Reval melangkah mendekati Naura tanpa ekspresi.
“Aku di sini. Tidak ada yang perlu kamu sembunyikan,” ujar Reval singkat, sambil menyentuh bahu Naura dengan lembut, namun tidak menunjukkan kehangatan. Naura menatap Reval, terkejut oleh kata-kata itu. Sentuhan di bahunya terasa aneh, dingin, seolah tidak ada emosi di baliknya. Rasa cemas menyelimuti dirinya, namun ia tetap terdiam. Namun, ia merasa tak mampu menolak. Perlahan ia menarik napas, berusaha meredam gemuruh jantungnya yang semakin cepat. Pandangannya tetap tertunduk, enggan bertemu mata Reval. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Naura mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Setiap helai pakaian yang terlepas menambah rasa terpapar yang semakin dalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Namun tatapan dingin Reval tetap menembusnya, seolah menahan setiap niat untuk mundur. Ketika pakaian terakhir terlepas, Naura merasa tubuhnya hampir tidak terlindungi, meskipun hanya ada sedikit kain yang menutupi tubuhnya. Wajahnya memerah, namun ia tidak berani mengangkat kepala, mencoba menghindari pandangan Reval yang terus terfokus pada dirinya. Rasa cemas semakin menggerogoti hatinya. Reval menatap tajam Naura dan penuh kendali. Tanpa berkata sepatah kata pun, langkahnya perlahan mendekat, membiarkan jarak di antara mereka semakin menyusut. Naura bisa merasakan hawa dingin yang datang bersamanya, seperti sebuah peringatan yang samar-samar namun nyata. Matanya tetap terfokus pada Naura, sementara setiap gerakan Reval terkesan sangat terkontrol, seolah ia mengukur setiap detik yang ada. Naura merasa tubuhnya tertarik, meskipun hatinya bergejolak dengan perasaan yang sulit ia pahami. “Jangan mundur,” suara Reval terdengar lembut namun penuh tekanan, seolah itu lebih sebagai perintah daripada permintaan. Naura terdiam, perasaan ragu menguasai dirinya, namun tubuhnya tetap tak bisa bergerak mundur. Dengan satu gerakan tegas, Reval meraih pipi Naura dengan tangan kanannya, jari-jarinya terasa dingin dan kuat, menahan wajahnya agar tetap menghadap kepadanya. Tatapan Naura tertumbuk pada mata Reval yang penuh makna, seakan berusaha menemukan jawaban dari kedalaman yang tak pernah ia kenal. Tanpa kata-kata lagi, Reval menundukkan wajahnya sedikit, jarak di antara mereka kini sangat tipis. Naura bisa merasakan nafasnya yang berat, membungkus udara di sekitar mereka. Sebuah desahan halus terlepas dari bibirnya, menandakan keputusan yang telah ia buat. Dengan gerakan lambat namun pasti, Reval menyentuhkan bibirnya pada bibir Naura. Ciuman itu tidak tergesa-gesa, namun ada sesuatu yang menuntut di dalamnya, sesuatu yang meminta lebih dari sekadar sentuhan fisik. Bibir Reval menyentuh dengan kelembutan yang kontradiktif, namun ketegasan dalam setiap gesekan terasa mengalir dalam setiap detik. Seolah ingin memastikan bahwa Naura merasakan setiap inci kedekatannya. Naura terpaku, rasanya seperti ada gelombang yang merambat dalam dirinya, lembut, namun mengguncang. Ada rasa yang datang dan pergi begitu cepat, membuatnya seolah tidak bisa bernapas, namun ia tetap terperangkap dalam ciuman itu. Reval menarik sedikit mundur, hanya sejenak, sebelum kembali mendekat dengan intensitas yang lebih dalam. Kali ini, ciumannya lebih dalam, lebih menuntut. Ia menggenggam pipi Naura lebih erat, jari-jarinya menekan lembut, namun penuh kekuatan. “Jangan ragu,” bisiknya, suara itu rendah dan mengalir, hampir seperti sebuah peringatan, namun tidak mengurangi kelembutannya. Naura menutup matanya, tubuhnya seolah terhanyut dalam setiap gerakan Reval, merasakan sentuhan yang begitu penuh dan mendalam. Reval menarik sedikit mundur, meskipun jarak di antara mereka masih terasa begitu dekat. Nafasnya terengah-engah, namun tatapannya tetap tajam, penuh kendali. Naura bisa merasakan jantungnya yang berdegup cepat, tak mampu menahan getaran yang merasuki setiap serat tubuhnya. Hanya ada keheningan yang membungkus mereka, namun udara terasa semakin panas dan penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Reval perlahan mengangkat tangan kanannya, jemarinya yang dingin menyentuh bibir Naura yang masih bergetar. Dengan gerakan lembut, ia mengusap bibir Naura yang baru saja disentuh olehnya, seolah mengingatkan kembali pada ciuman yang baru saja terjadi. Naura menunduk, cemas akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, ia merasakan jari-jari Reval yang menelusuri bibirnya dengan sangat hati-hati, menahan setiap detik yang terasa begitu menggoda. Setiap sentuhan membuatnya semakin terperangkap dalam ketidakpastian, tetapi juga dalam rasa yang sulit dijelaskan. “Bibirmu terasa begitu lembut,” bisik Reval, suaranya rendah, di telinga Naura. Kalimat itu seperti sebuah pujian, namun ada sesuatu yang menggoda di baliknya, seolah menguji ketahanannya. “Kamu tahu, aku bisa merasakan betapa kamu ingin lebih dari ini,” lanjutnya, suaranya semakin dalam, penuh dengan ketegangan yang memancar dari setiap kata yang keluar dari bibirnya. Naura menggigit bibir bawahnya, hatinya berdebar kencang. Ada rasa cemas, ada pula rasa ingin yang datang begitu kuat, tetapi ia berusaha menahan diri. Namun, sentuhan jari Reval yang masih mengusap bibirnya itu seolah membuat dinding pertahanan Naura perlahan runtuh. “Tak perlu menahan diri,” Reval melanjutkan, suaranya begitu dekat, membuat setiap kata yang diucapkannya terasa seperti godaan yang tak bisa dihindari. “Aku tahu kamu ingin melakukannya lagi. Dan aku juga tahu apa yang kamu rasakan saat aku menyentuhmu.” Reval memiringkan kepalanya, matanya masih terfokus pada Naura, seolah mencari tanda persetujuan yang tak terucapkan. “Besok malam,” suara Reval yang terdengar rendah itu membelah keheningan, penuh penekanan. “Kita akan melanjutkan permainan ini. Aku ingin melihat seberapa jauh kamu siap untuk menjalankan kesepakatan kita.”Ngerjain banget Pak Reval ya?????
Pak Budi memberanikan diri bicara, “Tapi Pak, bukannya rumah ada smart lock pakai sidik jari?” Reval mendadak berhenti bernapas sejenak, lalu mengembuskan napas lega. “Ya ampun, Pak Budi. Anda pahlawan!” Setibanya di rumah, Reval lari ke kamar seperti disambar petir. Dia membuka lemari dan langsung menarik koper warna biru dengan hiasan bebek kecil. “Oke, ini koper bayi. Sekarang koper Naura…” Matanya menelusuri kamar. “Yang pink! Yang pink! Pink tua atau pink muda ya?” Dia meraih koper pink muda, lalu membuka. Isinya… setrika uap dan baju olahraga. “Ya ampun ini koper laundry!” serunya frustrasi. Akhirnya, setelah menggali seluruh isi lemari dan kolong tempat tidur, Reval berhasil menemukan semua keperluan yang dikemas Naura jauh-jauh hari. Dia menyeret koper bayi, koper ibu, tas selempang berisi dokumen, dan bantal menyusui bergambar boneka domba. “Oke, sekarang kita kembali ke rumah sakit!” Kembali ke rumah sakit, Reval langsung berlari masuk, membawa semua tas dan koper s
Naura menggigit bibirnya, lalu mengaduh lagi. “Aaakh! Ini sakit banget! Kayaknya air ketubanku rembes deh… Val! Kaki aku dingin!” Reval langsung melepaskan jasnya, “Nih, nih, pakai ini dulu. Aduh jangan jambak lagi, ya? Aku masih butuh rambut buat tampil kece sebagai ayah masa depan!” Naura menatapnya, mata berkaca-kaca. “Reval…” Reval langsung panik, “Iya, iya, aku di sini, Sayang. Kamu kuat. Nggak apa-apa, kita sebentar lagi sampai, ya?” “Kalau anak kita lahir sekarang… di mobil… aku nggak siap, Val…” Reval menggenggam tangannya, hangat dan kuat. “Tidak. Nggak usah takut. Aku bakal ada di samping kamu terus.” Naura menggigit bibir bawahnya, kali ini bukan karena sakit, tapi karena matanya mulai buram oleh air mata. “Kamu suami paling norak tapi paling aku cinta.” Reval tertawa kecil, meski wajahnya masih tegang. “Norak tapi tampan, kan?” Naura mengangguk lemah dan di tengah ketegangan, mereka berdua tertawa pelan. Tiba-tiba, Naura kembali meringis. “Aaaakh! Kontraksinya dat
Kehamilan Naura telah memasuki bulan kesembilan. Perutnya yang membuncit membuat geraknya menjadi semakin terbatas. Reval pun menjadi sangat protektif. Setiap langkah Naura selalu diawasi, setiap makanan yang masuk selalu diperiksa gizi dan porsinya. Pagi itu, mereka menerima sebuah undangan cantik berwarna peach keemasan. Nama Dinda dan Ervan tertera di sana dengan elegan. “Kita diundang ke pernikahan Dinda dan Ervan,” ucap Naura sambil duduk di sofa, tangannya mengelus perutnya dengan lembut. Reval mengambil undangan itu, membaca sebentar, lalu menatap Naura khawatir. “Sayang, usia kandungan kamu kan udah sembilan bulan. Lebih baik kita kirimkan hadiah saja. Kamu istirahat di rumah.” Naura menggeleng pelan. “Aku pengen datang. Dinda itu teman yang selalu ada. Dia sering nemenin aku saat kamu kerja, jalan-jalan ke taman, bahkan pernah nganterin aku ke dokter waktu kamu dinas luar kota. Aku nggak mau absen di hari bahagianya.” Reval menghela napas panjang. Ia tahu ketika Naura
Air hangat mulai mengalir dari pancuran saat Reval menarik tangan Naura menuju kamar mandi. Ia menatap istrinya dengan senyum penuh cinta, lalu meraih handuk lembut dan memakaikannya ke tubuh Naura. “Kita bersih-bersih dulu, ya?” ucapnya sambil mencubit lembut ujung hidung Naura. Naura terkekeh, mengangguk manja. “Aku nggak bisa mandi sendiri, dong, sekarang.” Reval mengangkat alis, pura-pura serius. “Makanya suamimu ikut. Supaya kamu nggak kesepian.” Mereka berdiri di bawah pancuran air hangat. Uap tipis memenuhi ruangan, membalut tubuh mereka yang kini saling bersentuhan dengan begitu lembut dan hati-hati. Reval mengusap bahu Naura perlahan, lalu menurunkan tangannya ke lengan istrinya, memijatnya dengan sabun wangi melati. “Hmm, wangi kamu sekarang tambah enak,” gumam Reval, mencium pelipis Naura. Naura terkikik kecil. “Wangi sabun, Reval.” “Buat aku, semuanya dari kamu itu wangi,” bisiknya lagi. Mereka tak banyak bicara, hanya saling membersihkan tubuh dengan penuh kelemb
Pagi menyusup pelan lewat tirai tipis kamar. Sinar matahari yang lembut membias ke dinding, menciptakan suasana hangat. Di dalam selimut tebal, Naura menggeliat pelan sambil menguap. “Selamat pagi, Nyonya Reval,” bisik suara berat yang sangat dikenalnya. Naura membuka mata dan mendapati Reval sudah menatapnya dengan senyum yang kelewat manis. Rambutnya berantakan, tapi entah kenapa justru itu yang membuatnya makin tampan di mata Naura. “Selamat pagi, Tuan Ganteng,” balasnya sambil menyembunyikan wajah di bantal karena malu. Reval tertawa, lalu menarik Naura mendekat dan mendaratkan ciuman lembut di pipinya. “Gimana tidurnya, ibu dari anakku?” Naura tersenyum malu. “Tidur paling nyenyak seumur hidup.” Reval mengusap perut Naura perlahan. “Kamu harus makan dulu pagi ini. Anak kita pasti lapar.” Tak lama kemudian, mereka sudah berada di dapur. Naura mengenakan daster panjang dan celemek, rambutnya diikat sembarangan. Reval dengan kaus abu-abu dan celana pendek santai membantu
Naura mengerutkan dahi, tapi mengangguk. Ia menatap punggung suaminya yang keluar dari kamar. Beberapa menit kemudian, Reval muncul lagi. Kali ini dengan nampan berisi makanan kecil. Cokelat hangat, stroberi celup cokelat, dan... satu mangkuk mi instan. Naura langsung tertawa. “Mi instan? Serius?” “Yang terakhir spesial. Ini... buat kita yang dulu pernah makan ini bareng waktu kamu—” Naura memejamkan mata sejenak, tertawa haru. “Waktu itu kamu juga yang masakin!” potong Naura sebelum Reval menyelesaikan kalimatnya. Reval duduk di sebelahnya. “Dan malam ini, mi instan akan jadi saksi kita udah nggak perlu nangis sendirian lagi.” Mereka menikmati makanan ringan sambil bercerita masa lalu. Setiap kalimat seolah menjahit luka-luka yang dulu terbuka, menjadi kenangan yang kini tak lagi menyakitkan. Setelah semua santapan habis, Reval menarik Naura berdiri. “Ayo, aku mau ajak kamu lihat sesuatu.” Mereka berjalan menyusuri lorong hotel menuju pantai. Ternyata di pasir putih itu, Reval