Malam... saatnya beristirahat.... :-) jangan lupa tinggalkan komentar kakak, biar author semangat menulis. kalau tak, besok bolos update. แโ (อกโ ยฐโ โฟโ ย อกโ ยฐโ )โ แ
โTidak, saya baik-baik saja,โ jawab Naura cepat, mencoba tersenyum untuk menutupi kegelisahannya. Meski begitu, Naura menangkap sesuatu dalam tatapan mata Reval. Lelaki itu sepertinya terlihat lelah. Sementara Reval masih diam, memperhatikan wajah Naura yang tampak memerah. Lelaki itu mengangkat alis, lalu duduk di sofa dengan santai. Tatapannya tak kehilangan ketajaman. Suasana di ruangan itu mendadak terasa lebih tegang, seolah-olah Naura sedang berdiri di depan hakim yang siap memutuskan nasibnya. โBenarkah?โ tanya Reval kemudian, nadanya datar, tetapi ada sesuatu yang membuat jantung Naura berdetak lebih cepat. โSejak tadi aku melihatmu gelisah. Ada apa?โ Naura menelan ludah. Tangannya yang saling menggenggam di depan tubuhnya semakin erat. Ia tahu kebohongannya pagi tadi kepada ibu mertuanya masih menghantuinya. Meski begitu, ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan Reval. โSudah saya bilang. Saya tidak ada apa-apa Pak Reval,โ jawab Naura lagi, kali ini lebih teg
Langkah Naura terasa berat ketika memasuki kamar Reval. Hatinya masih bimbang, tetapi perintah lelaki itu membuatnya tak punya pilihan. Sesampainya di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sosok Reval yang terbaring di sofa. Napasnya tertahan sejenak. Reval tertidur dengan posisi yang tampak tidak nyaman. Tubuhnya setengah terkulai, dengan kepala bersandar pada sisi sofa dan satu tangan menjuntai ke lantai. Dada pria itu naik turun perlahan, menunjukkan kedamaian yang jarang Naura lihat darinya. Wajah Reval, yang biasanya penuh intensitas dan otoritas, tampak begitu tenang dan lelah. Sepertinya dugaan Naura benar. Reval pasti kecapekan. Naura ingat betapa sibuknya pria itu tadi malam, terutama ketika dirinya yang merasa tidak enak badan. โApa mungkin dia menjagaku?โ pikirnya tiba-tiba. Namun, Naura segera menggelengkan kepala, menepis pikiran itu. Tidak mungkin. Reval peduli sampai sejauh itu. Memangnya dia siapa? Naura mengamati sekeliling kamar, mencoba mengalihkan pik
Ketika bibir mereka bersentuhan untuk kedua kalinya, itu tidak terasa tergesa-gesa. Kali ini, Reval memimpin dengan kehangatan yang membuat dunia di sekitar Naura seperti lenyap. Naura terperangah, tetapi tidak melawan. Bibir Reval bergerak lembut, seolah memberi kesempatan pada Naura untuk memilih, namun setiap gerakan kecil darinya seolah meruntuhkan pertahanan yang coba Naura bangun. Jantungnya berdetak begitu keras, membuat pikirannya kacau. Ia tidak tahu apa yang lebih menyesakkan. Sensasi dari ciuman itu atau konflik dalam dirinya yang enggan mengakuinya. Tangan Reval bergerak perlahan, menyentuh sisi wajah Naura dengan ujung jarinya, seperti memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana. Sentuhan itu membuat Naura meremang, lututnya lemas hingga ia harus menggenggam sprei untuk mencari keseimbangan. Reval menekan sedikit lebih dalam, menciptakan irama yang membuat napas Naura tersengal. Tangannya yang lain kini menyentuh pinggang Naura, menahannya agar tetap di tempat. T
Naura menggeliat pelan, matanya perlahan terbuka. Langit-langit kamar yang asing segera mengingatkannya pada tempat di mana ia berada. Akan tetapi, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang berat menekan pinggangnya. Ia menoleh perlahan dan melihat wajah Reval yang tertidur lelap, begitu dekat hingga ia bisa merasakan helaan napas pria itu di kulitnya. Naura terpaku sejenak, mengamati wajah Reval yang damai dalam tidurnya. Tidak ada tanda-tanda kekakuan atau dinginnya sikap yang biasa ia tunjukkan. Kini, ia hanya seorang pria yang kelelahan, dengan tangan kokohnya yang memeluk Naura erat, seakan enggan melepaskannya bahkan dalam tidur. Perlahan, Naura mencoba memindahkan tangan itu. Gerakannya sangat hati-hati, nyaris tanpa suara. Tapi begitu ia berhasil membebaskan diri, perutnya berbunyi keras, memecah keheningan kamar. Ia memegang perutnya dengan ekspresi malu, meskipun tidak ada yang mendengar kecuali dirinya sendiri. โLapar sekaliโฆ,โ gumamnya pelan. Pandangannya melirik pintu k
โIya, Bu. Maaf baru bisa pulang sekarang,โ jawab Naura, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ibu Lastri hanya mengangguk kecil, tetapi tatapan matanya tak lepas dari Naura, seperti tengah menilai sesuatu. Suasana kamar yang hening hanya diisi oleh detak jarum jam di dinding dan suara napas mereka berdua. โDuduklah, Naura,โ ujar Ibu Lastri sambil menunjuk kursi di dekat ranjang. Naura mengikuti perintah itu, menarik kursi perlahan sebelum duduk di atasnya. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi rasa penasaran bercampur gugup terus menghantuinya. โKata Bibi, Ibu mau bicara penting, ya? Ada apa, Bu? Apakah ada masalah?โ tanya Naura penuh antusias. โNaura,โ suara Ibu Lastri memecah keheningan. Tatapannya tajam seperti sedang mencurigai menantunya. โApa kamu sangat dekat dengan bos kamu?โ Deg! Naura membeku. Pertanyaan itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Pikirannya langsung melayang ke berbagai kemungkinan. Bagaimana mungkin Ibu Lastri menanyakan hal itu? Bukanka
Naura mencoba tersenyum kecil, meskipun dalam hati ia merasa panik. Ia mengusap lehernya dengan canggung sambil mencari alasan yang masuk akal. โEm, ini mungkin kena gigit serangga, Bi. Soalnya rumah ayah Naura melewati ladang pertanian juga.โ Bi Mirna masih menatapnya dengan dahi yang sedikit berkerut, tetapi akhirnya mengangguk. โOh, begitu ya, Nyonya? Kalau begitu nanti bibi siapkan salep, siapa tahu bisa membantu.โ โTidak perlu, Bi. Terima kasih ya? Sekarang Naura mau ke kamar dulu.โ Naura langsung bergegas meninggalkan dapur sebelum Bi Mirna bisa bertanya lebih lanjut. Ia merasakan tatapan wanita paruh baya itu masih mengikuti punggungnya hingga ia masuk ke dalam kamar. Begitu pintu kamar tertutup, Naura menyandarkan tubuhnya pada daun pintu dan menghembuskan napas panjang. Ia berusaha menenangkan detak jantung yang masih tidak beraturan. Rasa panas di wajahnya belum sepenuhnya hilang. โApa yang kupikirkan tadi?โ gumamnya pada diri sendiri. Ia menggeleng-gelengkan
Gesekan koin yang kasar melawan kulitnya meninggalkan bekas kemerahan baru, namun Naura tidak peduli. Ia terus melanjutkan, berpikir bahwa tanda itu akan tampak seperti bekas kerokan biasa. Setelah beberapa saat, ia berhenti. Napasnya sedikit terengah, sementara kulit lehernya kini terlihat lebih merah dari sebelumnya. Namun, tanda asli itu sudah tidak begitu mencolok, atau setidaknya ia berharap demikian. Naura menatap hasil usahanya dengan cemas, mendekatkan wajah ke cermin untuk memastikan semuanya. โSemoga ini cukup,โ kata Naura pelan, seperti doa. Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa bekas itu bukan satu-satunya jejak yang ditinggalkan Reval. Beberapa waktu telah berlalu, Naura membuka pintu kamarnya perlahan. Ia tahu bahwa Bi Mirna mungkin masih ada di sekitar. Wanita itu sangat perhatian, tetapi terkadang perhatian yang diberikan justru membuat Naura merasa tidak nyaman, terutama dalam situasi seperti ini. Suara dering telepon di ruang tamu membuat Naura sedik
Dion tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengalihkan pandangan dan berjalan menuju meja, menarik kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan kasar. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi dan menghembuskan napas panjang. โNggak usah nanya-nanya hal yang nggak penting, Nau,โ jawab Dion, nadanya terdengar ogah-ogahan. Naura menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membara di dadanya. โAku nanya karena aku peduli, Mas. Mas pulang malam, penampilan berantakan, terus langsung marah-marah. Apa yang sebenarnya terjadi?โ Dion diam, tidak segera menjawab. Namun, sikapnya yang diam hanya membuat Naura semakin curiga. Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di depan suaminya. โMas, aku tanya baik-baik. Jangan diam saja seperti ini,โ desaknya. Akhirnya, Dion menegakkan tubuhnya. Ia menatap Naura dengan ekspresi datar, lalu berkata dengan suara pelan tapi cukup tajam. โAku kalah lagi.โ Naura terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Dion. Kalah? Apa maksudnya? Tapi kemudian
Naura duduk di sudut ruangan, kepalanya bersandar pada dinding kayu yang mulai lapuk. Tangannya masih terikat, tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Pikirannya terus berputar mencari celah. Ia harus keluar dari sini sebelum Dion benar-benar menghancurkan segalanya. Dari luar, terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka, dan pria bertopeng yang tadi datang kembali, kali ini tanpa nampan makanan. โHari ini kau akan dipindahkan,โ katanya singkat. Naura menelan ludah. Dipindahkan? Ke mana? Pria itu berjalan mendekat, menarik tali yang mengikat tangannya, lalu menyeretnya berdiri. โAyo.โ Naura tahu ia tak bisa melawan dalam kondisi seperti ini. Tapi, jika dia dipindahkan ke tempat yang lebih jauh, peluangnya untuk selamat akan semakin kecil. โTuhan, bantu akuโฆโ Saat mereka melewati lorong sempit yang gelap, Naura memperhatikan sekelilingnya. Matanya menangkap sebilah pisau kecil tergeletak di atas meja kayu di sudut ruangan. Tanpa berpikir panjang, ia menjatuhkan tubuhnya
โPaman Riko?โ Reval merasakan amarah membakar seluruh tubuhnya. Ia mengepalkan tangan, nyaris melayangkan pukulan ke wajah Dion, tetapi pria itu dengan santai menjauh, mengangkat ponselnya lebih tinggi. โTenang, Reval. Kalau kau menyentuhku, aku bisa saja menyuruh Riko melakukan sesuatu yang lebih buruk pada Naura,โ katanya dengan seringai puas. Reval mengertakkan giginya. โApa yang kau inginkan?โ Dion menoleh ke Callista dan tertawa kecil. โGampang. Akui bahwa anak dalam kandungan Callista adalah milikmu, nikahi dia, dan aku akan melepaskan Naura,โ katanya santai. Reval mencibir. โMimpi.โ Callista mendekat dengan tatapan penuh kemenangan. โReval, kau tahu kau tidak punya pilihan, kan?โ ujarnya manja, tangannya berusaha menyentuh dada Reval. Reval menepisnya kasar. โKalian pikir aku bisa percaya pada kalian? Bahkan jika aku menuruti permintaan kalian, tidak ada jaminan Naura akan selamat.โ Dion terkekeh. โTentu saja ada jaminannya. Tapi kalau kau membangkangโฆโ Ia memutar vide
โSebenarnya ... ini bukan hal yang penting.โ Naura tidak tahu harus menjawab apa. โNaura, ada apa? Apapun itu, aku akan mendengarkannya.โ Naura menatap Reval, lalu mengambil secarik kertas. โSurat cerai saya sudah resmi. Saya dan Mas Dion โฆ bukan suami-istri lagi.โ Reval menatap surat itu. Rasanya seperti beban besar terangkat dari dadanya. Ia merasa lega dan informasi itu adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu olehnya. Bagaimana mungkin Naura mengatakan bahwa itu tidak penting? Namun, ekspresi Naura masih terlihat berat dan seolah sedang dilanda gelisah yang mendalam. โAda apa lagi?โ tanya Reval lembut. Naura menggigit bibirnya. โSaya mendengar sesuatu dari Bu Lastri belakangan ini.โ Reval mengernyit. โApa?โ Naura menghela napas, lalu menatap Reval dalam-dalam. โCallista. Sebenarnya dia tidak benar-benar tinggal di rumah Mas Dion. Waktu itu dia hanya kebetulan ada di sana saat saya mengajukan cerai dan dia sengaja memanas-manasi saya.โ Reval menegang. โDan
Reval berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang. Firasat buruk terus menghantui pikirannya. Ponselnya di saku bergetar. Dengan malas, ia meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar. Dahi Reval mengernyit. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana ia melihat Callista duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Mata wanita itu tampak merah seolah habis menangis. Reval menutup pintu dan berjalan mendekat. โApa yang terjadi? Kenapa kamu yang ada di sini?โ Callista menundukkan kepalanya, menggenggam ujung selimut dengan erat. โAku โฆ aku hamil, Reval.โ Jantung Reval seperti berhenti berdetak sejenak. Ia menatap Callista dengan tatapan tajam. โApa hubungannya denganku? Lalu di mana Naura? Aku ingin bertemu dengannya.โ โTentu saja ada hubungannya denganmu, Reval.โ Callista mengangkat kepalanya, menatapnya dengan mata penuh harap. โIni adalah anakmu.โ Reval m
Ruang tamu dipenuhi keheningan yang menegangkan. Adelia duduk di sofa dengan tatapan dingin, sementara Reval berdiri di depannya, menatapnya dengan penuh ketegasan. โApa kamu bilang?โ suara Adelia meninggi, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. Reval menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. โAku ingin mama meminta maaf kepada Naura.โ Adelia tertawa kecil, namun tidak ada kehangatan dalam tawanya. โKenapa tiba-tiba kamu meminta hal itu, Reval? Mama tidak merasa punya urusan dengan perempuan itu.โ Reval mengepalkan tangan, berusaha tetap tenang. โKarena mama telah menyakitinya.โ Adelia menyipitkan mata. โJangan membesar-besarkan masalah, Reval. Lagipula, perempuan itu bukan siapa-siapa bagi mama.โ Reval mendekat, menatap ibunya dengan tajam. โBukan siapa-siapa? Dia adalah wanita yang sedang mengandung anakku, Ma!โ Adelia terdiam sesaat. Matanya membulat, tapi ia segera menyembunyikan keterkejutannya dengan tawa sinis. โJadi, itu alasan kamu membelanya mati-matian
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dion, meninggalkan jejak kemerahan yang jelas. Kepala pria itu sedikit tergeleng, namun bukan karena sakitnya tamparan itu, melainkan karena keterkejutannya. Callista berdiri di hadapannya dengan mata membelalak, napasnya memburu penuh amarah. โIni semua gara-gara kamu, Dion!โ suara Callista menggema di seluruh ruangan. Dion mengusap pipinya yang perih, ekspresinya berubah dingin. โKenapa kamu menamparku, Callista? Kita melakukannya atas dasar suka sama suka.โ Callista mendengkus kasar. Ia memeluk tubuhnya sendiri, seakan merasa jijik dengan situasi yang sedang terjadi. โSial! Aku hanya ingin bersenang-senang, bukan mendapatkan ini!โ Suaranya bergetar, dan matanya menatap Dion dengan kebencian. Dion menyipitkan mata. โMaksudmu?โ โAku hamil, Dion! Aku mengandung anak sialan ini gara-gara kamu!โ Callista berteriak frustrasi, tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dion terdiam sejenak. Pikirannya berputar cepat, menc
Beberapa minggu telah berlalu. Naura berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia tinggali sebagai istri Dion. Pintu rumah itu masih sama seperti terakhir kali Naura melihatnya. Cat cokelat tua yang mulai memudar, gagang pintu berwarna perak yang kini tampak lebih kusam. Namun, bagi Naura, rumah ini sudah kehilangan maknanya sejak lama. Tangannya menggenggam erat amplop cokelat berisi surat cerai. Dalam hati, ia menguatkan dirinya. Ia harus menyelesaikan semuanya. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan di dalam pernikahan yang telah hancur sejak lama. Dengan napas panjang, Naura mengetuk pintu. Dadanya berdebar, bukan karena ragu, tetapi karena ia ingin semua ini segera berakhir. Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu terbuka. โNaura!โ Suara itu begitu akrab. Hangat. Seakan tidak ada luka yang pernah mengisi kehidupan mereka. Bu Lastri berdiri di ambang pintu dengan mata berbinar, seolah-olah kehadiran Naura adalah sesuatu yang ia rindukan sejak la
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. โAku mencintaimu, Naura,โ ucapnya serius. โAku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.โ Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... โTidak semudah itu, Pak Reval,โ bisiknya. โAda banyak hal yang harus saya pikirkan.โ Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. โLalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?โ tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. โApa kamu takut?โ tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. โYa,โ jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, โSaya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. โPesan satu es krim cokelat.โ โTunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.โ Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. โOke, stroberi.โ Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. โKenapa lagi?โ Naura menggigit bibirnya. โSepertinya saya ingin yang cokelat.โ Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. โBapak kenapa tertawa?โ โKamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.โ Naura mendelik. โSaya memang hamil, kan?โ Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. โYa, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.โ Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. โApa?โ tanya Naura bingung. Reval te