"Apa yang sudah kulakukan? Sungguh aku malu, Ya Tuhan, ampuni aku."
Zie melangkah sedikit terseok. Dia baru saja menjauh dari apartemen milik lelaki yang bahkan namanya saja dia lupa. jemari lentiknya mengusap kasar area leher, seolah ingin melacak jejak ciuman brutal yang ditinggalkan sang pria.
Zie merasa jijik dengan tubuh sendiri. Begitu mudahnya dijamah bahkan dinikmati berkali-kali secara gratis oleh pria yang sama sekali tidak dikenal.
Aaarrrgghhh! Teriak Zie dalam hati.
Mengingat lagi aktivitas di dalam mobil dan terus berlanjut di apartemen, membuat Zie merasa jadi wanita rendahan, tidak punya diri. Merasa lebih hina dari wanita penjaja kenikmatan yang sebenarnya.
Pengaruh obat itu sulit dikendalikan, sehingga menjerumuskannya pada perbuatan nista. Air mata Zie tiada hentinya, bagaimana menghadapi kedepannya setelah ini.
Alangkah akan murka orang tuanya jika mengetahui putri kesayangan mereka tidak lagi memiliki kesucian yang terjaga menjaga jiwa raga. Zievana dengan mudahnya menyerahkan diri untuk dinodai dalam semalam pada laki-laki yang sama sekali tidak dikenal.
Zie Watch Jimmy, dialah biang keladi di balik penabur obat terkutuk yang dicampurkan ke dalam minumannya dan malam nahas itu berawal dari acara ulang tahun Meylan, sahabat Zie.
Meylan mengadakan acara kecil-kecilan di sebuah kafe yang cukup menarik di kota itu, mengundang beberapa teman kuliahnya. Tanpa ada yang menyadari diam-diam Jimmy merancang rencanakan sendiri untuk menjerat Zie.
Jimmy lelaki yang terus mengejar Zie karena cinta. Laki-laki itu sangat menginginkan sang gadis menjadi hidupnya kelak. Dia pernah meminta Zie untuk dilamar, tapi ditolak dengan alasan belum bisa mencintainya dan masih ingin melanjutkan kuliah.
Segala cara pemuda itu lakukan demi mendapatkan cinta sang gadis, sampai rela melakukan perbuatan tercela dengan menaburkan obat pembangkit gai ra h pada minuman milik Zie, dengan dosis cukup tinggi.
"Kamu akan menjadi milikku setelah minum ini, Sayang," bisik Jimmy malam itu.
"Apa maksudmu?" Zie mencoba mengartikan ucapan Jimmy, setelah dia meneguk hampir setengahnya minuman tersebut.
Setelah reaksi obat mulai bekerja, sang gadis mulai mengerti, mengapa Jimmy berkata demikian. Zie tidak sempat melampiaskan amarah sebab pengaruh obat lebih menguasainya.
Zie gelisah, tubuh perlahan dijalari panas, ingin rasanya dia membuka seluruh pakaian, dan ada yang menjamah seluruhnya. Untung saja kewarasan masih tersisa sehingga masih mampu menahan diri.
Detik demi detik ingin dibuai berlebihan membuat Zie semakin tidak nyaman berada di tempat itu. Halusinasi tentang kenikmatan mulai merasukinya.
Jimmy pura-pura menawarkan jasa mengantarkan Zie pulang. Gadis itu menyetujui saja, karena kondisi yang sudah tidak mendukung untuk menolak.
Setibanya di luar, Jimmy terlupa dengan kunci mobil yang dia letakan di meja. Sang pemuda pun meminta gadis berwajah oval itu untuk menunggu sebentar lagi, dia kembali ke dalam untuk mengambil benda tersebut, saat itulah Zie bertemu Andra.
**
Rasa sakit di antara kedua pahanya tidak Zievana hiraukan, dia terus berjalan menjauh dari gedung apartemen. Tidak akan ada wanita yang mau berada di posisi, malu dan hancur, karena Zie merasa percuma melanjutkan hidup.
"Ini semua gara-gara kamu, Jim. Aku benci kamu!" gumam Zie. Tanpa sadar langkahnya menuju jembatan di mana di bawahnya mengalir deras air sungai.
Zie berdiri di pembatas jalan yang di pagari besi beton. Tatapannya mengarah ke bawah, seolah-olah suara arus di bawah sana memanggil dan menyuruhnya untuk menunjuk ke bawah. Tangan Zie terulur meremas pagar besi seiring gemuruh di dada semakin menghebat.
Satu kaki Zie mulai menjejak di besi pembatas, pikirannya seolah tengah diajak menerka-nerka seberapa dalam dasar sungai itu, mampukah melenyapkan dirinya yang sudah ternoda ini untuk selamanya. Merasa diri merasakan malu dan hina, membuatnya semakin ingin terjun ke bawah sana.
Zie mulai menaikkan kedua sambil memejamkan mata. Jika ini akhir hidupnya, dia tidak akan melihat wajah kecewa papah dan mamah, tidak akan menghadapi dan kemurkaan mereka, serta tidak akan melihat lagi pria yang sangat malu karena sudah menawarkan diri untuk dijamah.
Mati adalah jalan yang terbaik menurut Zievana selain hidup, tapi dikejar dosa dan malu. Tempat ini cukup sepi, jarang melewati jembatan ini memudahkan gadis itu merencanakannya.
"Maafkan Zie, Mah, Pah!"
Zie mencondongkan ke depan, jemarinya mulai melepaskan satu persatu dari pagar besi, saat dirinya bersiap terjun, sebuah tarikan kuat untuk memindahkan ke arah berlawanan, hingga bergedebug di badan.
Zie memekik, bangun bangun tanpa orang di belakangnya. Sang gadis mencari berlari ke sisi jembatan. Namun, tarikan itu kembali menggagalkan aksinya menerjukkan diri ke sungai.
"Lepaskan! Biarkan aku mati!"
Orang yang berada di belakang memeluk erat Zie yang meronta, berusaha melepaskan diri.
"Hentikan perbuatan terkutuk ini, Dek!" Suara lembut wanita, tapi penuh penekanan membuat Zie menoleh.
"Siapapun kamu, mohon bantuannya, biarkan aku mati!" Tatapan Zie menghiba.
Wanita berparas cantik berhijab itu memutar tubuh Zie, kemudian menggenggam dengan kuat-kuat, mengangkat tajama sambil mengayunkan.
"Bunuh, solusi menyelesaikan masalah, justru akan membawamu pada masalah baru yang lebih pedih di akhirat nanti. Apa yang kamu tidak kepikiran bagaimana orang tua kamu menemukan anak gadis kesayangannya mati dengan cara yang dibenci Tuhan. Betapa hancur hati mereka." Kata demi kata yang meluncur dari mulut wanita itu menohok hati Zie.
Sang gadis semakin tergugu pilu, wanita berpakaian kulot dipadupadankan dengan blazer putih yang memeluk erat Zie, mengelu-elus punggungnya yang berguncang.
"Mau cerita sama aku, apa yang menghidupkan nekat hidup?" tanya sang wanita seraya menyodorkan sapu tangan.
Mereka kini duduk di pinggir trotoar. Sinar dari raja siang mulai berjalan, tapi tidak mereka hiraukan.
Zie mengambil kain kecil tersebut, ia menghapus jejak air mata. Bibirnya masih sulit untuk mengungkapkan kejadian yang menimpanya.
Bunuh diri adalah sebuah dosa besar, di mana pelakunya tidak akan pernah mendapat ampunan dari Allah. Kamu merasakan beban yang begitu berat saat ini, tapi di akhirat nanti beban itu tidak seberapa dibandingkan beratnya siksaan api neraka. Sebesar atau sekecil apapun sebuah masalah, pasti akan ada jalan keluarnya. Semua orang memiliki beban itu, bukan kamu saja. Aku pun demikian, pernah berada di posisi ingin bunuh diri." Penuturan wanita berhijab krem itu membawa Zie pada kesadaran penuh bahwa solusi yang dia ambil sungguh keliru.
"Namaku Syahra Khumaira, bolehkah aku tahu namamu?"
"Zie... Zievana Khairunisa."
"Namamu sangat cantik, secantik orangnya."
Zie tersenyum samar mendapat pujian, atau lebih tepatnya kata-kata yang menghibur sehingga menghangatkan hati.
"Jika kamu butuh tempat segala segala bebanmu, aku siap mendengarkan."
"Terima kasih, Mbak Syahra, tapi untuk saat ini aku belum siap bercerita."
Syara tersenyum manis seraya mengelus punggung tangan Zie. "Tidak masalah, mungkin suatu saat nanti, kita bisa saling berbagi cerita. Kita bisa jadi sahabat, Ok!"
Zie hanya mengangguk kecil, selebihnya mengembuskan napas panjang dan berat.
Bersambung
'Percayalah, Tuhan mempunyai solusi untuk mengeluarkanmu dari masalah. Kamu hanya tinggal berdiskusi dan meminta pada-NYA.'Terngiang lagi kalimat itu, Zie semakin meyakini akan menghadapi konseksuensi dari kejadian memalukan itu, pun akan menguatkan mental bilamana terjadi sesuatu dikemudian hari.Syahra berhasil mengubah pikiran Zie perihal melenyapkan semua masalah dengan bunuh diri. Iya, itu salah besar. Ah, andai tidak ada wanita baik itu, mungkin saat ini tinggal nama.Entah Malaikat mana yang sudah berbaik hati mengirimkan wanita itu.Zie sempat teringat ucapan terakhir Syahra, bahwa wanita cantik itu pernah berada di posisi ingin bunuh diri seperti dirinya hanya saja Zie menahan diri untuk tidak menanyakan penyebabnya, takut mengorek luka lama.Setelah pertemuannya dengan wanita berusia tiga tahun lebih tua di atasnya, Zie memutuskan pulang dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.Orang tua Zie selama lima hari berada
Dua tahun berlalu semenjak kejadian itu. Di sebuah gedung pencakar langit milik perusahaan besar Pranajaya, seorang gadis cantik melenggang anggun memasuki bangunan bertingkat duabelas tersebut."Zie, kamu udah denger gosip terbaru belum?" tanya seorang gadis manis berwajah khas lokal dengan napas tersengal seperti habis dikejar penagih utang.Gadis yang memiliki tubuh mungil bernama Rena langsung mensejajarkan langkah dengan kawannya yang tidak lain Zievana. Mereka memasuki lift, kemudian menekan tombol lantai sepuluh.Tubuh Rena yang imut memaksanya selalu mendongak setiap bicara dengan Zie."Gosip apaan?" Zie acuh tak acuh."Kalo dengar jawaban kamu yang kek gitu, berarti kamu belum denger gosip menarik ini. Iya, kan?" Rena mengacungkan telunjuk ke wajah Zie, alisnya terangkat sehingga muka imutnya nampak lucu."To the point aja, emang gosip apaan, sih? Aku bukan cewek super kepo kek kamu, apa-apa serba dicari tau, lambe turah."
"Kamu kenapa diam aja, Zie?" Rena menggerakkan tubuh yang mematung dengan satu telunjuk ditusukkan pada lengan atas Zie.Sang gadis terkesiap, sendok yang Zie genggam nyaris terjatuh. "Eh, apa?" tanyanya spontan, Rena tepuk jidat.Makan siang yang tersaji di atas meja tidak membuat selera makan Zie tergugah. Padahal jika menghirup aromanya saja, siapapun akan tergoda untuk menyantap.Zie mengembuskan napas panjang, menimbulkan tanda tanya besar di benak Rena, tidak biasanya Zie begitu, seperti menyimpan beban yang cukup berat."Zie, kamu tuh kenapa, sih? Pengen kawin, ya?"Zie mendelik, Rena nyengir. "Lagian wajahmu gitu amat, sih. Mirip kanebo kering.""Ren, kenapa bos kita mesti diganti, ya?" ucap Zie tiba-tiba seraya menaruh sendok di alas makan, lantas menopang dagu. Tatapan menarawang entah ke mana."Hah! Kamu gak salah ngomong, Surabi Oncom? Seisi gedung ini berharap banget bos Pranajaya diganti. Wong dia galak, nyebelin,
"Zie, antarkan laporan bulanan ini ke ruangan Pak Andra. Tadi dia minta untuk dicek. Secepatnya ya, dia gak suka menunggu." Kepala staf keuangan menaruh berkas yang cukup tebal di meja Zievana. Tanpa menunggu jawaban, staf cantik itu meninggalkan Zie. Tubuh sang gadis menegang, bukan karena perintahnya, tapi tempat tujuannya, kantor Affandra.Duh, kenapa harus dirinya? Rena, sih, lama banget di toilet. Kan, bisa minta dia yang anterin.Zie menarik udara banyak-banyak, kemudian diembuskan kembali, tapi gemuruh di dadanya tidak berkurang. Dia kesal, terpaksa meraih berkas yang harus diantarkan.Namun, Zie tidak lekas beranjak, masih menunggu Rena. Berharap gadis mungil itu cepat datang supaya bisa mengoper perintah. Namun, tunggu punya tunggu Rena tak kunjung juga.**Zie membeku di depan pintu coklat dengan handle keperakan. Gadis berambut hitam sepunggung bergelombang indah itu masih bertarung dengan ketakutan. Takut tidak mampu menguasai rasa malunya.Selepas menggumamkan bismillah,
Dua tahun bukan waktu sebentar, jika bernapas diiringi siksaan batin, membuat Andra tidak mampu lagi memikul lama. Dia mencoba berdamai dengan ketidakberuntungan atas hilangnya Zievana.Andra dengan niat terkumpul mendatangi kediaman Zievana. Namun, apa yang dia dapat, gadis itu dikabarkan tidak lagi tinggal di sana. Meskipun ia bukan lelaki suci, tapi merenggut keperawanan seorang gadis membuatnya dikejar tanggung jawab, walaupun kejadian tersebut bukan bermula darinya. Terlebih ia menaruh rasa yang berbeda terhadap gadis itu.Andra hanya diberitahu oleh Mbok Nah bahwa Zie pergi entah ke mana. Saat itu orang tua sang gadis sedang tidak berada di tempat, sehingga pria itu memilih menyudahi bertamu dengan benak dipenuhi tanda tanya.Tidak perlu mengorek keterangan lebih jauh, penjelasan Mbok Nah yang singkat cukup membuat Andra menyimpulkan bahwa Zie kabur lagi sampai dia benar-benar menyerah dengan menerima tawaran orang tuanya pindah kepemimpinan di perusahaan Jakarta yang semula di
Zie melangkah tergesa begitu turun dari ojek online, ingin lekas memburu sang buah hati. Kakinya ia arahkan ke rumah induk pemilik kontrakan, sebab di sanalah Alana, putrinya dititipkan.Sedangkan Rena memilih langsung menuju kamar kontrakannya. Mereka terbiasa pulang-pergi bersama, meskipun beda menaiki tumpangan."Assalamualaikum, Bu!" panggil Zie. Meskipun pintu sedikit terbuka, ia tidak berani seenaknya masuk tanpa diperintah."Waalaikumsallam, masuk aja, Zie!" suara berat wanita menyahut dari dalam.Barulah Zie melangkah pasti memasuki rumah setelah mendapat izin. Di ruang tamu, wanita berusia setengah abad yang biasa dipanggil Bu Laila, tengah mencandai bayi perempuan yang montok menggemaskan."Tuh, Bundanya datang!" ucap wanita tersebut, mengarahkan sang bayi supaya menghadap Zie. Seolah mengerti bayi perempuan cantik berkulit putih bak pualam itu tersenyum lebar."Hallo, putrinya bunda." Zie meraup sang buah hati, mencium gemas pipi gembil nan lembut, hingga sang bayi menderai
"Zie aku antar kamu, ya?" tawar Derry menghentikan motornya di hadapan sang wanita. Kemudian melepas helm.Pemuda itu menunjukkan wajah tampannya, rambut disugar ke belakang. Kemeja putih didobel jaket dengan resleting terbuka, dipadupadankan celana kain hitam, menambah penampilan sang pria kian menawan. Gagah kesan yang Zie tangkap pada diri Derry, apalagi duduk di jok tunggangan bermerk ternama, ditambah senyuman manis mengalahkan sari madu, hati wanita mana yang tidak akan meleleh dibuatnya. "Gak usah, Der. Aku bisa naik ojol." Zie menolak halus ajakan putra kedua dari Bu Laila."Mau sampai kapan kamu nolak ajakanku terus, Zie. Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu, sungguh." Derry setengah becanda, tapi Zie berpraduga lain."Eh, bu-bukan begitu. Aku cuma gak mau ngerepotin kamu. Kita kan, beda arah, kalau kamu nganterin aku dulu nanti kamu harus putar balik, bisa terlambat masuk kerja.""Aku gak merasa direpotkan, aku malah senang bisa nganterin bundanya Alana. Sekali-kali berkorban
"Zie dipanggil Pak Andra ke ruangannya," ucap Pak Gayus.Zie terang saja terkejut, seketika bergemuruhlah dalam dadanya. Rena yang duduk tidak jauh dari Zie ikut mendengarkan juga heran."M-mau apa, Pak?" Kegugupan tidak dapat Zie kendalikan.Pak Gayus sedikit mencebik sambil menjengkitkan bahu. "Bapak juga kurang tau. Ayo, cepetan ke sana. Pak Andra tidak suka menunggu lama.""I-iya, Pak."Pria tambun berusia setengah abad itu meninggalkan Zie dalam kegamangan. Menggigit kuku ibu jari atau bibir bawah adalah suatu kebiasaan gadis berhidung mancung itu di kala bingung merecokinya.Zie meratap sial, kenapa zona damainya tidak bisa ditawar kembali ke semula, di kala Andra belum menginjakkan kaki di pelataran gedung megah Pranajaya Jakarta.Kenapa pria tersebut tidak berdiam di Semarang saja, tempatnya meraja sebagai direktur perusahan cabang. Kenapa Pak Anjay harus menyerahkan jabatannya pada anak kedua, lalu anak pertama di mana?Kenapa, kenapa, kenapa?Zie merafal istighfar dalam hati