Share

Temani Aku

Angela membuang gaun pengantin yang tadi ia pakai ke atas kasur. Ia merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Ia muak terhadap semua kepalsuan yang harus ia tunjukkan. Bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan. Bukan tangisan kesedihan yang ia ratapi, tapi kepanikan dan kebodohan yang telah ia lakukan.

Hatinya sibuk berteriak menyesali keputusan terbodoh yang pernah ia buat. Ya, menikah dengan Sebastian bagaikan menggali kuburannya sendiri. Ia dengan bodohnya memancing dewi kematian menghantuinya setiap hari.

Apa yang sudah kamu lakukan, Angela?!!

Angela menjerit sekuat tenaga. Ia bahkan tidak peduli jika ada orang lain yang mendengar jeritannya. Ia tidak peduli prasangka apa yang akan melekat padanya setelah acara resepsi hari ini. Ia mengatakan kepada seluruh dunia bahwa ia baik-baik saja namun nyatanya, ia sangat bersukur sampai saat ini pikirannya tidak menjadi gila. Ia hanya ingin lari dari kepedihan dan rasa sesak yang menyiksanya.

Sorot matanya menatap sendu telapak tangannya yang mengelupas. Entah sudah berapa kali ia mencuci dan menggosok tangannya tadi, berharap sabun cuci tangan itu juga bisa membersihkan perasaan jijik yang menyesakkan dadanya. Ia kesal terhadap dirinya sendiri setelah hampir seharian ia tidak punya pilihan lain selain membiarkan Sebastian menggenggam tangannya.

Ya, Sebastian telah mengultimatum dirinya sebelum keluar mobil memasuki mansion, "Tunjukkan kemampuan akting dengan baik. Ingat, ini bukan hanya demi keuntunganku semata!"

Angela menggigit bibirnya, bersamaan dengan air mata yang makin deras membasahi pipinya,

Ah, aku sangat merindukan Garvin...

Semakin ia larut dalam tangisan, semakin bayangan Garvin berkelebat di pelupuk matanya. Senyumannya, hangat pelukannya, hingga akhirnya Angela kelelahan dan tubuhnya tidak bisa menolak haknya untuk beristirahat.

Sementara Angela tertidur karena kelelahan, Sebastian yang tidak lagi mendengar suara teriakan Angela mengambil kunci kamar dari dalam saku celananya.

Ia dan Angela sudah bersepakat untuk tidur di kamar terpisah. Tapi satu hal yang tidak Angela ketahui, karena ia tinggal dirumah Sebastian, tentu saja Sebastian punya kunci cadangan kamar Angela.

Saat melihat Angela yang tertidur dengan hanya memakai baju tidur tipis berbahan sutra berwarna putih membuat Sebastian segera mengalihkan pandangannya. Ia meraih selimut tebal lalu menutupi tubuh Angela. Walau bagaimanapun, ia tidak ingin hormon testosteron bersikap kurang ajar menguasai dirinya.

Suara teriakan penuh kemarahan dari Angela tujuh hari lalu tiba-tiba kembali terdengar dalam pikirannya, "3 bulan! Beri aku waktu 3 bulan maka semuanya akan berakhir! Aku akan menceraikanmu!"

Ah, Angela...

Pandangan matanya menatap Angela sendu. Sungguh ia ingin sekali menemani tiap kesedihan yang Angela rasakan. Ia ingin Angela menjadikan pundaknya sebagai tempat untuk bersandar. Namun ia tahu, sekuat apapun keinginannya, ia tidak bisa memaksakan perasaan seseorang. Walaupun orang itu sudah resmi menjadi istrinya.

Jari Sebastian memindahkan beberapa helai rambut panjang Angela yang menutupi wajahnya, tampak pipinya masih basah oleh air mata.  Sebastian yang menunggu hampir tiga jam di depan pintu kamar tahu betul selama tiga jam itu Angela tidak henti menangis.

Apa yang harus kulakukan agar kamu bisa melewati rasa sakit ini bersamaku?

Sebastian tidak berharap terlalu muluk agar Angela mencintainya, ia hanya berharap Angela dapat mengandalkannya, menjadikannya sosok laki-laki yang berguna.

"Garvin...? Sayang...?" Angela yang tiba-tiba terbangun mengerjapkan matanya.

Sebastian tergagap, ia segera bangun dari tempat tidur namun tangannya ditarik oleh Angela, "Jangan pergi lagi, Sayang. Temani aku... temani a..." kalimat Angela terhenti.

Sebastian yang sadar bahwa Angela sedang dalam pengaruh obat tidur hanya menghela nafas. Walau ia tahu panggilan sayang itu bukan ditujukan untuknya, namun itu cukup. Melihat senyuman Angela meski hanya beberapa detik saja sudah sangat berarti.

Angela yang sudah tujuh hari bisa tidur hanya setelah meminum obat tidur. Sebastian mengetahuinya setelah ia dan Angela bertengkar di malam pertama pernikahan mereka. Ia tidak akan bisa melupakan tatapan Angela malam itu yang melihatnya seperti melihat tumpukan sampah.

"Kamu tenang saja, jika bukan karena janjiku pada Garvin, jangankan menyentuhmu, melihatmu pun aku tak sudi!" Sebastian mendengus angkuh, sedalam apapun perasaannya pada Angela, namun tatapan yang Angela suguhkan padanya membuat harga dirinya terinjak-injak.

Angela tersenyum sinis, "Tak perlu mengasihaniku! Asal kamu tahu saja, bahkan jika kamu adalah laki-laki terakhir di dunia ini, aku tidak akan pernah mencintaimu!"

"Hey, kamu pikir aku mau terjebak dalam pernikahan sialan ini?!" Sebastian melipat kedua tangannya di atas dada, menatap Angela sambil menyeringai sinis.

“"3 bulan! Beri aku waktu 3 bulan maka semuanya akan berakhir! Aku akan menceraikanmu!"

Sejujurnya Sebastian terkejut dengan keputusan Angela yang dengan begitu mudah mengultimatum usia pernikahan mereka. Dalam hati ia menolak ide gila Angela, namun harga dirinya lebih berharga. Sambil keluar kamar ia berkata, "Jangankan tiga bulan, besok pun kalau kamu mau, aku bisa menceraikanmu!"

Tidak peduli betapa sakit hatinya saat mengatakan kalimat itu, namun ia puas. Ia hanya mengikuti apa yang Angela mau.

Sebastian menghela nafas panjang. Mengingat kejadian malam itu seperti mengorek kembali luka yang baru saja mengering. Ia menggelengkan kepalanya, Aku harus segera keluar dari kamar ini. Semakin lama disini, aku bisa kehilangan akal sehatku.

Setelah mematikan lampu kamar, Sebastian keluar kamar lalu mengunci pintu. Tangannya memberi kode pada dua orang pelayan wanita untuk mendekat,

"Kalau istri saya nanti sudah bangun, siapkan sup hangat dan juga susu hangat untuknya. Jangan lupa pastikan kran air shower di kamar mandi sudah tersetting menjadi hangat. Istri saya selalu ceroboh saat menyalakan shower sehingga kulitnya memerah karena air yang terlalu panas."

Setelah memastikan dua pelayan itu mengerti perintahnya, Sebastian meminta mereka pergi. Pandangan matanya menuju ke pintu kamar Angela,

Setidaknya aku bisa menjagamu jika kamu berada di dekatku.

--------------------------------

"Bagaimana Angela? Apa dia baik-baik saja?"

Sebastian mengangguk pelan. Ia tersenyum sambil menepuk pundak ayahnya, "Tidak ada yang perlu ayah khawatirkan."

Andrian mengangkat bahunya, "Apa yang harus dikhawatirkan? Memangnya ada yang harus dikhawatirkan?"

Suara tawa Sebastian pecah, ia mengangkat kedua alisnya, "Ayah yang mengkhawatirkan."

"Hey, istrimu itu yang mengkhawatirkan!"

"Apa yang harus dikhawatirkan? Memangnya ada yang harus dikhawatirkan?" Sebastian sengaja mengulangi kalimat persis seperti yang diucapkan Ayahnya.

Melihat Ayahnya hanya menatapnya dengan pandangan mata seolah mengintrogasi kejujuran dalam pernikahannya membuat Sebastian tertawa. Ia merasa lucu, Ayahnya yang meyakinkannya untuk memenuhi janji kepada Garvin untuk menikahi Angela, tapi kini ia mengkhawatirkan nasib pernikahan mereka?

Andrian menggelengkan kepalanya, "Kamu bisa tertawa? Setelah apa yang kamu lakukan?"

"What? What did I do?" tanya Sebastian sambil mengangkat tangannya.

"Tell me the truth, yang kamu katakan di depan banyak tamu undangan tadi hanya untuk melindungi istrimu, bukan?"

"Well, bukankah itu adalah tindakan wajar?"

Andrian menggelengkan kepalanya kesal, "Kamu meremehkan insting ayahmu, Nak. Kamu pikir Ayah tidak tahu tatapan penuh benci Angela tiap kali melihatmu?"

Sebastian menelan salivanya kasar. Ia tahu, tidak ada yang luput dari mata elang ayahnya. Sebagai pengusaha dan pebisnis, jelas ayahnya sangat menguasai berbagai macam karakter manusia. Selagi otaknya sedang memikirkan jawaban yang tepat untuk menutupi kesalahan istrinya, ayahnya membuat kepalanya berdenyut dengan mengatakan,

"Tidak ada yang bisa memperlakukan anak ayah satu-satunya dengan rendah seperti itu. Ceraikan Angela segera! Kamu bahkan bisa dapat wanita yang 1000 kali lebih baik darinya!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status