Seorang pria yang sudah dikenal Nathan langsung masuk, ia nampak terkejut melihat Nathan yang terbatuk-batuk, ia melihat ke atas meja, terhidang beberapa potong sandwich yang terlihat menggugah selera. Nathan segera meraih gelas dan meneguk air putih untuk menetralisir tersedaknya.
“Brengsek! Kenapa masuk nggak ketuk pintu dulu?” hardik Nathan.
Lelaki yang baru datang itu menggaruk rambutnya sambil nyengir, “He he, sorry bos, aku lupa,” jawab Michael polos. Tanpa disuruh ia langsung duduk di samping Nathan.
“Wah, sepertinya lezat, Tan. Aku nggak ditawari, nih?” Rengek Michael sambil menatap sandwich di meja.
“Memang belum sarapan, Mike?” tanya Nathan melanjutkan makannya, Michael menggeleng.
“Ya sudah, ambil sepotong aja, jangan lebih,” tegas Nathan.
“Ha ha ha, sejak kapan bos yang satu ini pelit sama sarapan, biasanya kalau makanan langsung dikasih aku untuk dihabiskan.” Michael tertawa sambil menggerutu, namun tangannnya aktif meraih sepotong sandwich.
“Ck, berisik! Ini beda, ini spesial.” Kedua pria itu sibuk mengunyah makanan di atas meja hingga ludes tak bersisa.
“Tan, enak banget. Pesan di mana? aku mau pesan juga besok.” Michael berkata serius.
“Enak, kan?” tanya Nathan sambil tersenyum.
“Nagih,” jawab Michael, “beli di mana? aku mau pesan.” Nathan tidak menjawab, pria itu hanya tersenyum.
“Ya elah, Tan. Aku mau beli sendiri, gak minta ditraktir, kasih aku nomor teleponnya aja, aku mau pesan.”
“Ck, apa sih, Mike. Itu kan hanya sandwich, kamu bisa pesan di mana pun.” Nathan beralasan, ia tidak mungkin mengatakan kalau itu buatan Nina, belum waktunya sahabatnya ini tahu.
“ini beda, Tan. Seperti buatan chef terkenal.” Michael berkata serius, “kamu tahu kan, aku tuh penggila kuliner, jadi bisa tahu mana buatan tangan orang biasa, mana buatan seorang chef.”
Nathan tertawa mendengar analisa sahabatnya, Michael tertegun manakala Nathan menjelaskan kalau itu hanya buatan tangan biasa, bukan chef. Namun Nathan berkeras tidak memberitahu, membuat Michael semakin penasaran.
“Tenang saja, besok akan aku pesankan lagi, kamu datang saja ke mari,” ujar Nathan.
“Serius, Tan?” tanya Michael berbinar, Nathan mengangguk, “eit, tapi ada syaratnya,” imbuh Nathan. Michael menatap sahabatnya penuh tanya. “Ketuk pintu dulu sebelum masuk, kamu hampir saja membuat aku mati karena tersedak.”
Michael tak bisa menahan tawanya, ia terbahak-bahak melihat tingkah aneh sahabatnya itu, “Okay, boss. Sorry.”
Kedua sahabat sekaligus sepupu itu pun terlibat perbincangan serius, apalagi kalau bukan masalah pribadi Nathan dengan keluarganya.
“Hmm, jadi begitu?” gumam Nathan.
“Benar, Tan. Kamu harus meyakinkan kakek supaya hubungan formalitas kalian segera diakhiri.” Michael berpendapat, ia merasa gerah melihat wanita yang secara formalitas menjadi bagian keluarga besarnya, namun tingkahnya sangat bertolak belakang dengan prinsip keluarga besar mereka.
“Kakek nggak akan bisa berbuat apa-apa, Mike. Karena term and conditions nya sudah jelas, jika aku menikah dengan gadis yang aku cintai dan mencintai aku, maka hubungan formalitas itu akan berakhir dengan sendirinya.” Nathan menegaskan.
“Iya tapi sampai kapan, Tan. Kamu sendiri seperti gunung es begitu sama perempuan, bagaimana kamu akan bisa mendapatkan cinta sejati. Tiap hari ngedate sama berkas-berkas terus,” keluh Michael, ia prihatin dengan kehidupan sahabatnya ini.
Nathan tersenyum menatap sahabatnya, “Tenang, Bro. Matahari hangat akan segera melelehkan bongkahan es itu, saat itu musim semi akan tiba, bunga-bunga akan bermekeran indah.” Nathan menepuk bahu Michael yang terbengong-bengong mendengarkan ucapan sepupunya itu.
Nathan bergegas ke luar untuk meeting dengan klien, sebelumnya ia berpesan pada Emi agar siang nanti Richard dan Nina harus sudah siap mempresentasikan laporan mereka.
“Emi,” panggil Mike yang masih terdiam membeku di ruangan Nathan.
“Iya, Pak Mike,” jawab wanita itu sigap.
“Apa bos kamu salah minum obat?” tanya Mike dengan kebingungannya.
“Maksudnya bagaimana, Pak?” jawab Emi heran, “Pak Nathan sehat-sehat saja, jadi tidak meminum obat apa pun.”
Michael menghela napas, “Maksudku ada yang aneh sama bos kamu itu, kata-katanya barusan bukan seperti ucapan seorang Nathan.”
“Maaf, Pak. Kalau mengenai kata-kata itu saya tidak mengerti, tapi aktifitas pak Nathan biasa saja, tidak ada yang aneh.” Emi terdiam sejenak, “oh iya, bedanya pagi ini Pak Nathan sarapan sandwich.”
“Nah sandwich,” potong Michael, rasa penasarannya kembali muncul, “Nathan pesan sandwich di mana?”
“Itu tidak pesan, Pak. Tapi kiriman dari seseorang,” ucap Emi.
“Seseorang? Siapa?” tanya Michael semakin bingung.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa memberitahukan.” Emi akan selalu mejaga rahasia bosnya, itu adalah bagian dari tugasnya. “Saya permisi, Pak. Masih banyak yang harus saya kerjakan.” Wanita itu pun segera berbalik, meninggalkan Michael yang masih kebingungan.
“Tunggu-tunggu, Emi!” Michael bergegas mengejar Emi. Wanita itu berhenti, lalu menatap Mike.
“Apakah yang mengirim perempuan?” tanya Michael.
“Ya, perempuan,” jawab Emi datar, ia bergegas melangkah dengan kaki panjangnya. Michael mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Sepertinya si Nathan sudah menemukan tambatan hatinya, tapi gadis mana yang tahan sama gunung es itu, tapi ini menarik, aku harus cari tahu, sepertinya ada rahasia dibalik sandwich lezat itu,” gumam Michael, lelaki yang berprofesi sebagai lawyer itu bergegas meninggalkan kantor Nathan.
Emi secara terpisah memberitahukan pesan Nathan pada Nina dan Richard. Asisten Nathan itu juga memberikan sebandel berkas yang telah ia buat salinan hard copy dari laporan proposal yang dibuat Nina.
Jam makan siang pun tiba, Laura segera mengajak Nina makan siang bersama, seperti biasanya. Nina tidak banyak bicara, gadis cantik yang biasanya energik itu menjadi pendiam, terlihat ada kemurungan dan kegugupan di wajah cantiknya.
“Nina, kamu kenapa?” tanya Laura bingung. Belum sempat Nina berucap, tiba-tiba seorang pria telah berdiri di depan mereka.
Laura tertegun, mau apa lagi cowok julid ini ke mari, apa ada kaitannya dengan perubahan sikap Nina? Gadis itu masih berusaha menebak dan memahami situasi yang terjadi. Richard, lelaki yang disebut Laura julid itu tersenyum sarkastik. Laura paham, senyum itu ditujukan untuk sahabatnya Nina, karena mata pria itu tak pernah lepas dari menatap Nina.“Ehm, maaf Tuan Richard, sepertinya Anda ingin bergabung makan siang dengan kami,” ujar Laura sarkastik, “tapi maaf kami hanya ingin makan berdua, jadi tidak mengundang orang lain.”Pria itu menatap Laura dan tersenyum sinis. “Saya tidak butuh undangan kalian, justeru saya yang akan mengundang kalian untuk merayakan keberhasilan saya mendapatkan project baru dari bos.”Laura melirik Nina, gadis itu tidak bereaksi apa-apa, sedikit banyak ia bisa meraba situasinya.“Well, memang penting ya merayakan pekerjaan yang belum terlihat pasti hasilnya,” ujar Laura sinis.“Apa maksud kamu?” Richard terlihat jengkel.“Nggak ada maksud,” ketus Laura samb
Seorang lelaki berjalan dengan langkah panjang, bergegas menyusul Nina. Demi melihat Pak Ben, ia pun menghentikan langkahnya. “Selamat siang Pak, Ben.” Richard menyapa Pak Benjamin dengan sapaan yang ramah. Sebelumnya ia tidak tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir, tapi melihat lelaki paruh baya itu berdiri di sini, ia mengerti. Pak Benjamin, manager kawakan ini salah satunya. Richard sebenarnya merasa kesal, karena ia diberitahu mendadak, sehingga belum sempat mencari tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir. Padahal sebelum-sebelumnya ia diberi jeda 1 atau 2 hari, sehingga ia bisa melobi mereka untuk mendukungnya. “Siang Richard, jadi kamu dan Nina yang akan presentasi siang ini?” tanya lelaki paruh baya yang akrab dipanggil Ben itu. “Benar Pak Ben, Pak Nathan sendiri yang menyerahi tugas ini pada saya.” Richard berujar bangga. Pak Ben menatap Richard sambil mengerutkan kening, “Pak Nathan sendiri yang memberi tugas ini ke kamu?” ulangnya, Richard mengangguk sam
Semua orang terkejut, Nina pun berhenti dari presentasinya, mereka melihat ke arah sumber suara, Richard berdiri, dan berteriak dengan emosi bahwa Nina telah menjiplak laporannya. “Apa maksud Anda saudara Richard?” tanya salah seorang anggota komite. “Bapak-bapak dan ibu-ibu sudah melihat proposal saya, dan lihat! apa yang disampaikan perempuan ini, sama persis, dia menjiplak laporan saya.” Richard berkata dengan tajam, ia berjalan mendekat kepada Nina. “Bapak-bapak tahu, perempuan ini hanya anak kemaren sore yang belum mengerti apa-apa, tapi dia membuat laporan persis dengan milik saya, itu artinya dia menjiplak milik saya.” Kini semua mata menatap Nina, meminta penjelasan. suasana di ruang meeting itu menjadi tegang. Namun Nina tetap tenang, tak ada sedikit pun kepanikan di wajahnya. “Saudari Nina, apakah benar apa yang dikatakan saudara Richara?” tanya salah satu tim komite. Nina tetap tenang, ia menjawab dengan tegas, “saya tidak pernah me
Tidak lama setelahnya pintu terbuka, dua orang security masuk, Emy memberi kode ke arah Richard, kedua security itu pun memegang kedua tangan lelaki itu. “Hei tunggu! Apa yang kalian lakukan?” Richard berteriak. “Saya tidak ingin ada kekacauan di ruang ini, energy negatif harus dikeluarkan.” Nathan berkata dengan dingin. “M-maksudnya bagaimana, Pak?” tanya Richard gugup. “Apakah Anda lupa? Kemarin Anda datang ke ruangan saya, mengatakan kalau Nina tidak becus kerja dan pemalas, lalu Anda menawarkan diri agar Anda mengambil alih tugas itu, dan menjanjikan akan selesai besok pagi,” tegas Nathan. “Tapi, bukankah bapak setuju?” tanya Richard, ia merasa terpojok dan dikuliti. “Ya, saya mengangguk bukan berarti menyerahkan begitu saja tugas ini, untuk itu meeting ini diadakan, saya memberikan kesempatan kepada Anda untuk membuktikan kemampuan Anda.” Nathan menatap Richard dengan tajam. “Tapi apa? Anda bisa memaparkan tapi tidak bisa mempertanggung jawabkan, menjawab satu pertanyaan
“Jangan senang dulu gadis sombong! Aku nggak akan tinggal diam, aku akan mencari berbagai cara untuk menyingkirkanmu.” Lelaki itu menyeringai, tatapannya sangat tajam, dipenuhi dendam dan kebencian kepada Nina, ia segera berbalik dan pergi meninggalkan kantor besar itu.Sementara itu, Nina tengah bersiap-siap untuk pulang, karena jam pulang sudah tiba, apalagi besok weekend, para karyawan biasanya sangat bersemangat karena bisa memanfaatkan 2 hari itu untuk berkumpul dengan keluarga dan orang-orang terkasih.“Nina!” panggil Laura. Gadis itu bergegas masuk dan memeluk Nina.“Hei Miss bawel, apa-apaan ini?” tanya Nina kebingungan.”“Selamat ya, Nina. Akhirnya kamu berhasil mendapatkan project besar ini,” ujar Laura ceria.“Eh, kamu tahu dari mana, Ra?” tanya Nina heran, ia berpikir belum banyak yang tahu karena baru ditetapkan siang tadi.“Hmm, ketinggalan info kamu, sekarang kamu lagi jadi trending topik loh gosip di kantor ini,” ujar Laura bangga.“Ha? Masa sih? Kok cepat banget, ka
Tante Sophia menghela napas sebelum ia berkata, “Nina, cinta sejatinya tak bisa diukur dengan materi, sebanyak apa pun material yang diberikan tidak bisa dijadikan patokan kalau seseorang sungguh-sungguh mencintaimu.”Nina terdiam, ia mencoba mencerna kata-kata Tante Sophia. “Dan sebagai seorang wanita, harus mempunyai harga diri, jangan pernah meminta apa pun dari seorang lelaki sebelum menjadi pasangan yang resmi.”“Nina mengerti Tante, Nina tidak pernah meminta apa pun sama Nathan,” jawab Nina sambil tersenyum, “Oya menurut Tante, apa Nina harus kembalikan laptop ini?”“Hmm, kalau Nathan benar-benar tulus, dia akan tersinggung jika kamu menolaknya, disamping itu mungkin dia melihat jika kamu benar-benar membutuhkan laptop ini.” Tante Sophi berpendapat.“Benar Tante, Nathan pasti tahu apa yang Nina pikirkan, karena belakangan ini Nina sering diganggu oleh rekan kerja yang dengki sama Nina, dia mensabotase hasil kerja Nina.” Nina menjelaskan masalah gangguan yang ia hadapi di kantor.
Nina tertegun, sepertinya Nathan sangat kesal dengan kejadian barusan, maklum ia belum terbiasa dengan kehidupan anak-anak kost, yang suka bergurau seenak mulut mereka.“Nathanny kamu jangan ambil hati kejadian tadi, mereka Cuma bercanda,” Nina meyakinkan.“Becanda? Itu sudah pelecehan, nyiul-nyiulin kamu, memang kamu burung?” Nathan masih terlihat emosi.“Ya ampun Nathanny, cowok-cowok kalau lagi pada ngumpul ya memang begitu, tapi mereka nggak pernah berlaku kurang ngajar kok sama aku atau cewek-cewek lain yang ngekost di situ,” kilah Nina.“Pokoknya nggak bisa, kamu harus pindah dari sana.” Nathan bersikeras.Nina menghela napas, “aku harus pindah kemana, menurutku lingkungan di situ cukup baik, mereka bertetangga dengan baik, saling peduli dan saling membantu, aku sudah lama tinggal di situ.”“Kamu tenang saja, aku yang akan atur semuanya,” ujar Nathan, ia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi asistennya. Nathan mengintruksikan Emi untuk segera mencarikan appartement siap
Nathan menatap Nina dengan rasa penasaran yang besar, sedangkan Nina tersenyum, ia mengalihkan tatapannya ke arah dinding-dinding kaca patri dengan ornamen-ornamen mewah tersebut. Nina menghela napas, “dia sangat special untukku, karena dialah yang mengantarkan aku ke dunia ini.” “Maksudmu, orang tuamu?” sela Nathan. Nina mengangguk, ia menjawab tanpa menoleh, “Mama.” Nathan menghela napas, “sayang, apa Mama kamu sering ke mari?” tanya Nathan, ia memang belum banyak tahu tentang keluarga Nina. “Ya, hampir setiap hari,” jawab Nina sambil tersenyum. “Ha? Setiap hari makan di sini?” Nathan bingung, sekaligus takjub. “Tentu makan di sini, karena Mama yang meracikan makanan untuk tamu-tamu di sini.” Nina tersenyum, ia kembali ke tempat duduknya, sebelum Nathan bertanya lagi ia menceritakan jika mendiang Mamanya dulu adalah salah satu chef ternama di negeri ini, dan ia menjadi chef utama atau executive chef di restauran ini. Nathan terkejut, ia kembali memastikan benarkah mamanya Nina