LOGINNara mendesah pelan, bukan waktunya memikirkan Marvel sekarang. Sebaiknya, ia kembali menuju ruang perawatan, Gabby dan Arka pasti sudah menunggunya di sana.
Dan benar saja, begitu ia tiba disana, Gabby sudah berganti pakaian memakai baju operasi, sementara Arka menemaninya di ranjang itu sambil bermain mobilan. Begitu melihat sang ibu di sampingnya, Gabby menoleh pelan, dan sebuah pertanyaan pun muncul dari bibir polosnya. "Ibu, apa nanti Ayah akan datang setelah aku operasi seperti yang ibu bilang?" Nara terdiam. Pertanyaan itu lebih tajam daripada sebuah pisau. Dengan susah payah, ia pun memaksa untuk tersenyum dan mengelus rambut putranya. "Bismilah, semoga saja ya, Nak. Karena, ayah pernah bilang, kalau Gabby udah sembuh, pasti ayah akan segera pulang. Ayah sama ibu kan kerja buat kesembuhan Gabby," ucap Nara dengan sedikit gemetar. Gabby hanya mengangguk, berharap bahwa ucapan sang ibu benar adanya. Sementara Arka, menatap sang kakak dengan heran. Nara hanya tersenyum masam dan mengangguk, seolah jangan bicara itu sekarang. Setelah beberapa saat, seorang perawat pun datang lagi ke kamar Gabby. "Pagi Adek Ganteng, sudah siap hari ini?" tanya perawat itu dengan ramah. "Siap, Sus. Gabby udah capek di tusuk jarum terus tangannya. Jadi, pingin cepet-cepet sembuh," jawabnya dengan sumringah meskipun wajahnya masih sedikit pucat. "Alhamdulillah kalau gitu. Yuk, kita ke lantai lima, Dokter Setya sudah menunggu di sana," ucap perawat itu kembali dan mendapat anggukan dari Gabby. Nara dan Arka pun bergegas membantu sang perawat mendorong brankar itu menuju lantai 5. "Untuk pengantar cukup antar sampai sini, ya. Ibu dan Masnya bisa menunggu di ruang tunggu sebelah sana. Jalannya lewat sana ya," ucap perawat itu kembali begitu mereka tiba di ruang operasi. Arka dan Nara mengangguk ragu. Sebelum benar-benar pergi, ia pun kembali memeluk tubuh sang anak dan mengecupnya dengan lembut. "Gabby anak hebat ya, kuat sayang di dalam ya," ucap Nara dan hanya mendapat anggukan dari Gabby. Dan setelah itu, brankar pun perlahan di dorong masuk ke dalam ruang operasi. "Ayo, Mbak," ajak Arka setelah pintu itu tertutup sempurna'. Nara mengangguk pelan. Keduanya pun melangkah menuju ruang tunggu dengan langkah yang sedikit goyah. Begitu tiba di sana, Nara kembali mengusap wajahnya kasar sambil memijat pelipisnya pelan. "Mbak ...," panggil Arka lirih, nyaris berbisik. Nara menoleh. Tapi, Arka bungkam seketika. Ia menundukkan pandangannya, menatap ke arah lantai putih di depannya. Nara tersenyum masam, seolah tau apa yang di pikirkan sang adik saat itu. Nara pun mengusap lembut punggung sang adik dan kembali bersuara. "Alhamdulillah, Mbak dapet pinjaman dari kantor, Ka. Sekarang, kita tinggal doain Gabby aja ya, biar segera sembuh dan operasinya berjalan lancar," ucap Nara lirih. Arka menghembuskan napas lega dan mengangguk mantap. "Alhamdulillah kalau beneran dapet pinjaman dari kantor mah, Mbak. Asal Mbak jangan sampai jual diri ya, Mbak. Aku nggak mau kejadian lahirnya Gabby ke ulang lagi," ucapnya pelan. Deg! Hati Nara kembali berdenyut nyeri. Ucapan itu ... kata-kata itu, seolah kembali menghantamnya. Andai saja ... andai saja sang adik tau apa yang sebenarnya ia lakukan, mungkin saat ini ... Nara menggeleng pelan, bukan saatnya. Ia melakukan ini demi sang anak, demi Gabby agar bisa segera sembuh. *** Dua jam berlalu dengan lambat bagi Nara saat itu. Beberapa kali ia melihat ke arah lampu indikator, namun belum ada perubahan. Lampu itu masih padam dan belum menyala, menandakan bahwa operasi belum selesai. "Mbak, aku cari makan siang dulu, ya. Mbak mau makan apa?" tanya Arka mengalihkan pembicaraannya. "Beliin Mbak kopi aja, Ar. Mbak lagi nggak pingin makan," jawan Nara. Arka hanya mengangguk lalu segera pergi dari sana. Sementara Nara masih di sana, bergelayut dengan pikirannya yang tak pasti. Ia akhirnya bangkit, berjalan-jalan pelan di sekitar ruang tunggu sepertinya bisa membuatnya sedikit tenang. Tapi sayangnya, ketenangan itu sama sekali tak muncul. Justru rasa takut lah yang kembali bergelayut. Ia kembali duduk di kursi, mengangkat tangannya, dan mengusap wajahnya yang hampir kembali mengeluarkan air mata. "Ya Tuhan ... lindungi Gabby," bisiknya pelan, nyaris putus asa. Dan saat itulah, dari sudut mata, ia melihat bayangan seseorang di ujung lorong. Refleks ia menoleh, memastikan pandangannya tidak salah. Tiba-tiba, seluruh tubuhnya langsung membeku, bahkan napasnya pun terasa sesak. Apa yang dilakukan lelaki itu di sana?Begitu tiba di parkiran motor, Arka berdiri sebentar lalu celingukan mencari motor sang kakak."Motor Mbak dimana? Kok nggak ada?" tanya Arka sedikit bingung.Nara hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. "Hari ini, Mbak dijemput sama Pak Marvel. Jadi, nggak bawa motor. Mbak nebeng kamu yah. Nanti, kita mampir di warung pecel depan gang."Arka mengangguk lalu tersenyum senang. Warung pecel depan gang adalah tempat makan favoritnya. Selain karena harganya yang murah, rasa ayam gorengnya juga bikin nagih dan enak.Ia pun segera menyalakan motornya lalu memakai helm. Nara pun segera naik di jok belakang dan memegang pinggang Arka.Perlahan, motor pun mulai melaju meninggalkan rumah sakit.Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya mereka pun tiba di warung pecel depan gang. Nara turun duluan lalu disusul oleh Arka dibelakangnya."Mau makan di sini atau bawa pulang, Ka?" tanya Nara pelan."Makan di sini aja, Mbak. Aku kangen makan berdua sama Mbak tanpa gangguan Gabby," jawabnya ceplas-cepl
"Jadi gini, Ka," ucap Nara pelan, berusaha meredam gemuruh di dadanya."Kan, Bu Aluna ini model yah. Dia itu super sibuk banget dan jarang banget buat ada di rumah. Sementara Pak Marvel, itu selalu stay di sini maksudnya di daerah sini. Paling jauh pun cuma ke Bandung itu pun untuk pekerjaan kantor. Nah, maksud Bu Aluna ini, dia minta tolong sama Mbak buat ngurus semua perlengkapan dan keperluan pribadinya Pak Marvel gitu. Jadi, Bu Aluna bisa fokus ke karirnya."Arka terdiam sesaat, mencoba mencerna ucapan dari sang kakak saat itu. Setelah beberapa saat, ia pun kembali bersuara."Jadi, Mbak kek ngurusin segala keperluan Pak Marvel gitu kah? Kek nyiapin makan, baju terus ngatur jadwal di kantor dan dirumah, gitu bukan?" tanya Arka berusaha mencerna semuanya."Yup, bener banget. Tapi, hanya sebatas itu, pikiran mu jangan kemana-mana yah," ucap Nara sambil menyentil pelan kening Arka.Arka terkekeh pelan. Sepertinya sang kakak tau kemana arah pembicaraan mereka."Asal nggak sampe kejadia
Nara kembali mendesah pelan. Ia tahu, kali ini Marvel tidak akan main-main. Ia sudah hafal karakter sang bos jika bernegosiasi. Jika ia sudah menawarkan jaminan masa depan untuk anak dan adiknya, pasti lelaki itu akan menepatinya.Tapi yang jadi masalahnya adalah harga yang harus Nara bayarkan sangatlah mahal. Ia dituntut untuk meninggalkan semua moral yang selama ini ia pegang teguh."Mau ke rumah sakit atau langsung pulang?" tanya Marvel. Suaranya terdengar lebih pelan dan juga ringan."Rumah sakit saja, Kak. Kemungkinan Gabby malam ini akan pindah ke ruang rawat. Jadi, sudah pasti saya harus mendampinginya," jawab Nara.Marvel hanya mengangguk lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.Setelah hampir setengah jam kemudian, akhirnya mobil pun tiba di parkiran rumah sakit."Sudah tidak ada rapat lagi kan setelah ini?" tanya Marvel memastikan."Sudah, Kak," jawab Nara. "Pertemuan dengan ABC Corp di reschedule ulang menjadi besok pagi, karena itu malam ini tidak jadi."Marvel kembali
Nara membelalak matanya tak percaya. Tubuhnya pun mendadak kaku dan wajahnya berubah menjadi pias. Bukan karena tawaran Marvel saja, melainkan karena cara Marvel melontarkan kata-kata itu, terlalu mudah dan juga dingin."A--apa? Apa maksud kakak?" tanya Nara dengan sedikit tergagap.Nara menggosok kupingnya pelan, berharap agar kalimat yang ia dengar tadi adalah salah. Namun, saat Marvel kembali mengatakan itu, reaksi tubuhnya tetap sama."Maksud apa? Aku hanya menawarkan bagaimana kalau kita menikah siri. Apa ada yang salah?" tanyanya lagi.Suaranya tetap sama seperti tadi, tenang dan juga dalam.Nara menggeleng pelan, ia tak percaya bahwa Marvel akan mengatakan itu dengan tiba-tiba.Hening pun kembali menyelimuti mereka berdua. Tak ada percakapan lagi, hanya ada kecanggungan yang ada. Hingga akhirnya, getaran ponsel Nara membuyarkan keheningan diantara mereka.Nara bergegas mengambil ponselnya, melihat siapa yang menelpon. Nama 'Aluna' terpampang jelas di layar ponselnya.Nara mengg
Setelah mengatakan itu, keduanya pun saling melirik satu sama lain dan mengangguk mantap.Nara segera menutup tab-nya begitu pun dengan Marvel yang segera berdiri dan merapihkan jas mahalnya."Saya akan berikan waktu 1 x 24 jam untuk Anda mempertimbangkan ulang. Jika Anda setuju dengan kenaikan maksimal 5%, kita lanjutkan. Jika tidak, anggap saja kontrak ini berakhir," tambahnya seraya berbalik.Bu Tania yang sedang terkejut itu masih diam sampai akhirnya ia bisa menguasai keadaan."Pak Marvel, tunggu!" panggil Bu Tania, namun sayangnya Marvel dan Nara sama sekali tak menggubrisnya.Keduanya melangkah dengan mantap menuju lift dan turun ke lantai bawah, tanpa sekalipun melirik ke arah belakang.Saat keduanya sudah berada di dalam mobil, Nara tak kuasa untuk tak memuji ketenangan Marvel tadi."Gila, Kak! Sumpah itu keren banget tau! Hampir semua orang tau, kalau Bu Tania itu paling susah di lobby, tapi sama kakak ... keren! Aku nggak bisa berkata-kata lagi!" seru Nara dengan antusias,
Nara terdiam. Kata-kata itu seolah menamparnya secara halus. Lelaki itu benar, sangat benar malah.Semalam, ia menikmati apa yang dilakukan oleh Marvel terhadap tubuhnya, bahkan ia bisa tidur nyenyak setelahnya. Padahal beberapa hari ini jadwal tidurnya sempat terganggu dan hanya tidur-tidur ayam.Tapi, berbeda dengan malam itu. Rasa lelah yang berada di tubuhnya seolah pergi begitu saja, meninggalkan sedikit kenyamanan di tubuhnya.Namun, tentu saja Nara malu mengakuinya. Tidak. Tidak untuk saat ini, begitu lah pikirnya.Ia menghembuskan napas pelan, menata suaranya agar terdengar biasa saja meskipun saat itu ada sedikit rasa bersalah yang mendera."Menikmati, ya? Kenapa Kakak begitu yakin jika saya menikmati sentuhan kakak semalam?" tanyanya pelan.Marvel menoleh, memicingkan matanya sedikit sebelum akhirnya kembali fokus ke jalanan macet yang ada di depannya."Entah. Tapi hanya feeling saja. Buktinya, kamu langsung menerima tawaran Aluna untuk mengurus semua keperluan saya dan ting







