"Sudah diputuskan."
Ardiwira menarik napas panjang sejenak lalu mengembuskannya perlahan. Ruangan keluarga itu dipenuhi aura menegangkan sejak satu jam yang lalu. Ada lebih dari lima anggota keluarga berkumpul dengan raut wajah sulit diartikan.Amira duduk tak jauh dari tempat Ardiwira berbicara saat ini. Tangannya mengepal di atas lututnya yang rapat dengan punggung sedikit membungkuk. Jantungnya berdetak kencang menunggu hasil perundingan keluarga besar Winata tadi malam."Jangan mengulur waktu. Semua sudah penasaran," protes Sonia, istri Ardiwira yang sedang berdiri tegap di depan sana."Baiklah. Sesuai dengan wasiat dari mendiang tuan El Pasha, beliau menuliskan surat berharga yang menyatakan bahwa cucu pertama keluarga Winata harus menikah dengan cucu pertama keluarga El Pasha. Oleh sebab itu, maka rencana pernikahan Keenandra dan Amira resmi dibatalkan."Jantung Amira serasa turun dari tempatnya. Kenyataan pahit harus diterimanya saat jati dirinya terkuak di depan publik jika dirinya bukanlah anak kandung keluarga Ardiwira Winata. Termasuk pengumuman surat wasiat yang menurutnya tak adil.Keenandra yang sejak tadi hanya berdiam diri mendengarkan ocehan mereka ikut merasakan ketidakadilan yang diterima Amira dan dirinya.Tak tahan dengan ketidakadilan itu, ia pun berdiri dari tempatnya. "Apa!!"Sorot matanya tajam mengarah pada Ardiwira yang masih berdiri di tempatnya. Jarinya menunjuk ke segala arah, menuding tiap-tiap manusia yang hadir di tempat itu. "Aku tidak menerima hasil perundingan ini!""Tidak bisa, ini sudah wasiat dari mendiang kakek." Marina, ibu Keenandra ikut berdiri dari kursinya lalu menarik tangannya dan mengajaknya duduk kembali. "Tenanglah, sayang.""Ma, Keenan sangat mencintai Amira. Keenan bahkan tidak kenal sama sekali dengan wanita itu," protesnya menunjuk ke arah Aletta yang duduk dekat Sonia, istri Ardiwira."Keenan, kamu harus menuruti perintah kakek. Kalau tidak, keluarga kita akan menanggung akibatnya." Marina coba menenangkan putranya dengan mengusap perlahan lengannya. "Mama tahu ini berat, tapi ini semua atas kesepakatan semua pihak.""Cucu wanita pertama keluarga Winata adalah Aletta bukan Amira. Kau harus menerima kenyataan ini, Keenandra." Bara El Pasha bersuara menjawab kalimat protes dari mulut anaknya.Amira diam, menundukkan wajahnya yang sejak tadi telah berubah sendu. Tanpa ada suara, ia menangis dalam diam. Lututnya bergetar menahan pilu mendengar rencana pernikahan kekasihnya dan Aletta, adik angkatnya. Entah, ia harus menerima atau tidak. Jikalau ia menolak pun, rencana itu akan tetap terlaksana.Keenandra menoleh ke arah Amira yang tak melayangkan protes sedikitpun. Kekasihnya itu mungkin saja bingung harus bereaksi seperti apa. Ia tak bisa melawan, kekuatannya kecil. Bahkan untuk mengeluarkan suara, mungkin ia akan dibungkam oleh mereka yang berkuasa.Tanpa berkata apapun, Keenandra menarik tangan Amira hingga tersentak dan hampir terjatuh. Amira membelalakkan matanya berusaha menarik tangannya lagi."Ayo kita pergi dari sini." Keenandra nekat mengajak Amira pergi dari rumah itu. Tangan Amira digenggamnya erat, tak peduli pergelangan tangannya memerah. Ia berjalan cepat menyeret tangan Amira hingga langkahnya terseok-seok."Keenan, berhenti!" Marina berlari mengejar Keenandra yang terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah."Masuk!" Keenandra memaksa Amira masuk ke dalam mobilnya. Amira hanya berdiri di depan pintu dan itu membuat kemarahan Keenandra meluap. "Masuk, Amira! Jangan buat aku marah.""Lepaskan! Lepaskan aku, Keenan!" teriak Amira memohon. "Ibumu berteriak." "Aku tidak peduli. Cepat masuk!"Takut, Amira pun masuk ke dalam mobil dengan perasaan bercampur aduk. Di satu sisi ia tak tega melihat Marina berteriak di luar jendela mobil tapi di sisi lain, Keenandra telah membuat nyalinya menciut. Mata merah pria itu, serta gertakan yang tadi dilayangkan padanya, membuat dirinya terpaksa menuruti keinginan pria itu."Keenandra, berhenti!" Marina terus berteriak dari luar jendela mobil. Tak peduli, Keenandra menyalakan mesin mobil dan berlalu pergi dari rumah itu hilang menuju jalan besar.***Keenandra menghentikan mobilnya tepat di basement apartemen pribadinya. Lagi-lagi ia menarik tangan Amira dan kembali berjalan cepat menuju lift pribadi menuju ke unit apartemennya.Amira sebenarnya takut dengan perubahan wajah Keenandra yang semakin menyeramkan. Namun apa daya, tangannya digenggam erat seolah tak ingin dilepaskan."Masuk!" perintahnya."K-keenan. A-aku...""Jangan buat aku marah, Amira." Keenandra memaksa Amira masuk ke dalam apartemennya. Setelah Amira masuk, satu kakinya menendang pintu hingga tertutup.Amira terlonjak kaget mendengar pintu ruangan apartemen ditutup kasar oleh Keenandra. Matanya membola melihat sosok yang berdiri di depan pintu dengan aura hitam dan tatapan menusuk. Berkali-kali Amira menelan salivanya, takut pada sosok itu."K-keenan. Apa maksud kamu membawa aku kemari?" suara Amira terdengar mengiba. Keenandra kembali menarik tangan Amira dan menyeretnya hingga ke kamar tidur lalu menghempaskan tubuh mungil itu ke atas ranjang. "K-keenan. Ini bukan seperti kamu yang biasanya. A-aku mau pergi dari sini."Keenan dengan cepat mengunci pintu kamarnya. Perlahan berjalan menuju ranjang tempat Amira terduduk dan memojokkannya hingga diam tak berkutik. Menatap mata Keenandra yang seakan berkobar dengan amarahnya yang dalam, Amira hanya bisa merapalkan doa dalam hati.Rasanya, Amira ingin kabur dari hadapan sosok itu dan meminta bantuan. Namun sayang usahanya sia-sia karena Keenandra semakin membuat tubuhnya terpojok."Amira, aku mencintaimu. Aku tidak bisa menikah dengan wanita lain.""Tapi mereka tak bisa mengubah semuanya. Ini sudah takdir. Pergilah, aku relakan kamu dengannya.""Semudah itu? Kamu menyerah semudah itu?" Keenandra semakin mendesak Amira, merapatkan tubuhnya hingga kekasihnya terperangkap di sudut dekat meja samping ranjang."Keenan, aku tahu di mana posisiku. Aku—"Keenandra mengangkat wajah Amira hingga berhadapan dengannya. Nafasnya menyapu setiap inci kulit Amira karena jarak yang terlalu dekat. Kesempatan ini digunakan oleh pria itu untuk lebih mendekatkan lagi wajahnya hingga bersentuhan.Keendra menciumnya. Mencium bibir Amira dan melumatnya."Aku mencintaimu, Amira.""Lepaskan aku, Keenan. Kita harus berpisah." Amira mendorong dada Keenandra yang membuatnya sesak. Pria itu tak peduli. Ia semakin memojokkan Amira dan dengan satu tangannya ia berhasil membuat kekasihnya terhempas ke tengah ranjang."Berpisah? Secepat itu berpisah? Aku tidak mau, Amira."Keenandra menarik kaki Amira hingga mendekat padanya. Amira melawannya dengan memberikan satu tendangan pada kaki Keenandra tapi itu tak cukup kuat. Keenandra malah terkekeh melihat reaksi kekasihnya."Kamu, jangan gila Keenan!" Amira ketakutan. Keenandra tampak berbeda malam ini. "Jangan mendekat!" teriaknya."Amira, bagaimana kalau kita buat jalan pintas sebelum aku menikah dengannya?" Keenandra menyeringai."Apa maksudmu?" Amira semakin ketakutan dengan perubahan wajah Keenandra yang semakin aneh."Kamu akan tahu nanti."Keenandra mendekat, tangannya mencengkram bahu Amira memaksakan sebuah ciuman yang teramat kasar. Ciuman yang menuntut dan penuh nafsu. Tak pernah Amira merasakan hal ini sebelumnya, ini yang pertama kali Keenandra lakukan padanya."Lepas!" Amira melawan. Ia berusaha melepaskan tangan Keenandra yang masih mencengkeram bahunya. Namun tak disangka, tangan itu berpindah ke belakang kepalanya dan kini menekan bibirnya untuk memperdalam ciuman. "Ummpphh..."Amira seharusnya melawan lagi, berteriak dan menolak perlakuan Keenandra. Namun yang dilakukan oleh tubuhnya adalah kebalikannya. Bibirnya mendesah lirih menikmati ciuman itu dan tergeletak pasrah tak berdaya.Keenandra mengambil kesempatan itu dengan melucuti cepat pakaian yang dikenakan Amira hingga tak bersisa. Dengusan napas penuh nafsu terdengar di telinga Amira saat Keenandra mendekat dan berbisik."Amira, aku mencintaimu. Maaf, aku harus melakukan ini padamu."Amira merasakan lembutnya sentuhan Keenandra, rasanya seperti melayang. Ia bahkan tak bisa menghitung seberapa banyak dirinya merapalkan nama kekasihnya itu. Keenandra semakin bersemangat mencumbui Amira hingga keduanya hanyut terbawa kenikmatan yang sulit diucapkan.Di saat Amira mulai terbawa sentuhan Keenandra, gadis itu tanpa sadar mendongak dan mendesahkan nama Keenandra yang terus menerus mengecupi lehernya."Ahh..Keenan..""Kamu tahu, mengapa aku terus mempertahankanmu?" Amira menggelengkan kepalanya sambil menahan nyeri yang tiba-tiba menyergapnya. "Karena kamu berbeda. Aku bisa terus jatuh cinta padamu setiap hari."Keenandra menurunkan sedikit tubuhnya. Lututnya bertumpu pada sisian ranjang. Tak lupa ia mengangkat tubuh Amira dengan satu tangannya dan memindahkannya di tengah dengan satu bantal bertumpu pada punggungnya."Apa yang kamu inginkan setelah melakukan semua ini padaku?" lirih Amira. Keenandra tak begitu menghiraukan, ia sibuk mencari posisi yang nyaman di atas tubuh Amira. "Eungh...kenapa kamu melakukan ini padaku! Mengapa?""Karena aku takut kehilanganmu. Dengan cara ini, aku masih bisa mengikatmu.""Aku tidak mau! Lepaskan aku!" teriak Amira meraung-raung."Tidak Amira. Aku akan berhenti setelah kamu berhasil mengandung anakku."Amira memukul dada Keenandra yang semakin menghentakkan tubuhnya lebih keras. "Lepaskan aku! Aku tidak mau!""Kamu harus mau sayang. Kamu harus mau," paksa Keenandra."Aku tidak...Mmphh..""Maafkan aku Amira. Aku janji, tak akan pergi darimu."[Breaking news: Pemilik agensi QA entertainment dipanggil pihak kepolisian berdasarkan laporan dari estetique cosmetic atas pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pemilik agensi.] "Aletta, sudah dua kali kamu seperti ini. Apa sih yang kamu inginkan? Kita bisa hidup dengan damai kan?" Amira menghela napasnya kasar. Ia sebenarnya sudah lelah dengan semua hal yang berkaitan dengan Aletta. Amira bersandar di sofa ruangannya. Setelah Aletta dipanggil oleh pihak kepolisian, ia langsung meminta wanita itu untuk datang ke kantornya. Untung saja ia menurutinya. Kini, mereka berdua tengah berhadapan dengan tatapan saling menghunus satu sama lain. "Aku masih dendam sama kamu. Tapi sebenarnya aku juga dijebak oleh Anna. Kamu kenal orang itu?" Amira mengangguk. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" "Dia kan sudah kabur sama papa mertua. Biarkan saja," jawab Amira santai. "Jadi, dia selingkuhan om Bara?" Amira mengangguk. "Yang aku tahu, dia itu mantan pacar Keenan." "Ya, dia balas dendam sam
"Aletta! Apa yang kamu perbuat pada Keenan sampai dia marah dan menganggu papa? Sudahlah Aletta. Jangan pernah mengusiknya lagi." Aletta yang baru saja bangun dari tidur dan duduk di meja makan hanya memutar bola matanya malas. Ia merasa kesal terus digurui oleh ayahnya. Rasa sakit hatinya masih terasa hingga sekarang, apakah ayahnya tak peduli padanya lagi? "Papa! Aku tuh lagi memperjuangkan nama baikku yang sudah dirusak oleh mereka. Papa sepertinya lebih senang nama baikku hancur daripada nama ayah yang memang sudah hancur sejak dulu," ketus Aletta. Sonia membelalakkan matanya. Ia tak menyangka jika anaknya akan berani berkata kasar pada ayahnya sendiri. Ardiwira hampir saja akan melayangkan tamparannya pada Aletta, untung saja Sonia bisa mengatasinya. "Jangan seperti ini pada anak sendiri. Bicara dengan baik dan jangan berbuat keributan," ujar Sonia. Ardiwira menurunkan tangannya lalu melanjutkan lagi makan paginya. Sonia menaruh roti isi ke piring Aletta dan menyuruhnya maka
Amira tidur lebih dulu setelah makan malam. Matanya sangat lelah setelah seharian duduk mendengarkan rapat mendadak yang dilakukan oleh tim legal untuk membahas fitnah yang ditujukan pada brand miliknya. Walaupun itu bukan tugas utama tim legal, tapi mereka bisa menanganinya karena masih berhubungan dengan reputasi brand yang mereka jaga selama ini. Menjelang tengah malam Amira terbangun. Rasa haus yang mencekat tenggorokannya membuatnya terpaksa bangun dan turun dari ranjang. Matanya menyipit mendapati tempat kosong di sampingnya. Rupanya sang suami juga terbangun di tengah malam. "Kau belum tidur atau baru bangun?" tanya Amira yang melihat sosok Keenandra di sofa ruang tengah. "Kemarilah." Keenandra menepuk tempat kosong di sebelahnya. Amira mendekat. Karena rasa haus yang menyerang, ia begitu saja menyambar gelas minum milik suaminya lalu meneguknya hingga tandas. "Kenapa terbangun, ada pekerjaan yang membuatmu tak bisa tidur?" tanya Amira. Keenandra menggelengkan kepalanya. I
Keenandra memimpin langsung rapat divisi penyiaran yang rencananya akan menyiarkan tentang manipulasi surat hutang yang dilakukan oleh perusahaan kecil milik keluarga Ardiwira. Sebenarnya kasus ini sudah ditutupi dengan rapi oleh keluarga itu namun tiba-tiba mencuat karena lawan yang dihadapi oleh Ardiwira adalah anak perusahaan milik kakak Amira. Kebetulan yang sangat bermanfaat. Kepala divisi penyiaran sudah menyiapkan draft untuk berita skandal itu esok hari. Ia memaparkan bahwa hasil investigasi itu sangatlah mudah, mengingat perusahaan milik kakak Amira juga pernah berhubungan dengan SUN TV. Banyak yang telah mereka dapatkan langsung dari sumbernya. "Semua aman?" tanya Keenandra. Kepala divisi mengangguk. "Siapkan semuanya dengan baik. Saya mau narasumber, hasil investigasi di kantor pajak dan semua yang berhubungan dengan kasus itu ditunjukkan ke depan publik. Kasus ini mungkin adalah kasus kecil, tapi ini menyangkut dengan kelakuan Aletta yang s
Rencana penghancuran itu dimulai. Aletta yang berada di belakang layar memainkan perannya dengan apik. Ia membuat konten yang berhubungan dengan niatnya untuk menghancurkan reputasi baik Amira. Minggu pertama, ia mulai membahas kosmetik yang sedang viral. Aletta sengaja menaruh nama kosmetik milik Amira sebagai bahan percobaan. Lalu minggu depannya, ia membahas tentang status anak yang lahir di luar pernikahan dan yang paling puncaknya, ia juga membahas tentang nepotisme di kalangan para pengusaha agar bisnisnya berjalan dengan lancar. Hal ini tentunya menuai pro kontra yang cukup menarik di kalangan publik. Satu sisi menunjukkan sisi positif, tapi di sisi lainnya sangat berpotensi menimbulkan isu sensitif yang sedang beredar. Benar saja, publik jadi menduga jika semua yang dikatakan oleh konten milik agensi baru Aletta tengah menyindir Amira, pebisnis muda yang dirumorkan telah merebut Keenandra dari sisi Aletta. 'Ini jelas menyindir Amira. S
Amira memperlihatkan pesan yang tadi diterimanya pada Citra, sekretarisnya. Wanita itu terkejut tak percaya. Pasalnya, selama ia bekerja dengan Amira, baru kali ini bosnya itu mendapatkan ancaman serius dari salah satu musuhnya. Dan sepertinya, orang yang mengancam ini mengenal baik Amira dan suaminya. "Menurutmu, apa ini ada kaitannya dengan Aletta?" tanya Amira dengan wajah serius. "Apa yang harus kulakukan?" "Mbak Amira, selama ini Aletta tidak pernah mengancam mbak walaupun ada permusuhan diantara kalian. Ya, walaupun sering memaki dan itu sudah biasa. Tapi, ini sesuatu yang berbeda." Citra mengetukkan jarinya pada dagu. Ia berpikir sejenak lalu kembali berkata, "Apakah ini orang yang berbeda? Maksud aku—" "Tepat sekali. Aku sama berpikiran seperti kamu. Tak mungkin Aletta mengancamku seperti ini. Seburuk-buruknya dia, hanya sebatas caci maki saja. Siapa sebenarnya yang telah mengancamku?" "Mungkin saja—" "Siapa yang mengancammu?" pintu ruangan terbuka dengan kasar dari luar.