“Kamu tunggu di sini ya, By. Tante mau ambil susu sama oatmeal tante di dapur,” ujar Yessa pada Arby yang duduk di ruang tengah.
Arby menatapnya polos, kembali berdiri seolah tak mau ditinggal. “Kamu takut, ya?” goda Yessa sambil menahan kekehan. “Bukan takut, tapi Arby mau ikut tante ke sana,” balas bocah itu polos. Yessa mengangguk singkat, mengulurkan tangannya untuk menggandeng anak kecil itu menuju dapur minimalisnya. Setibanya di sana, Arby berceletuk polos pada Yessa. “Tante, Arby juga mau minum susu.” Wanita itu menoleh, “Kamu bawa susu? Ada di tas?” Arby menggeleng pelan. “Nggak ada, tapi Arby kan bisa minta susu tante.” Hampir saja Yessa meledakkan tawanya, tangannya mengusap puncak kepala bocah itu dengan gemas. “Ini Arby gak bisa minum, sayang. Susunya khusus buat tante, bukan buat ana“Kamu tunggu di sini ya, By. Tante mau ambil susu sama oatmeal tante di dapur,” ujar Yessa pada Arby yang duduk di ruang tengah. Arby menatapnya polos, kembali berdiri seolah tak mau ditinggal. “Kamu takut, ya?” goda Yessa sambil menahan kekehan. “Bukan takut, tapi Arby mau ikut tante ke sana,” balas bocah itu polos. Yessa mengangguk singkat, mengulurkan tangannya untuk menggandeng anak kecil itu menuju dapur minimalisnya. Setibanya di sana, Arby berceletuk polos pada Yessa. “Tante, Arby juga mau minum susu.” Wanita itu menoleh, “Kamu bawa susu? Ada di tas?” Arby menggeleng pelan. “Nggak ada, tapi Arby kan bisa minta susu tante.” Hampir saja Yessa meledakkan tawanya, tangannya mengusap puncak kepala bocah itu dengan gemas. “Ini Arby gak bisa minum, sayang. Susunya khusus buat tante, bukan buat ana
Yessa baru saja meninggalkan ruangan Isandro. Napasnya terengah, dadanya masih berdegup sangat cepat mendengar kata-kata pria itu. “Apa perlu saya hamili kamu dulu, supaya kamu tidak berani pergi jauh dari saya? Hm?” Apa katanya? Menghamili? “Aku bahkan udah hamil anak kamu, Mas. Tapi sampai kapan pun aku gak akan pernah kasih tahu kamu kalau aku hamil,” desis Yessa pelan di lorong rumah sakit yang sepi. Kepalanya menggeleng tegas pada kemungkinan yang akan terjadi. “Aku gak mau kalau setelah aku melahirkan anak ini, kamu ambil dia dari aku dan merawatnya bersama istri kamu,” gumamnya tajam, kedua tangannya mengepal erat di samping tubuhnya. “Bahkan istri kamu aja gak mau ngurusin anak kandungnya sendiri, apalagi anak aku? Yang notabenenya hadir bukan dalam ikatan suci pernikahan.” “Aku akan rawat anak ini sendiri, tanpa bantuan kamu,” uc
Mata Yessa membesar, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin menyangkal, ingin berbalik pergi, tapi tubuhnya justru terpaku oleh ucapan yang keluar begitu saja dari mulut Isandro—seolah tanpa kendali. “Apa maksud Anda, dok?” jemari Yessa meremas sisi pakaiannya, matanya bergetar menahan gugup. “Jangan karena Anda pernah menolong saya, Anda jadi seenaknya mengatur hidup saya seperti ini.” “Jadi saya mengatur, ya?” Suara Isandro terdengar sinis, nadanya dingin menusuk. “Menurut Anda?” balas Yessa, meski jelas-jelas ketakutan. Isandro menyipitkan mata, lalu condong sedikit ke arahnya. “Kalau saya menyerahkan bukti tumbler yang pernah berisi alkohol itu ke departemen perawat, apa itu juga namanya mengatur?” Bola mata Yessa seketika membulat. Napasnya tercekat, wajahnya memucat. Isandro menyeringai tipis
Selama satu minggu ini, Yessa tidak masuk bekerja. Padahal sebelumnya dia baru masuk, tapi besoknya sudah izin lagi karena demam. Bukan demam biasa, melainkan karena kehamilannya di trimester pertama ini benar-benar membuatnya lemas. Tapi hari ini dia akan masuk kerja kembali, karena jika dirinya tidak bekerja—dia tidak bisa menabung untuk biaya lahiran dan hidupnya ke depan setelah meninggalkan kota ini. “Gak ada yang bisa diharepin sama Mama, aku gak bisa pulang ke sana. Apalagi kalau dia tahu aku hamil, antara seneng atau marah,” gumam Yessa lirih. “Tapi pasti marah, karena aku hamil gak ada suami. Dan Mama pasti mikir, kalau Mas Saka gak akan mau sama aku,” tangannya sibuk mengemasi tasnya. Hari ini dia akan membawa camilan biskuit dan air mineral dalam tumbler-nya. Dokter kandungan bilang dia harus sering makan, meski sedikit agar perutnya tidak kosong.
Yessa baru saja tiba di apartemennya, langkahnya malas menuju kamar yang ada di lorong sebelah kanan. Ia masuk ke ruangan itu, dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. “Mama tuh maunya apa, sih?” gumam Yessa ketus, tatapannya dingin pada langit-langit kamar. “Kenapa dia gak pernah ada habisnya ngerusak kehidupan aku? Apa sih salah aku di masa lalu ke Mama? Kenapa dia begitu jahatnya sama aku sendiri?” Wanita itu menghela napas panjang, satu tangannya terangkat mengusap perutnya yang rata. “Kamu pasti kaget ya sayang, karena hari ini Mama kebanyakan emosi. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit marah.” Yessa bangkit dari duduknya, lalu segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri lalu istirahat tidur. Sementara di luar apartemennya, Isandro baru saja tiba di apartemennya. Rasa penasarannya dengan pria yang bersama Yessa tadi membuatnya datang ke sini
“Yessa Callista?” tanya seorang pria yang menghampiri Yessa sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan foto wanita itu sekilas, lalu kembali menatap Yessa lagi. Yessa mengernyit menatap pria yang tinggi tegap, mengenakan kemeja krem dan celana bahan hitam. Ia melirik dari atas sampai bawah, kemudian menjawab singkat. “Iya, Anda siapa?” Pria itu tertawa kecil sebelum memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, lalu mengulurkan tangan kanannya pada Yessa. “Nama saya Saka,” ujar pria itu memperkenalkan diri. Yessa melirik tangannya sekilas, tanpa membalas jabatan itu dia melontarkan pertanyaan lagi. “Maksud saya, Anda kenapa bisa kenal saya, Mas Saka?” Saka membasahi bibirnya lalu kembali menurunkan tangan kanannya. “Saya kenalan Bu Freya, Mama kamu bilang untuk menjemput kamu malam ini.” “Kenapa harus?” balas Yessa ketus.