Share

Gairah cinta sang CEO
Gairah cinta sang CEO
Author: Rachel Bee

Perjodohan wasiat

"Sudah diputuskan."

Ardiwira menarik napas panjang sejenak lalu mengembuskannya perlahan. Ruangan keluarga itu dipenuhi aura menegangkan sejak satu jam yang lalu. Ada lebih dari lima anggota keluarga berkumpul dengan raut wajah sulit diartikan.

Amira duduk tak jauh dari tempat Ardiwira berbicara saat ini. Tangannya mengepal di atas lututnya yang rapat dengan punggung sedikit membungkuk. Jantungnya berdetak kencang menunggu hasil perundingan keluarga besar Winata tadi malam.

"Jangan mengulur waktu. Semua sudah penasaran," protes Sonia, istri Ardiwira yang sedang berdiri tegap di depan sana.

"Baiklah. Sesuai dengan wasiat dari mendiang tuan El Pasha, beliau menuliskan surat berharga yang menyatakan bahwa cucu pertama keluarga Winata harus menikah dengan cucu pertama keluarga El Pasha. Oleh sebab itu, maka rencana pernikahan Keenandra dan Amira resmi dibatalkan."

Jantung Amira serasa turun dari tempatnya. Kenyataan pahit harus diterimanya saat jati dirinya terkuak di depan publik jika dirinya bukanlah anak kandung keluarga Ardiwira Winata. Termasuk pengumuman surat wasiat yang menurutnya tak adil.

Keenandra yang sejak tadi hanya berdiam diri mendengarkan ocehan mereka ikut merasakan ketidakadilan yang diterima Amira dan dirinya.

Tak tahan dengan ketidakadilan itu, ia pun berdiri dari tempatnya. "Apa!!"

Sorot matanya tajam mengarah pada Ardiwira yang masih berdiri di tempatnya. Jarinya menunjuk ke segala arah, menuding tiap-tiap manusia yang hadir di tempat itu. "Aku tidak menerima hasil perundingan ini!"

"Tidak bisa, ini sudah wasiat dari mendiang kakek." Marina, ibu Keenandra ikut berdiri dari kursinya lalu menarik tangannya dan mengajaknya duduk kembali. "Tenanglah, sayang."

"Ma, Keenan sangat mencintai Amira. Keenan bahkan tidak kenal sama sekali dengan wanita itu," protesnya menunjuk ke arah Aletta yang duduk dekat Sonia, istri Ardiwira.

"Keenan, kamu harus menuruti perintah kakek. Kalau tidak, keluarga kita akan menanggung akibatnya." Marina coba menenangkan putranya dengan mengusap perlahan lengannya. "Mama tahu ini berat, tapi ini semua atas kesepakatan semua pihak."

"Cucu wanita pertama keluarga Winata adalah Aletta bukan Amira. Kau harus menerima kenyataan ini, Keenandra." Bara El Pasha bersuara menjawab kalimat protes dari mulut anaknya.

Amira diam, menundukkan wajahnya yang sejak tadi telah berubah sendu. Tanpa ada suara, ia menangis dalam diam. Lututnya bergetar menahan pilu mendengar rencana pernikahan kekasihnya dan Aletta, adik angkatnya. Entah, ia harus menerima atau tidak. Jikalau ia menolak pun, rencana itu akan tetap terlaksana.

Keenandra menoleh ke arah Amira yang tak melayangkan protes sedikitpun. Kekasihnya itu mungkin saja bingung harus bereaksi seperti apa. Ia tak bisa melawan, kekuatannya kecil. Bahkan untuk mengeluarkan suara, mungkin ia akan dibungkam oleh mereka yang berkuasa.

Tanpa berkata apapun, Keenandra menarik tangan Amira hingga tersentak dan hampir terjatuh. Amira membelalakkan matanya berusaha menarik tangannya lagi.

"Ayo kita pergi dari sini." Keenandra nekat mengajak Amira pergi dari rumah itu. Tangan Amira digenggamnya erat, tak peduli pergelangan tangannya memerah. Ia berjalan cepat menyeret tangan Amira hingga langkahnya terseok-seok.

"Keenan, berhenti!" Marina berlari mengejar Keenandra yang terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah.

"Masuk!" Keenandra memaksa Amira masuk ke dalam mobilnya. Amira hanya berdiri di depan pintu dan itu membuat kemarahan Keenandra meluap. "Masuk, Amira! Jangan buat aku marah."

"Lepaskan! Lepaskan aku, Keenan!" teriak Amira memohon. "Ibumu berteriak." 

"Aku tidak peduli. Cepat masuk!"

Takut, Amira pun masuk ke dalam mobil dengan perasaan bercampur aduk. Di satu sisi ia tak tega melihat Marina berteriak di luar jendela mobil tapi di sisi lain, Keenandra telah membuat nyalinya menciut. Mata merah pria itu, serta gertakan yang tadi dilayangkan padanya, membuat dirinya terpaksa menuruti keinginan pria itu.

"Keenandra, berhenti!" Marina terus berteriak dari luar jendela mobil. Tak peduli, Keenandra menyalakan mesin mobil dan berlalu pergi dari rumah itu hilang menuju jalan besar.

***

Keenandra menghentikan mobilnya tepat di basement apartemen pribadinya. Lagi-lagi ia menarik tangan Amira dan kembali berjalan cepat menuju lift pribadi menuju ke unit apartemennya.

Amira sebenarnya takut dengan perubahan wajah Keenandra yang semakin menyeramkan. Namun apa daya, tangannya digenggam erat seolah tak ingin dilepaskan.

"Masuk!" perintahnya.

"K-keenan. A-aku..."

"Jangan buat aku marah, Amira." Keenandra memaksa Amira masuk ke dalam apartemennya. Setelah Amira masuk, satu kakinya menendang pintu hingga tertutup.

Amira terlonjak kaget mendengar pintu ruangan apartemen ditutup kasar oleh Keenandra. Matanya membola melihat sosok yang berdiri di depan pintu dengan aura hitam dan tatapan menusuk. Berkali-kali Amira menelan salivanya, takut pada sosok itu.

"K-keenan. Apa maksud kamu membawa aku kemari?" suara Amira terdengar mengiba. Keenandra kembali menarik tangan Amira dan menyeretnya hingga ke kamar tidur lalu menghempaskan tubuh mungil itu ke atas ranjang. "K-keenan. Ini bukan seperti kamu yang biasanya. A-aku mau pergi dari sini."

Keenan dengan cepat mengunci pintu kamarnya. Perlahan berjalan menuju ranjang tempat Amira terduduk dan memojokkannya hingga diam tak berkutik. Menatap mata Keenandra yang seakan berkobar dengan amarahnya yang dalam, Amira hanya bisa merapalkan doa dalam hati.

Rasanya, Amira ingin kabur dari hadapan sosok itu dan meminta bantuan. Namun sayang usahanya sia-sia karena Keenandra semakin membuat tubuhnya terpojok.

"Amira, aku mencintaimu. Aku tidak bisa menikah dengan wanita lain."

"Tapi mereka tak bisa mengubah semuanya. Ini sudah takdir. Pergilah, aku relakan kamu dengannya."

"Semudah itu? Kamu menyerah semudah itu?" Keenandra semakin mendesak Amira, merapatkan tubuhnya hingga kekasihnya terperangkap di sudut dekat meja samping ranjang.

"Keenan, aku tahu di mana posisiku. Aku—"

Keenandra mengangkat wajah Amira hingga berhadapan dengannya. Nafasnya menyapu setiap inci kulit Amira karena jarak yang terlalu dekat. Kesempatan ini digunakan oleh pria itu  untuk lebih mendekatkan lagi wajahnya hingga bersentuhan.

Keendra menciumnya. Mencium bibir Amira dan melumatnya.

"Aku mencintaimu, Amira."

"Lepaskan aku, Keenan. Kita harus berpisah." Amira mendorong dada Keenandra yang membuatnya sesak. Pria itu tak peduli. Ia semakin memojokkan Amira dan dengan satu tangannya ia berhasil membuat kekasihnya terhempas ke tengah ranjang.

"Berpisah? Secepat itu berpisah? Aku tidak mau, Amira."

Keenandra menarik kaki Amira hingga mendekat padanya. Amira melawannya dengan memberikan satu tendangan pada kaki Keenandra tapi itu tak cukup kuat. Keenandra malah terkekeh melihat reaksi kekasihnya.

"Kamu, jangan gila Keenan!" Amira ketakutan. Keenandra tampak berbeda malam ini. "Jangan mendekat!" teriaknya.

"Amira, bagaimana kalau kita buat jalan pintas sebelum aku menikah dengannya?" Keenandra menyeringai.

"Apa maksudmu?" Amira semakin ketakutan dengan perubahan wajah Keenandra yang semakin aneh.

"Kamu akan tahu nanti."

Keenandra mendekat, tangannya mencengkram bahu Amira memaksakan sebuah ciuman yang teramat kasar. Ciuman yang menuntut dan penuh nafsu. Tak pernah Amira merasakan hal ini sebelumnya, ini yang pertama kali Keenandra lakukan padanya.

"Lepas!" Amira melawan. Ia berusaha melepaskan tangan Keenandra yang masih mencengkeram bahunya. Namun tak disangka, tangan itu berpindah ke belakang kepalanya dan kini menekan bibirnya untuk memperdalam ciuman. "Ummpphh..."

Amira seharusnya melawan lagi, berteriak dan menolak perlakuan Keenandra. Namun yang dilakukan oleh tubuhnya adalah kebalikannya. Bibirnya mendesah lirih menikmati ciuman itu dan tergeletak pasrah tak berdaya.

Keenandra mengambil kesempatan itu dengan melucuti cepat pakaian yang dikenakan Amira hingga tak bersisa. Dengusan napas penuh nafsu terdengar di telinga Amira saat Keenandra mendekat dan berbisik.

"Amira, aku mencintaimu. Maaf, aku harus melakukan ini padamu."

Amira merasakan lembutnya sentuhan Keenandra, rasanya seperti melayang. Ia bahkan tak bisa menghitung seberapa banyak dirinya merapalkan nama kekasihnya itu. Keenandra semakin bersemangat mencumbui Amira hingga keduanya hanyut terbawa kenikmatan yang sulit diucapkan.

Di saat Amira mulai terbawa sentuhan Keenandra, gadis itu tanpa sadar mendongak dan mendesahkan nama Keenandra yang terus menerus mengecupi lehernya.

"Ahh..Keenan.."

"Kamu tahu, mengapa aku terus mempertahankanmu?" Amira menggelengkan kepalanya sambil menahan nyeri yang tiba-tiba menyergapnya. "Karena kamu berbeda. Aku bisa terus jatuh cinta padamu setiap hari."

Keenandra menurunkan sedikit tubuhnya. Lututnya bertumpu pada sisian ranjang. Tak lupa ia mengangkat tubuh Amira dengan satu tangannya dan memindahkannya di tengah dengan satu bantal bertumpu pada punggungnya.

"Apa yang kamu inginkan setelah melakukan semua ini padaku?" lirih Amira. Keenandra tak begitu menghiraukan, ia sibuk mencari posisi yang nyaman di atas tubuh Amira. "Eungh...kenapa kamu melakukan ini padaku! Mengapa?"

"Karena aku takut kehilanganmu. Dengan cara ini, aku masih bisa mengikatmu."

"Aku tidak mau! Lepaskan aku!" teriak Amira meraung-raung.

"Tidak Amira. Aku akan berhenti setelah kamu berhasil mengandung anakku."

Amira memukul dada Keenandra yang semakin menghentakkan tubuhnya lebih keras. "Lepaskan aku! Aku tidak mau!"

"Kamu harus mau sayang. Kamu harus mau," paksa Keenandra.

"Aku tidak...Mmphh.."

"Maafkan aku Amira. Aku janji, tak akan pergi darimu."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status