperti ayahmu waktu itu, pulang membawa jalang seperti ibumu dan ia mencintai seorang wanita biasa yang sedang hamil! Dan lihat hasilnya sekarang. Wanita itu mati saat melahirkan, dan dua anaknya… kutukan bagi nama besar keluarga ini!”Alice menggigil. Tapi bukan karena takut.Daniel merangkul bahu Alice. “Cukup ibu. Apa yang membuat ibu melanggar janji ibu pada ayah. Ayah tidak akan suka jika melihat ini.”“Kami bukan kutukan.” Suaranya tenang namun dingin. “Kami hanya tidak pernah diinginkan sejak awal.”Nyonya Adelaide mendengus.“Kalau pada akhirnya kalian hanya jadi beban, untuk apa aku membesarkan kalian?!” ia menatap Daniel dengan marah. “Kau pikir buat apa aku mau mengakuinya sebagai anak? Agar dia bisa