Nara memacu motornya dengan kecepatan sedang cenderung tinggi. Setelah mendapat telpon dari Arka, pikirannya langsung kalut dan membayangkan yang tidak-tidak.
Ia pun akhirnya memutuskan untuk pulang, meskipun harus kembali berdebat kecil dengan Marvel karena lelaki itu tak mengijinkannya. Begitu selesai memarkirkan motornya, ia melangkah tergesa menuju lantai tiga, tempat dimana Gabby di rawat. Di depan ruang rawat, Nara bisa melihat jelas Arka sedang berdiri dengan gelisah. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru menghampirinya meskipun dengan sedikit terengah. "Ar, ada apa? Gabby nggak apa-apa kan?" tanyanya dengan napas yang memburu. Arka menoleh, mencoba tersenyum sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Tadi ... Gabby sempat kejang, Mbak, dan Mbak diminta segera menemui dokter Setya di ruangannya," ucapnya lirih sambil tertunduk. Nara terdiam sebentar, melongok ke arah kamar pasien, lalu melirik sekilas ke ujung lorong. Ia mendesah pelan, lalu mendorong pintu kamar pasien, memilih untuk bertemu sang anak dulu. Begitu masuk, hatinya kembali teriris melihat keadaan sang anak. Tubuh mungil anak itu terbaring lemah dengan selang oksigen yang masih terpasang. Matanya tertutup, napasnya naik turun dengan pelan. “Gabby … Ibu sudah di sini,” bisiknya di telinga sang anak. Air mata yang tadi berhasil ia tahan, kini kembali jatuh. Nara menunduk, mencium jemari putranya berkali-kali. Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Arka masuk bersama seorang dokter yang merawat sang anak. Dialah Dokter Setya. "Selamat sore, Bu Nara," sapanya dengan nada selembut mungkin. "Ada yang perlu saya bicarakan soal kondisi Gabriel." Nara buru-buru berdiri, menyeka air mata dengan punggung tangannya. "Iya, Dok. Bagaimana kondisi anak saya sekarang? Apa jantungnya masih aman?" Dokter Setya menarik napas panjang, lalu menatapnya penuh empati. "Kita bicarakan di ruangan saya saja bagaimana? Takutnya jika di sini, Gabriel akan dengar dan memicu jantungnya kembali terkejut." Nara menatap ke arah Gabby sebentar sebelum akhirnya mengangguk mantap. Dokter Setya melangkah lebih dahulu keluar dari ruangan, baru setelah itu Nara menyusulnya dari belakang. *** "Silakan duduk dulu, Bu Nara," ucap Dokter Setya ramah. "Terimakasih, Dok," ucap Nara seraya duduk di depan meja kerja sang dokter. Suasana pun sedikit hening dan canggung untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Dokter Setya kembali bersuara. "Jadi gini, Bu. Kami di sini sudah berusaha memberikan perawatan terbaik untuk Gabriel. Tapi sayangnya, kita butuh tindakan lanjutan. Kita harus segera melakukan operasi pemasangan ring di jantungnya. Karena kalau tidak segera ... saya khawatir kondisinya makin memburuk." Jantung Nara serasa diremas. Ia kehilangan kata-kata. Ia hanya bisa menunduk sambil memainkan jemarinya. "Harus sesegera mungkin kah, Dok? Tak bisa menunggu 3 atau 4 hari lagi? Atau mungkin minggu depan?" tanya Nara pelan, nyaris seperti bisikan. Dokter Setya mendesah pelan sebelum akhirnya menggeleng. "Tidak bisa, Bu, maaf. Saya menyarankan dalam waktu dua hari ini, kalau bisa Gabriel harus segera dilakukan tindakan." "Du-- dua hari?" tanya Nara memastikan. "Iya, Bu, dan ini hasil pemeriksaan yang kita lakukan siang tadi terkait kondisi jantung Gabriel," jawab sang dokter seraya menyerahkan selembar kertas kepadanya. Tubuh Nara seketika melemas. Ia menelan ludahnya, suaranya tercekat. "Ba-baik, Dok. Akan segera saya usahakan. Apapun, asal Gabby bisa selamat dan segera sembuh. Dokter Setya hanya mengangguk pelan, lalu segera berdiri dari duduknya dan menghampiri Nara. Ia menepuk pelan pundak wanita itu sambil berkata, "terimakasih, Bu. Kami akan menunggu keputusan ibu secepatnya. Karena setiap jam yang berlalu sangat berharga bagi Gabriel." Nara hanya mengangguk lalu segera bangkit dan ijin pamit keluar dari ruangan itu. Begitu keluar dari ruangan Setya, ia kembali melangkah menuju ruangan sang anak. Namun, ia tak langsung masuk ke dalam. Ia berdiri sejenak di sana, menggenggam erat kertas hasil pemeriksaan yang diberikan sang dokter tadi. Ia menggeleng pelan, berusaha menahan sesak dan tangis yang hampir keluar. "Astagfirullah, aku harus apa sekarang?" tanyanya lirih, kepada dirinya sendiri. Setelah beberapa saat, barulah ia berani membuka pintu kamar ruangan sang anak. Arka masih berada di sana, duduk di sebelah Gabby seraya menggenggam jemari sang anak. Nara melangkah menghampiri, lalu mengecup pelan pucuk kepala sang anak. "Bismilah ya, Nak, kita berjuang bersama ya," bisiknya pelan. "Mbak, kita harus cari jalan," ucap Arka tiba-tiba. "Aku punya ide, kita jual aja rumah peninggalan Papa Mama gimana? Terus kita ngontrak dan aku juga bakalan berhenti sekolah dan kerja buat bantu Mbak." Sontak, ide yang Arka keluarkan membuat Nara seketika terkejut. Ia menoleh lalu menggeleng dengan tegas. Ia segera menghampiri sang adik, lalu membelai rambut adik lelakinya itu dengan lembut. "Jangan pernah berpikir yang tidak-tidak, Arka! Rumah itu adalah satu-satunya harta yang kita punya dari orang tua kita. Sampai kapanpun kakak nggak akan pernah jual rumah itu," ucapnya datar tapi penuh penekanan. "Dan satu lagi, jangan pernah berpikir untuk berhenti sekolah. Jangan buat Mbak merasa kembali gagal sebagai pengganti orang tua, Dek." Arka tertunduk diam, ingin rasanya membantah tapi ia pun tak kuasa untuk melawan. Nara melangkah menjauh, memilih duduk di sofa sambil menenggelamkan wajahnya ke salah satu bantal. Dalam diamnya, bayangan tawaran Marvel kembali berputar di kepala. 'Kamu butuh uang untuk pengobatan anakmu, dan saya butuh kamu untuk memuaskan hasrat saya. Bukankah itu adil?' Kalimat itu terus terngiang di telinganya, membuat kepalanya terasa berdenyut hebat. Ia memejamkan mata sebentar, lalu meremas rambutnya dengan kedua tangan. “Ya Allah … apa ini satu-satunya jalan?”Nara mendesah pelan, bukan waktunya memikirkan Marvel sekarang. Sebaiknya, ia kembali menuju ruang perawatan, Gabby dan Arka pasti sudah menunggunya di sana.Dan benar saja, begitu ia tiba disana, Gabby sudah berganti pakaian memakai baju operasi, sementara Arka menemaninya di ranjang itu sambil bermain mobilan.Begitu melihat sang ibu di sampingnya, Gabby menoleh pelan, dan sebuah pertanyaan pun muncul dari bibir polosnya."Ibu, apa nanti Ayah akan datang setelah aku operasi seperti yang ibu bilang?"Nara terdiam. Pertanyaan itu lebih tajam daripada sebuah pisau. Dengan susah payah, ia pun memaksa untuk tersenyum dan mengelus rambut putranya."Bismilah, semoga saja ya, Nak. Karena, ayah pernah bilang, kalau Gabby udah sembuh, pasti ayah akan segera pulang. Ayah sama ibu kan kerja buat kesembuhan Gabby," ucap Nara dengan sedikit gemetar.Gabby hanya mengangguk, berharap bahwa ucapan sang ibu benar adanya. Sementara Arka, menatap sang kakak dengan heran.Nara hanya tersenyum masam dan
Udara malam Kota Jakarta terasa begitu dingin dan menusuk kulit. Tapi sayangnya, dinginnya udara malam, sama sekali tak mampu mendinginkan hati Nara yang panas.Apalagi, kilatan bayangan masa lalu itu perlahan muncul kembali di otaknya saat mencium aroma kamar dan tubuh Marvel.Nara kembali menghembuskan napas panjang begitu ia tiba di rumah sakit."Bismillah, aku harus terlihat biasa saja di depan Arka dan Gabby," ucapnya menguatkan dirinya.Dengan langkah pasti, ia pun kembali ke lantai tiga.Begitu masuk ruangan, nampak Gabby yang masih terlelap. Posisinya masih sama seperti saat ia tinggalkan tadi. Tak ada yang berubah, tenang dan damai.Sementara di sofa, Arka juga tertidur dengan posisi duduk memangku buku. Sepertinya, adiknya itu baru saja menyelesaikan PRnya dan langsung ketiduran sebelum sempat membereskannya.Arka sendiri saat ini sudah kelas 2 SMK, tinggal dua tahun lagi ia lulus, karena itu sebisa mungkin Nara tak ingin sang adik putus sekolah.Sebelum menuju ranjang Gabby
Marvel menyunggingkan bibirnya lalu menggeleng dengan tegas."Tidak, tapi aku memang ingin melihatnya. Lakukan dan akan aku berikan uangnya nanti," ucapnya kembali.Mata Nara kembali membola. Ingin rasanya menolak dan kabur, tapi sayangnya, nyalinya tak sekuat itu.Dengan tangan gemetar, ia membuka kancing blusnya satu per satu. Meskipun malu, ia sudah terlanjur masuk, jadi tak mungkin untuk mundur. Sementara di sana, tatapan Marvel terus tertuju padanya, seolah tak ingin bergeser sedikit pun.Dan setelah beberapa saat, lingerie itu akhirnya terpasang sempurna di tubuhnya. Gegas, ia menutup area dada dan bawahnya dengan kedua tangannya. Ia benar-benar malu meskipun kain tipis itu menutupi kulitnya.Marvel kembali mendekat, kali ini tanpa jarak lagi. Bahkan, hembusan napas dan detak jantungnya pun bisa Nara dengar dengan jelas.Tak lama, jemarinya mulai menyusuri wajah, dagu dan juga juga bibir Nara. Darah Nara kembali berdesir hebat, apalagi saat mencium aroma mint dari tubuh lelaki
Suasana di ruangan tetap hening, hanya bunyi detik jam yang beradu dengan detak jantung Gabby yang terdengar.Nada mendesah pelan sebelum akhirnya beranjak dari duduknya."Mbak mau keluar dulu, beli makan. Kamu mau makan apa, Ar?" tanya Nara berbasa-basi."Apa aja, Mbak," jawabnya pelan.Nada mengangguk, lalu segera keluar dari ruangan itu.Begitu keluar, ia tak langsung menuju kantin rumah sakit yang berada di bawah, melainkan duduk sebentar di kursi panjang ruang tunggu.Ia merogoh saku blazernya, mencari ponselnya dan mengeluarkannya dengan tangan yang gemeter.Ia menatap ponselnya cukup lama sebelum akhirnya ia menekan nomer Marvel dan menelponnya.Tutt ... Tutt ...Suara itu berakhir, menandakan panggilannya tak diangkat.Namun, ia tak menyerah, ini baru satu kali dan ia akan mencobanya lagi.Tuut… tuut…Tapi sayangnya, masih sama. Marvel tak kunjung mengangkatnya.Nara menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar."Mungkin, ini memang bukan jalannya," lirihnya pel
Nara memacu motornya dengan kecepatan sedang cenderung tinggi. Setelah mendapat telpon dari Arka, pikirannya langsung kalut dan membayangkan yang tidak-tidak.Ia pun akhirnya memutuskan untuk pulang, meskipun harus kembali berdebat kecil dengan Marvel karena lelaki itu tak mengijinkannya.Begitu selesai memarkirkan motornya, ia melangkah tergesa menuju lantai tiga, tempat dimana Gabby di rawat.Di depan ruang rawat, Nara bisa melihat jelas Arka sedang berdiri dengan gelisah. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru menghampirinya meskipun dengan sedikit terengah."Ar, ada apa? Gabby nggak apa-apa kan?" tanyanya dengan napas yang memburu.Arka menoleh, mencoba tersenyum sebelum akhirnya menggeleng pelan."Tadi ... Gabby sempat kejang, Mbak, dan Mbak diminta segera menemui dokter Setya di ruangannya," ucapnya lirih sambil tertunduk.Nara terdiam sebentar, melongok ke arah kamar pasien, lalu melirik sekilas ke ujung lorong. Ia mendesah pelan, lalu mendorong pintu kamar pasien, memilih untuk ber
“Layani aku malam ini, dan aku akan memberi kamu uang itu secara cuma-cuma," ucap lelaki itu dengan tenang.Meskipun diucapkan dengan tenang, nyatanya, kalimat itu membuat Nara terdiam seketika, seolah jantungnya berhenti berdetak. Bahkan, diatas pangkuannya, jemarinya nampak mengepal kuat menciptakan bekas putih di kulit tangannya.Lalu, dengan tegas ia mengatakan, "Maaf, Pak. Tapi saya datang ke sini untuk meminjam uang bukan untuk menjual diri saya."Marvel menyunggingkan bibirnya, membentuk sebuah senyuman yang terasa seperti sebuah ejekan dari pada keramahan.Perlahan, ia bangkit dari duduknya, merapikan jas mahalnya lalu menghampiri Nara yang terduduk kaku di sana."Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Nara?" tanyanya pelan, lalu dengan santai mencoba mencolek pipi Nara. Namun sayangnya, langsung di tepis oleh wanita itu."Nara, coba kamu pikirkan baik-baik tawaran saya ini. Kamu butuh uang untuk pengobatan anakmu, dan saya butuh kamu untuk memuaskan hasrat saya. Bukannya itu adil