LOGIN
“Layani aku malam ini, dan aku akan memberi kamu uang itu secara cuma-cuma," ucap lelaki itu dengan tenang.
Meskipun diucapkan dengan tenang, nyatanya, kalimat itu membuat Nara terdiam seketika, seolah jantungnya berhenti berdetak. Bahkan, diatas pangkuannya, jemarinya nampak mengepal kuat menciptakan bekas putih di kulit tangannya. Lalu, dengan tegas ia mengatakan, "Maaf, Pak. Tapi saya datang ke sini untuk meminjam uang bukan untuk menjual diri saya." Marvel menyunggingkan bibirnya, membentuk sebuah senyuman yang terasa seperti sebuah ejekan dari pada keramahan. Perlahan, ia bangkit dari duduknya, merapikan jas mahalnya lalu menghampiri Nara yang terduduk kaku di sana. "Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Nara?" tanyanya pelan, lalu dengan santai mencoba mencolek pipi Nara. Namun sayangnya, langsung di tepis oleh wanita itu. "Nara, coba kamu pikirkan baik-baik tawaran saya ini. Kamu butuh uang untuk pengobatan anakmu, dan saya butuh kamu untuk memuaskan hasrat saya. Bukannya itu adil?" Nara kembali menggeleng. "Tapi bapak sudah menikah! Saya tidak mau di anggap sebagai pelakor, apalagi mengkhianati kepercayaan yang sudah diberikan Bu Aluna kepada saya! Bu Aluna sudah baik sama saya dengan mempercayakan posisi sektretaris bapak kepada saya. Saya tak mungkin tega, Pak!" Tawa Marvel pun seketika pecah, ia menepuk pelan pipi Nara dan langsung tersenyum renyah. "Kamu seperti tidak tahu Aluna saja, Nar. Dia selalu sibuk dengan karirnya, bagaimana aku bisa puas? Apalagi, aku juga butuh seorang pewaris. Kamu mau kan, melahirkan seorang pewaris untukku?" tanyanya balik. Deg! Nara langsung terkejut mendengar itu. Apa lelaki itu gila? Dan sayangnya, ia tetap pada keputusannya. Ia tetap menggeleng dan tak akan pernah merendahkan dirinya untuk memuaskan nafsu sang bos. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa dan sepertinya saya memilih pergi, terimakasih atas tawarannya," ucapnya tegas seraya bangkit dari duduknya. Tanpa penghormatan lagi, ia gegas berbalik lalu melangkah gontai menuju pintu keluar. Harapannya mendapatkan pinjaman dari perusahaan pupus seketika. Matanya mulai memanas, namun ia berusaha untuk tetap kuat dan menahan gejolak emosi di dadanya. "Nara, pikirkan kembali. Tak usah buru-buru menjawab sekarang. Aku akan beri kamu waktu dua hari untuk berpikir," ucap Marvel begitu Nara tiba di ambang pintu. "Kamu tahu kan, jika anakmu butuh penanganan segera? Pikirkanlah baik-baik, dan aku tunggu jawabanmu." Nara kembali mengepalkan tangannya seraya memegang daun pintu dengan erat. Ia mendesah pelan, berusaha menetralkan degup jantungnya lalu berbalik. "Maaf, Pak. Sekali saya bilang tidak, ya tidak!" tegas Nara sebelum akhirnya ia kembali melangkah meninggalkan Marvel yang masih bersandar pada meja kerjanya. Sementara Marvel, hanya terkekeh pelan. "Kamu lihat saja nanti, Nara ..." *** Sekeluarnya dari ruangan Marvel, Nara tak langsung menuju meja kerjanya. Ia berbelok ke kamar mandi dahulu untuk menumpahkan segala sesak yang ada di dadanya. Di sana, ia menutup mulutnya rapat-rapat agar isakannya tak terdengar. Air matanya luruh deras, tubuhnya bergetar menahan amarah sekaligus rasa putus asa. Beberapa menit kemudian, ia membasuh wajahnya dengan air dingin, memaksa dirinya untuk kembali tegar dan juga kuat. Langkahnya masih sedikit gontai, sekalipun tidak seperti tadi saat keluar dari ruangan Marvel. Di meja kerjanya, Nara menatap kosong pada layar komputer yang masih menyala. Perlahan, pandangannya jatuh pada wallpaper komputernya, foto seorang anak kecil yang tersenyum polos dengan selang oksigen di hidungnya. “Gabby, ...,"bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Matanya kembali memanas, tapi ia buru-buru menghapusnya, takut jika air matanya akan kembali jatuh. Ia menghela napas panjang, mencoba menetralkan degup jantungnya yang berdetak lebih cepat. Ia segera mengambil keyboard dan mulai kembali mengetik. Mengerjakan pekerjaan yang sempat terhenti tadi karena harus bertemu dengan Marvel. Namun, sekuat apapun ia mencoba fokus, pikirannya terkadang masih melayang kepada Gabby yang tengah berjuang di rumah sakit sana. "Astagfirullah, aku harus kuat. Demi Gabby, aku harus bisa," ucapnya berusaha meyakinkan dirinya dari dilema yang kini melanda. Nara mencoba memfokuskan kembali pikirannya pada deretan angka di depannya. Hingga akhirnya, deringan ponselnya membuyarkan lamunannya. Nada dering itu berbeda dari biasanya, membuat Nara bergegas mengangkatnya. ["Assalamu'alaikum, Mbak, sibuk nggak?"] tanya sang penelpon dari sebrang sana. "Wa'alaikumsalam, lumayan, Ar, ada apa?" tanya Nara balik. Ternyata, telpon itu berasal dari Arka --sang adik-- yang tengah menunggu Gabby di rumah sakit. ["Tadi Dr. Setya datang dan nanyain Mbak. Katanya ada sesuatu yang harus dibicarakan sesegera mungkin."] ucapnya dengan nada yang sedikit bergetar. Dada Nara berdebar hebat, ada apa? Apa yang sebenernya terjadi dengan sang anak? Ingin rasanya ia berbicara seperti itu, namun sayangnya, lidahnya kelu. Suaranya terasa tercekat di tenggorokan. ["Mbak … bisa pulang sekarang? Ini beneran urgent."] Dan setelahnya, sambungan telpon pun terputus.Begitu tiba di parkiran motor, Arka berdiri sebentar lalu celingukan mencari motor sang kakak."Motor Mbak dimana? Kok nggak ada?" tanya Arka sedikit bingung.Nara hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. "Hari ini, Mbak dijemput sama Pak Marvel. Jadi, nggak bawa motor. Mbak nebeng kamu yah. Nanti, kita mampir di warung pecel depan gang."Arka mengangguk lalu tersenyum senang. Warung pecel depan gang adalah tempat makan favoritnya. Selain karena harganya yang murah, rasa ayam gorengnya juga bikin nagih dan enak.Ia pun segera menyalakan motornya lalu memakai helm. Nara pun segera naik di jok belakang dan memegang pinggang Arka.Perlahan, motor pun mulai melaju meninggalkan rumah sakit.Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya mereka pun tiba di warung pecel depan gang. Nara turun duluan lalu disusul oleh Arka dibelakangnya."Mau makan di sini atau bawa pulang, Ka?" tanya Nara pelan."Makan di sini aja, Mbak. Aku kangen makan berdua sama Mbak tanpa gangguan Gabby," jawabnya ceplas-cepl
"Jadi gini, Ka," ucap Nara pelan, berusaha meredam gemuruh di dadanya."Kan, Bu Aluna ini model yah. Dia itu super sibuk banget dan jarang banget buat ada di rumah. Sementara Pak Marvel, itu selalu stay di sini maksudnya di daerah sini. Paling jauh pun cuma ke Bandung itu pun untuk pekerjaan kantor. Nah, maksud Bu Aluna ini, dia minta tolong sama Mbak buat ngurus semua perlengkapan dan keperluan pribadinya Pak Marvel gitu. Jadi, Bu Aluna bisa fokus ke karirnya."Arka terdiam sesaat, mencoba mencerna ucapan dari sang kakak saat itu. Setelah beberapa saat, ia pun kembali bersuara."Jadi, Mbak kek ngurusin segala keperluan Pak Marvel gitu kah? Kek nyiapin makan, baju terus ngatur jadwal di kantor dan dirumah, gitu bukan?" tanya Arka berusaha mencerna semuanya."Yup, bener banget. Tapi, hanya sebatas itu, pikiran mu jangan kemana-mana yah," ucap Nara sambil menyentil pelan kening Arka.Arka terkekeh pelan. Sepertinya sang kakak tau kemana arah pembicaraan mereka."Asal nggak sampe kejadia
Nara kembali mendesah pelan. Ia tahu, kali ini Marvel tidak akan main-main. Ia sudah hafal karakter sang bos jika bernegosiasi. Jika ia sudah menawarkan jaminan masa depan untuk anak dan adiknya, pasti lelaki itu akan menepatinya.Tapi yang jadi masalahnya adalah harga yang harus Nara bayarkan sangatlah mahal. Ia dituntut untuk meninggalkan semua moral yang selama ini ia pegang teguh."Mau ke rumah sakit atau langsung pulang?" tanya Marvel. Suaranya terdengar lebih pelan dan juga ringan."Rumah sakit saja, Kak. Kemungkinan Gabby malam ini akan pindah ke ruang rawat. Jadi, sudah pasti saya harus mendampinginya," jawab Nara.Marvel hanya mengangguk lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.Setelah hampir setengah jam kemudian, akhirnya mobil pun tiba di parkiran rumah sakit."Sudah tidak ada rapat lagi kan setelah ini?" tanya Marvel memastikan."Sudah, Kak," jawab Nara. "Pertemuan dengan ABC Corp di reschedule ulang menjadi besok pagi, karena itu malam ini tidak jadi."Marvel kembali
Nara membelalak matanya tak percaya. Tubuhnya pun mendadak kaku dan wajahnya berubah menjadi pias. Bukan karena tawaran Marvel saja, melainkan karena cara Marvel melontarkan kata-kata itu, terlalu mudah dan juga dingin."A--apa? Apa maksud kakak?" tanya Nara dengan sedikit tergagap.Nara menggosok kupingnya pelan, berharap agar kalimat yang ia dengar tadi adalah salah. Namun, saat Marvel kembali mengatakan itu, reaksi tubuhnya tetap sama."Maksud apa? Aku hanya menawarkan bagaimana kalau kita menikah siri. Apa ada yang salah?" tanyanya lagi.Suaranya tetap sama seperti tadi, tenang dan juga dalam.Nara menggeleng pelan, ia tak percaya bahwa Marvel akan mengatakan itu dengan tiba-tiba.Hening pun kembali menyelimuti mereka berdua. Tak ada percakapan lagi, hanya ada kecanggungan yang ada. Hingga akhirnya, getaran ponsel Nara membuyarkan keheningan diantara mereka.Nara bergegas mengambil ponselnya, melihat siapa yang menelpon. Nama 'Aluna' terpampang jelas di layar ponselnya.Nara mengg
Setelah mengatakan itu, keduanya pun saling melirik satu sama lain dan mengangguk mantap.Nara segera menutup tab-nya begitu pun dengan Marvel yang segera berdiri dan merapihkan jas mahalnya."Saya akan berikan waktu 1 x 24 jam untuk Anda mempertimbangkan ulang. Jika Anda setuju dengan kenaikan maksimal 5%, kita lanjutkan. Jika tidak, anggap saja kontrak ini berakhir," tambahnya seraya berbalik.Bu Tania yang sedang terkejut itu masih diam sampai akhirnya ia bisa menguasai keadaan."Pak Marvel, tunggu!" panggil Bu Tania, namun sayangnya Marvel dan Nara sama sekali tak menggubrisnya.Keduanya melangkah dengan mantap menuju lift dan turun ke lantai bawah, tanpa sekalipun melirik ke arah belakang.Saat keduanya sudah berada di dalam mobil, Nara tak kuasa untuk tak memuji ketenangan Marvel tadi."Gila, Kak! Sumpah itu keren banget tau! Hampir semua orang tau, kalau Bu Tania itu paling susah di lobby, tapi sama kakak ... keren! Aku nggak bisa berkata-kata lagi!" seru Nara dengan antusias,
Nara terdiam. Kata-kata itu seolah menamparnya secara halus. Lelaki itu benar, sangat benar malah.Semalam, ia menikmati apa yang dilakukan oleh Marvel terhadap tubuhnya, bahkan ia bisa tidur nyenyak setelahnya. Padahal beberapa hari ini jadwal tidurnya sempat terganggu dan hanya tidur-tidur ayam.Tapi, berbeda dengan malam itu. Rasa lelah yang berada di tubuhnya seolah pergi begitu saja, meninggalkan sedikit kenyamanan di tubuhnya.Namun, tentu saja Nara malu mengakuinya. Tidak. Tidak untuk saat ini, begitu lah pikirnya.Ia menghembuskan napas pelan, menata suaranya agar terdengar biasa saja meskipun saat itu ada sedikit rasa bersalah yang mendera."Menikmati, ya? Kenapa Kakak begitu yakin jika saya menikmati sentuhan kakak semalam?" tanyanya pelan.Marvel menoleh, memicingkan matanya sedikit sebelum akhirnya kembali fokus ke jalanan macet yang ada di depannya."Entah. Tapi hanya feeling saja. Buktinya, kamu langsung menerima tawaran Aluna untuk mengurus semua keperluan saya dan ting







