Udara malam Kota Jakarta terasa begitu dingin dan menusuk kulit. Tapi sayangnya, dinginnya udara malam, sama sekali tak mampu mendinginkan hati Nara yang panas.
Apalagi, kilatan bayangan masa lalu itu perlahan muncul kembali di otaknya saat mencium aroma kamar dan tubuh Marvel. Nara kembali menghembuskan napas panjang begitu ia tiba di rumah sakit. "Bismillah, aku harus terlihat biasa saja di depan Arka dan Gabby," ucapnya menguatkan dirinya. Dengan langkah pasti, ia pun kembali ke lantai tiga. Begitu masuk ruangan, nampak Gabby yang masih terlelap. Posisinya masih sama seperti saat ia tinggalkan tadi. Tak ada yang berubah, tenang dan damai. Sementara di sofa, Arka juga tertidur dengan posisi duduk memangku buku. Sepertinya, adiknya itu baru saja menyelesaikan PRnya dan langsung ketiduran sebelum sempat membereskannya. Arka sendiri saat ini sudah kelas 2 SMK, tinggal dua tahun lagi ia lulus, karena itu sebisa mungkin Nara tak ingin sang adik putus sekolah. Sebelum menuju ranjang Gabby, ia memilih untuk menghampiri sang adik dahulu, membereskan semua bukunya dan mengubah posisi Arka agar tidur dengan benar. Namun, begitu ia menyelimuti sang adik, suara lirih Arka kembali terdengar. "Mbak," lirih Arka pelan, suaranya parau, matanya setengah terbuka. "Sstt, tidur lagi, masih malam," ucap Nara seraya membelai pucuk kepala sang adik. Arka hanya mengangguk, lalu kembali menutup matanya dan terlelap. Setelah memastikan Arka benar-benar terlelap, barulah ia kembali ke samping ranjang sang anak. Nara duduk di samping ranjang, membelai lembut rambut sang anak dan mengecup pelan keningnya. Tak ada pergerakan apapun dari Gabby, sepertinya sang anak pun sama seperti sang adik, begitu pulas terlelap. Nara melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB. Besok, ia harus kembali bekerja, tapi matanya sama sekali tak bisa terpejam. Bahkan, rasa kantuk pun sama sekali tak menyerangnya. Ia pun memutuskan untuk pergi ke bawah, lebih tepatnya ke ruang pendaftaran untuk membayar tagihan rumah sakit sang anak. "Malam, Mbak," salam Nara ramah. "Malam juga, Bu Nara. Tumben malam-malam begini ke sini, ada apa?" tanya seorang perempuan yang bertugas di sana dengan ramah "Aku mau bayar biaya perawatan serta operasinya Gabriel Putra Aksa, Mbak, bisa kan ya?" tanya Nara balik. Perempuan itu kembali tersenyum dan mengangguk. "Tunggu sebentar ya, Bu, biar saya cek dulu semua tagihannya," ucap perempuan itu. Selang beberapa menit kemudian, perempuan itu kembali berbicara, "untuk tagihan semuanya total dua ratus lima puluh juta, Bu. Sudah termasuk biaya pemasangan ring dan biaya rawat inap sampai tujuh hari ke depan. Ibu mau bayar setengahnya dulu atau gimana?" "Saya lunasi semuanya saja, Mbak. Debet yah," jawab Nara. Perempuan itu mengangguk pelan lalu segera menyiapkan berkas pembayarannya. Nara pun menunggunya dengan sabar sambil sesekali mengambil napas pelan untuk meredam kegugupannya. Selang sepuluh menit kemudian, proses pembiayaan Gabby pun telah selesai. Nara menghembuskan napas lega, setidaknya, ia tak perlu pusing memikirkan biaya rumah sakit itu. Namun di dalam hatinya, ia sendiri kembali ragu dan risau. "Tuhan, aku hanya ingin Gabby sembuh. Maafkan jika caraku mendapatkan uang itu sangat kotor, Tuhan ...." *** Pagi mulai menyapa, cahaya mentari perlahan mulai masuk menembus sela-sela gorden rumah sakit. Nara masih setia berada di sisi Gabby saat itu. Hingga tak lama, sang anak pun terbangun di sampingnya. "Ibu ...,"lirihnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Ibu di sini, Sayang. Ada apa?" tanya Nara sedikit khawatir. “Aku mimpi ketemu Ayah …” suaranya hampir tak terdengar. Nara tercekat dan tubuhnya membeku. Lidahnya pun terasa kelu, tak tahu harus menjawab apa. Air matanya nyaris jatuh lagi, tapi segera ia usap. “Ssst … yang penting kamu sembuh dulu, ya. Jangan mikirin yang lain.” Gabby mengangguk pelan. Tak lama, pintu ruangan pun terbuka. Seorang perawat masuk ke dalam seraya membawa sebuah map berwarna biru muda. "Selamat pagi, Bu Nara, Adek Gabriel," sapanya ramah. "Pagi juga, Sus," ucap Nara lembut. "Kita bersiap, yuk. Operasi pemasangan ring akan dilakukan sekitar pukul 10.00 pagi ini," ucap perawat itu kembali. Mata Nara membelalak, secepat itu? Apa mungkin? "O--operasinya hari ini, Sus?" tanya Nara tak percaya. Sang suster mengangguk mantap. "Benar, Bu. Dokter Setya sudah menjadwalkan hari ini dari sebulan lalu. Jadi, kita harus segera." Nara mengangguk tegas, meski jantungnya seakan melorot. Bagaimana ini? Hari ini ada banyak pekerjaan yang harus di selesaikan. Tapi Gabby akan operasi hari ini. Tak lama,. perawat tadi pun menyerahkan beberapa berkas kepada Nara. "Silahkan diurus berkas tambahan ini ya, Bu. Jika sudah selesai, kita akan segera membawa adik Gabriel ke lantai 5," ucap perawat itu mengingatkan." Nara mengangguk ragu, lalu menatap Gabby lama. "Masih ada Mas Arka kan, Bu? Ibu ke bawah aja," ucap Gabby pelan. Nara mengangguk, Arka memang belum berangkat, ia masih bersiap memakai seragamnya begitu perawat tiba. Jadi, saat mendengar itu, ia pun memutuskan untuk tidak sekolah dan memilih untuk menemani Nara. Nara pun lalu mengecup pucuk kepala sang anak, lalu bergegas ke lantai bawah untuk mengurus semua administrasi tambahannya. Begitu selesai dengan berkas milik Gabby, ia tak langsung menuju ruang ranap, tetapi berhenti dahulu di ujung lorong. Ia kembali mengecek ponselnya, melihat jadwal rapat hari ini. Ada tiga rapat penting yang harus dilakukan oleh Marvel dan sebagai sekretaris sudah seharusnya ia mendampingi sang bos dalam agenda itu. Tapi ... ia benar bingung dan tak tau harus berbuat apa. Setelah beberapa saat diam, akhirnya ia memilih untuk menelpon Marvel, berharap lelaki itu dapat memberinya sedikit kelonggaran. "Se--selamat ...," salam Nara terpotong begitu saja oleh suara di sebrang sana. ["Ada apa?"] potong Marvel cepat. "Ha--hari ini Gabby harus operasi. Tapi, ada tiga agenda rapat yang dijadwalkan hari ini," ucap Nara pelan. ["Lalu?"] tanya Marvel datar. Suaranya terdengar dingin. "Ma--maaf, Pak. Saya tak mungkin bisa bekerja hari ini. Saya tak mungkin meninggalkan Gabby sendirian. Jadi, apa bapak bisa mengurus rapatnya sendiri. Saya akan kirim berkas-berkasnya melalui surel," ucap Nara pada akhirnya. Jantungnya berdegup kencang. Detik demi detik terasa begitu lama hanya untuk mendapatkan ijin dari Marvel. Setelah hampir tiga puluh detik menunggu, baru lah Marvel memberikan sebuah jawaban. ["Cancel semua agenda hari ini, dan reschedule ulang jadwal pertemuan bersama mereka."] "Ta-tapi, Pak, di antara ketiga itu ada satu pertemuan penting dengan PT Agra, itu adalah perusahaan supplier terbesar. Apa bapak yakin mau di cancel juga? Jarang-jarang ..." ucapan Nara pun kembali di potong oleh lelaki itu. ["Ya! Supplier tak hanya dia, kita bisa cari yanh lain. Lalu, masalahnya dimana?"] tanyanya cepat. "Ya ... nggak, sih, Pak, cuma ...," ucap Nara gugup. ["Ya sudah lakukan saja sesuai perintahku. Kau juga harus istirahat. Ingat, nanti malam adalah waktu kita, jangan pura-pura lupa, Nara!"] Klik. Belum sempat Nara menjawab, telpon pun langsung tertutup sepihak. Nara mengambil napas panjang sambil melihat layar ponsel yang menggelap. Entah, ia harus bersyukur atau tidak. Di satu sisi ia bersyukur bisa menemani sang anak operasi. Tapi di satu sisi, ia merasa Marvel tetap menuntut haknya dan ia merasa bahwa mulai hari ini, hidupnya seakan dikendalikan oleh sang bos. Membuatnya seakan terjebak dalam jurang yang semakin dalam.Nara mendesah pelan, bukan waktunya memikirkan Marvel sekarang. Sebaiknya, ia kembali menuju ruang perawatan, Gabby dan Arka pasti sudah menunggunya di sana.Dan benar saja, begitu ia tiba disana, Gabby sudah berganti pakaian memakai baju operasi, sementara Arka menemaninya di ranjang itu sambil bermain mobilan.Begitu melihat sang ibu di sampingnya, Gabby menoleh pelan, dan sebuah pertanyaan pun muncul dari bibir polosnya."Ibu, apa nanti Ayah akan datang setelah aku operasi seperti yang ibu bilang?"Nara terdiam. Pertanyaan itu lebih tajam daripada sebuah pisau. Dengan susah payah, ia pun memaksa untuk tersenyum dan mengelus rambut putranya."Bismilah, semoga saja ya, Nak. Karena, ayah pernah bilang, kalau Gabby udah sembuh, pasti ayah akan segera pulang. Ayah sama ibu kan kerja buat kesembuhan Gabby," ucap Nara dengan sedikit gemetar.Gabby hanya mengangguk, berharap bahwa ucapan sang ibu benar adanya. Sementara Arka, menatap sang kakak dengan heran.Nara hanya tersenyum masam dan
Udara malam Kota Jakarta terasa begitu dingin dan menusuk kulit. Tapi sayangnya, dinginnya udara malam, sama sekali tak mampu mendinginkan hati Nara yang panas.Apalagi, kilatan bayangan masa lalu itu perlahan muncul kembali di otaknya saat mencium aroma kamar dan tubuh Marvel.Nara kembali menghembuskan napas panjang begitu ia tiba di rumah sakit."Bismillah, aku harus terlihat biasa saja di depan Arka dan Gabby," ucapnya menguatkan dirinya.Dengan langkah pasti, ia pun kembali ke lantai tiga.Begitu masuk ruangan, nampak Gabby yang masih terlelap. Posisinya masih sama seperti saat ia tinggalkan tadi. Tak ada yang berubah, tenang dan damai.Sementara di sofa, Arka juga tertidur dengan posisi duduk memangku buku. Sepertinya, adiknya itu baru saja menyelesaikan PRnya dan langsung ketiduran sebelum sempat membereskannya.Arka sendiri saat ini sudah kelas 2 SMK, tinggal dua tahun lagi ia lulus, karena itu sebisa mungkin Nara tak ingin sang adik putus sekolah.Sebelum menuju ranjang Gabby
Marvel menyunggingkan bibirnya lalu menggeleng dengan tegas."Tidak, tapi aku memang ingin melihatnya. Lakukan dan akan aku berikan uangnya nanti," ucapnya kembali.Mata Nara kembali membola. Ingin rasanya menolak dan kabur, tapi sayangnya, nyalinya tak sekuat itu.Dengan tangan gemetar, ia membuka kancing blusnya satu per satu. Meskipun malu, ia sudah terlanjur masuk, jadi tak mungkin untuk mundur. Sementara di sana, tatapan Marvel terus tertuju padanya, seolah tak ingin bergeser sedikit pun.Dan setelah beberapa saat, lingerie itu akhirnya terpasang sempurna di tubuhnya. Gegas, ia menutup area dada dan bawahnya dengan kedua tangannya. Ia benar-benar malu meskipun kain tipis itu menutupi kulitnya.Marvel kembali mendekat, kali ini tanpa jarak lagi. Bahkan, hembusan napas dan detak jantungnya pun bisa Nara dengar dengan jelas.Tak lama, jemarinya mulai menyusuri wajah, dagu dan juga juga bibir Nara. Darah Nara kembali berdesir hebat, apalagi saat mencium aroma mint dari tubuh lelaki
Suasana di ruangan tetap hening, hanya bunyi detik jam yang beradu dengan detak jantung Gabby yang terdengar.Nada mendesah pelan sebelum akhirnya beranjak dari duduknya."Mbak mau keluar dulu, beli makan. Kamu mau makan apa, Ar?" tanya Nara berbasa-basi."Apa aja, Mbak," jawabnya pelan.Nada mengangguk, lalu segera keluar dari ruangan itu.Begitu keluar, ia tak langsung menuju kantin rumah sakit yang berada di bawah, melainkan duduk sebentar di kursi panjang ruang tunggu.Ia merogoh saku blazernya, mencari ponselnya dan mengeluarkannya dengan tangan yang gemeter.Ia menatap ponselnya cukup lama sebelum akhirnya ia menekan nomer Marvel dan menelponnya.Tutt ... Tutt ...Suara itu berakhir, menandakan panggilannya tak diangkat.Namun, ia tak menyerah, ini baru satu kali dan ia akan mencobanya lagi.Tuut… tuut…Tapi sayangnya, masih sama. Marvel tak kunjung mengangkatnya.Nara menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar."Mungkin, ini memang bukan jalannya," lirihnya pel
Nara memacu motornya dengan kecepatan sedang cenderung tinggi. Setelah mendapat telpon dari Arka, pikirannya langsung kalut dan membayangkan yang tidak-tidak.Ia pun akhirnya memutuskan untuk pulang, meskipun harus kembali berdebat kecil dengan Marvel karena lelaki itu tak mengijinkannya.Begitu selesai memarkirkan motornya, ia melangkah tergesa menuju lantai tiga, tempat dimana Gabby di rawat.Di depan ruang rawat, Nara bisa melihat jelas Arka sedang berdiri dengan gelisah. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru menghampirinya meskipun dengan sedikit terengah."Ar, ada apa? Gabby nggak apa-apa kan?" tanyanya dengan napas yang memburu.Arka menoleh, mencoba tersenyum sebelum akhirnya menggeleng pelan."Tadi ... Gabby sempat kejang, Mbak, dan Mbak diminta segera menemui dokter Setya di ruangannya," ucapnya lirih sambil tertunduk.Nara terdiam sebentar, melongok ke arah kamar pasien, lalu melirik sekilas ke ujung lorong. Ia mendesah pelan, lalu mendorong pintu kamar pasien, memilih untuk ber
“Layani aku malam ini, dan aku akan memberi kamu uang itu secara cuma-cuma," ucap lelaki itu dengan tenang.Meskipun diucapkan dengan tenang, nyatanya, kalimat itu membuat Nara terdiam seketika, seolah jantungnya berhenti berdetak. Bahkan, diatas pangkuannya, jemarinya nampak mengepal kuat menciptakan bekas putih di kulit tangannya.Lalu, dengan tegas ia mengatakan, "Maaf, Pak. Tapi saya datang ke sini untuk meminjam uang bukan untuk menjual diri saya."Marvel menyunggingkan bibirnya, membentuk sebuah senyuman yang terasa seperti sebuah ejekan dari pada keramahan.Perlahan, ia bangkit dari duduknya, merapikan jas mahalnya lalu menghampiri Nara yang terduduk kaku di sana."Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Nara?" tanyanya pelan, lalu dengan santai mencoba mencolek pipi Nara. Namun sayangnya, langsung di tepis oleh wanita itu."Nara, coba kamu pikirkan baik-baik tawaran saya ini. Kamu butuh uang untuk pengobatan anakmu, dan saya butuh kamu untuk memuaskan hasrat saya. Bukannya itu adil