Mag-log inSuasana di ruangan tetap hening, hanya bunyi detik jam yang beradu dengan detak jantung Gabby yang terdengar.
Nada mendesah pelan sebelum akhirnya beranjak dari duduknya. "Mbak mau keluar dulu, beli makan. Kamu mau makan apa, Ar?" tanya Nara berbasa-basi. "Apa aja, Mbak," jawabnya pelan. Nada mengangguk, lalu segera keluar dari ruangan itu. Begitu keluar, ia tak langsung menuju kantin rumah sakit yang berada di bawah, melainkan duduk sebentar di kursi panjang ruang tunggu. Ia merogoh saku blazernya, mencari ponselnya dan mengeluarkannya dengan tangan yang gemeter. Ia menatap ponselnya cukup lama sebelum akhirnya ia menekan nomer Marvel dan menelponnya. Tutt ... Tutt ... Suara itu berakhir, menandakan panggilannya tak diangkat. Namun, ia tak menyerah, ini baru satu kali dan ia akan mencobanya lagi. Tuut… tuut… Tapi sayangnya, masih sama. Marvel tak kunjung mengangkatnya. Nara menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Mungkin, ini memang bukan jalannya," lirihnya pelan sebelum kembali memasukkan ponselnya ke saku blazernya. Ia segera bangkit, memilih untuk segera ke kantin dan mencari makanan untuknya dan juga sang adik. Begitu hendak kembali, barulah ponselnya kembali bergetar. Nara bergegas mengambilnya dan begitu melihat nama Marvel yang terpampang di sana, jantungnya kembali berdegup kencang. Dan setelah beberapa saat, barulah ia menekan tombol hijau dengan gemetar. "Se--selamt malam, Pak ..." ["Malam. Ada apa, Nara? Maaf tadi saya sedang ada urusan."] Suara Marvel terdengar santai dari sana. Nara menahan napasnya sejenak. Air matanya hampir pecah lagi, tapi kali ini ia menahannya kuat-kuat. “Saya … saya setuju dengan tawaran Bapak.” Sejenak hening. Lalu suara tawa ringan Marvel terdengar. [“Akhirnya kamu sadar juga, Nara. Kenapa kamu lamban sekali mengambil keputusan ini, sih?!"] suara Marvel terdengar sedikit merajuk dari sana. Sementara Nara, hanya bisa diam sambil menggigit bibir bawahnya hingga nyaris berdarah. ["Baiklah, kita ketemu malam ini, jam 22.00 di Hotel XX. Aku akan segera memesan kamar, dan akan ku kirim padamu atas nama siapa kamar itu di pesan. Ingat, jangan sampai terlambat!"] Klik. Telpon pun dimatikan secara sepihak. Nata kembali menatap layar ponselnya denhan tangan yang bergetar. Bahkan hampir saja membuat plastik makanannya terjatuh, jika ia tak buru-buru menguasai keadaannya. "Tidak! Aku tidak salah, aku melakukan semuanya demi Gabby. Meskipun ... maafin ibu, Nak ...," *** Jam di ponselnya menunjukan pukul 21.55 saat Nara tiba di lobby Hotel XX. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan hanya karena rasa bersalah, namun juga karena rasa takut. Ia melangkah perlahan menuju meja resepsionis. Seorang perempuan muda menyapa dengan senyuman ramah. "Selamat malam, Bu, ada yang bisa saya bantu?" tanya dengan ramah. "Malam, Kak. Sa--saya mau ke kamar atas nama Lourens, Kak," ucapnya terbata. Sang resepsionis mengangguk sebentar lalu segera melihat ke arah komputernya. Dan tak lama, ia pun memberikan sebuah kartu akses kepadanya. "Kamar atas nama Lourens ada di lantai 8 nomer 804 ya, Bu. Ibu bisa naik di lift yang sebelah kanan sana ya," ucapnya memberi arahan. Nada mengangguk singkat lalu seger melangkah menuju lift yang di tuju. Di dalam lift, pikirannya kembali berkecamuk. Apa yang dilakukannya kali ini adalah benar? Atau ... Ting! Pintu lift terbuka begitu tiba di lantai 8. Dengan langkah perlahan ia mulai menyusuri angka-angka di sana, mencari kamar nomer 804. Saat tiba di depan pintu kamar, ia berdiam sejenak, menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan sebelum akhirnya ia men-tap kartu itu. Dengan perlahan, Nara membuka pintu itu dan sedikit terkejut saat melihat Marvel yang sudah berada di sana, seolah menunggunya meskipun saat itu posisi lelaki itu membelakanginya. "Masuklah," ucap Marvel pelan namun penuh ketegasan. Nara mengangguk pelan, lalu masuk dengan perlahan. Matanya menyapu setiap inci detail dari ruangan itu. Ruangan mewah bernuansa putih dan hitam, dengan aroma lavender yang menenangkan. Namun, sayangnya kemewahan itu tetap saja kalah dengan pesona lelaki yang berada di depannya. Dengan kemeja putih polos yang tangannya di gelung sampai ke siku, pesona Marvel terasa mendominasi. Hati Nara kembali berdesir. Antara takut, putus asa dan juga ... sekelebat bayangan masa lalu kembali mengusiknya. Gegas, ia menggeleng pelan, menepis pikiran itu jauh-jauh. Marvel berbalik dengan perlahan, ekspresinya tetap sama, datar, tenang dan dingin. Nara menunduk pandangannya, seolah tak kuat menatap wajah Marvel yang begitu mendominasi. Padahal, jika di kantor, ia sudah biasa melihat wajah Marvel, namun tidak dengan malam ini. Marvel berjalan mendekat, langkahnya pelan dan juga tidak terburu-buru bahkan suara sepatunya nyaris tak terdengar di atas lantai marmer itu. Hingga tanpa sadar, jarak keduanya kini hanya berbeda dua langkah saja. Marvel berhenti di sana, mengangkat tangannya dan meletakkannya di atas kepala Nara. Dengan gerakan perlahan, ia mengambil anak rambut yang terjatuh dan menyelipkannya ke belakang daun telinga. Tak hanya itu, ia membelai pipi Nara dengan pelan hingga akhirnya tepat di bawah dagu dan langsung menengadahkannya, agar wanita itu membalas menatap dirinya. "Kamu terlambat lima menit," bisiknya pelan. "Tatap saya, Nara." Nara hanya mengangguk. Dengan takut, ia membalas tatapan lelaki itu. Mata hitam yang tajam bagai elang, mampu membuat Nara seolah terbius. Tatapan itu menusuk tepat di jantungnya, membuat sesuatu yang berdesir hebat dan terasa ... familiar. "Jangan terlalu kaku, Nara, rileks saja," bisiknya kembali. Lagi-lagi, Nara hanya bisa mengangguk dan tak lama Marvel pun menarik wajahnya sedikit menjauh. "Aku punya sesuatu untukmu, tunggu sebentar," ucap Marvel seraya berbalik. Ia melangkah menuju meja kecil yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Dan setelah itu, ia kembali membawa sebuah kotak berwarna hitam dengan pita berwarna merah di atasnya. “Apa ini?” tanya Nara sambil menatap kotak itu dengan ekspresi bingung. “Buka saja,” balas Marvel singkat. Nara mengangguk, lalu merobek pita itu dengan tangan yang bergetar. Dan saat ia membukanya, matanya langsung membola. "I--ini apa, Pak?" tanya Nara seraya mengambil barang yang ada di dalamnya. Nara menjembrengkan kain yang ada di dalamnya. Sebuah kain berwarna biru muda yang bentuknya seperti mini dress namun begitu transparan bahkan terlihat seperti sebuah saringan tahu. Nara benar-benar tak tahu itu baju apa, karena ia memang tak pernah melihatnya sebelumnya. "Itu lingerie namanya, dan aku ... ingin kau memakainya," ucap Marvel. Nara tersentak, antara ragu dan juga malu. Apa iya, ia harus memakai baju seperti itu? "Dan satu lagi, diluar kantor, jangan pernah memanggil saya Bapak, tapi panggil saya Kakak, paham?" tanyanya kembali. Nara mengangguk pelan, tanda mengerti. Lalu, kembali menatap baju yang ada di depannya. Wajahnya sedikit memanas, dan darahnya berdesir apalagi saat melihat tatapan tajam Marvel yang seolah mengulitinya hidup-hidup. "Pakailah! Aku ingin melihat kau memakainya," ucap Marvel. Suaranya dalam dan seperti sebuah perintah. Nara mengangguk kembali, dan langkahnya mulai mundur, berniat untuk mencari kamar mandi. Namun sayangnya, baru saja hendak pergi, tangannya langsung di cekal oleh Marvel saat itu juga. "Tidak! Aku ingin kau memakainya disini, Nara," ucapnya datar dan tajam. "Di-- disini? Apa Kakak gila?"Begitu tiba di parkiran motor, Arka berdiri sebentar lalu celingukan mencari motor sang kakak."Motor Mbak dimana? Kok nggak ada?" tanya Arka sedikit bingung.Nara hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. "Hari ini, Mbak dijemput sama Pak Marvel. Jadi, nggak bawa motor. Mbak nebeng kamu yah. Nanti, kita mampir di warung pecel depan gang."Arka mengangguk lalu tersenyum senang. Warung pecel depan gang adalah tempat makan favoritnya. Selain karena harganya yang murah, rasa ayam gorengnya juga bikin nagih dan enak.Ia pun segera menyalakan motornya lalu memakai helm. Nara pun segera naik di jok belakang dan memegang pinggang Arka.Perlahan, motor pun mulai melaju meninggalkan rumah sakit.Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya mereka pun tiba di warung pecel depan gang. Nara turun duluan lalu disusul oleh Arka dibelakangnya."Mau makan di sini atau bawa pulang, Ka?" tanya Nara pelan."Makan di sini aja, Mbak. Aku kangen makan berdua sama Mbak tanpa gangguan Gabby," jawabnya ceplas-cepl
"Jadi gini, Ka," ucap Nara pelan, berusaha meredam gemuruh di dadanya."Kan, Bu Aluna ini model yah. Dia itu super sibuk banget dan jarang banget buat ada di rumah. Sementara Pak Marvel, itu selalu stay di sini maksudnya di daerah sini. Paling jauh pun cuma ke Bandung itu pun untuk pekerjaan kantor. Nah, maksud Bu Aluna ini, dia minta tolong sama Mbak buat ngurus semua perlengkapan dan keperluan pribadinya Pak Marvel gitu. Jadi, Bu Aluna bisa fokus ke karirnya."Arka terdiam sesaat, mencoba mencerna ucapan dari sang kakak saat itu. Setelah beberapa saat, ia pun kembali bersuara."Jadi, Mbak kek ngurusin segala keperluan Pak Marvel gitu kah? Kek nyiapin makan, baju terus ngatur jadwal di kantor dan dirumah, gitu bukan?" tanya Arka berusaha mencerna semuanya."Yup, bener banget. Tapi, hanya sebatas itu, pikiran mu jangan kemana-mana yah," ucap Nara sambil menyentil pelan kening Arka.Arka terkekeh pelan. Sepertinya sang kakak tau kemana arah pembicaraan mereka."Asal nggak sampe kejadia
Nara kembali mendesah pelan. Ia tahu, kali ini Marvel tidak akan main-main. Ia sudah hafal karakter sang bos jika bernegosiasi. Jika ia sudah menawarkan jaminan masa depan untuk anak dan adiknya, pasti lelaki itu akan menepatinya.Tapi yang jadi masalahnya adalah harga yang harus Nara bayarkan sangatlah mahal. Ia dituntut untuk meninggalkan semua moral yang selama ini ia pegang teguh."Mau ke rumah sakit atau langsung pulang?" tanya Marvel. Suaranya terdengar lebih pelan dan juga ringan."Rumah sakit saja, Kak. Kemungkinan Gabby malam ini akan pindah ke ruang rawat. Jadi, sudah pasti saya harus mendampinginya," jawab Nara.Marvel hanya mengangguk lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.Setelah hampir setengah jam kemudian, akhirnya mobil pun tiba di parkiran rumah sakit."Sudah tidak ada rapat lagi kan setelah ini?" tanya Marvel memastikan."Sudah, Kak," jawab Nara. "Pertemuan dengan ABC Corp di reschedule ulang menjadi besok pagi, karena itu malam ini tidak jadi."Marvel kembali
Nara membelalak matanya tak percaya. Tubuhnya pun mendadak kaku dan wajahnya berubah menjadi pias. Bukan karena tawaran Marvel saja, melainkan karena cara Marvel melontarkan kata-kata itu, terlalu mudah dan juga dingin."A--apa? Apa maksud kakak?" tanya Nara dengan sedikit tergagap.Nara menggosok kupingnya pelan, berharap agar kalimat yang ia dengar tadi adalah salah. Namun, saat Marvel kembali mengatakan itu, reaksi tubuhnya tetap sama."Maksud apa? Aku hanya menawarkan bagaimana kalau kita menikah siri. Apa ada yang salah?" tanyanya lagi.Suaranya tetap sama seperti tadi, tenang dan juga dalam.Nara menggeleng pelan, ia tak percaya bahwa Marvel akan mengatakan itu dengan tiba-tiba.Hening pun kembali menyelimuti mereka berdua. Tak ada percakapan lagi, hanya ada kecanggungan yang ada. Hingga akhirnya, getaran ponsel Nara membuyarkan keheningan diantara mereka.Nara bergegas mengambil ponselnya, melihat siapa yang menelpon. Nama 'Aluna' terpampang jelas di layar ponselnya.Nara mengg
Setelah mengatakan itu, keduanya pun saling melirik satu sama lain dan mengangguk mantap.Nara segera menutup tab-nya begitu pun dengan Marvel yang segera berdiri dan merapihkan jas mahalnya."Saya akan berikan waktu 1 x 24 jam untuk Anda mempertimbangkan ulang. Jika Anda setuju dengan kenaikan maksimal 5%, kita lanjutkan. Jika tidak, anggap saja kontrak ini berakhir," tambahnya seraya berbalik.Bu Tania yang sedang terkejut itu masih diam sampai akhirnya ia bisa menguasai keadaan."Pak Marvel, tunggu!" panggil Bu Tania, namun sayangnya Marvel dan Nara sama sekali tak menggubrisnya.Keduanya melangkah dengan mantap menuju lift dan turun ke lantai bawah, tanpa sekalipun melirik ke arah belakang.Saat keduanya sudah berada di dalam mobil, Nara tak kuasa untuk tak memuji ketenangan Marvel tadi."Gila, Kak! Sumpah itu keren banget tau! Hampir semua orang tau, kalau Bu Tania itu paling susah di lobby, tapi sama kakak ... keren! Aku nggak bisa berkata-kata lagi!" seru Nara dengan antusias,
Nara terdiam. Kata-kata itu seolah menamparnya secara halus. Lelaki itu benar, sangat benar malah.Semalam, ia menikmati apa yang dilakukan oleh Marvel terhadap tubuhnya, bahkan ia bisa tidur nyenyak setelahnya. Padahal beberapa hari ini jadwal tidurnya sempat terganggu dan hanya tidur-tidur ayam.Tapi, berbeda dengan malam itu. Rasa lelah yang berada di tubuhnya seolah pergi begitu saja, meninggalkan sedikit kenyamanan di tubuhnya.Namun, tentu saja Nara malu mengakuinya. Tidak. Tidak untuk saat ini, begitu lah pikirnya.Ia menghembuskan napas pelan, menata suaranya agar terdengar biasa saja meskipun saat itu ada sedikit rasa bersalah yang mendera."Menikmati, ya? Kenapa Kakak begitu yakin jika saya menikmati sentuhan kakak semalam?" tanyanya pelan.Marvel menoleh, memicingkan matanya sedikit sebelum akhirnya kembali fokus ke jalanan macet yang ada di depannya."Entah. Tapi hanya feeling saja. Buktinya, kamu langsung menerima tawaran Aluna untuk mengurus semua keperluan saya dan ting







