Ruang rawat intensif rumah sakit terasa dingin dan steril ketika Alena, David, dan Devano memasuki ruangan dimana Sarah dirawat. Anak kecil itu bersembunyi di balik kaki David, masih merasa asing dengan suasana rumah sakit yang mencekam.Sarah tampak lebih lemah dari sebelumnya. Wajahnya pucat dan mata yang dulu penuh api kini terlihat redup. Namun ketika dia melihat Devano, matanya berkaca-kaca."Jadi ini dia," Sarah berbisik sambil menatap Devano. "Anak yang selama ini menjadi pusat dari semua rencana Adrian.""Sarah," Alena duduk di kursi samping tempat tidur, "kamu bilang ada seseorang lagi yang tahu tentang Devano. Siapa?"Sarah menatap ke langit-langit, seolah mengumpulkan keberanian untuk bercerita. "Sebelum aku cerita, aku ingin kalian tahu bahwa aku tidak terlibat dalam hal ini. Ini sesuatu yang Adrian sembunyikan bahkan dari aku.""Katakan saja," David berkata dengan tidak sabar sambil mengangkat Devano ke pangkuannya."Kakek Devano."Alena mengerutkan kening. "Kakek? Maksud
Alena menatap hasil tes DNA di tangannya dengan mata yang tidak percaya. Seluruh dunia seolah berhenti berputar. David... David adalah ayah kandung Devano?"Len, ada apa?" David yang masih menggendong Devano yang sudah berhenti menangis, melihat wajah Alena yang pucat pasi.Alena tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya menatap David dengan ekspresi yang tidak bisa dia deskripsikan sendiri—campuran antara shock, kebingungan, dan sesuatu yang mirip dengan ketakutan."Mama kenapa?" Devano bertanya sambil mengulurkan tangannya ke arah Alena dari gendongan David.Rahman yang melihat reaksi Alena, mencoba mengintip surat di tangannya. "Apa isi suratnya?"Dengan tangan bergetar, Alena menyerahkan hasil tes DNA kepada David. "Baca ini."David mengalihkan Devano ke gendongan Rahman sejenak, lalu mengambil kertas itu. Matanya bergerak cepat membaca hasil tes. Dan saat dia mencapai bagian conclusion, wajahnya berubah seputih kapas."Ini... ini tidak mungkin," David bergumam. "Ada kesalahan.""Apa
Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti perjalanan terpanjang dalam hidup Alena. Devano masih tertidur pulas di pangkuannya, sementara pikiran tentang revelation mengenai Rahman terus berputar-putar di kepalanya. David duduk di sebelahnya dengan wajah yang sulit dibaca, matanya menatap laut yang gelap.Speedboat mulai memasuki dermaga Marina Ancol ketika Devano terbangun dan menggosok matanya yang masih mengantuk."Mama?" Devano menatap Alena dengan mata polosnya. "Kita sudah sampai rumah?"Alena merasa dadanya sesak mendengar kata 'mama' dari bibir anaknya. "Belum, sayang. Sebentar lagi.""Dimana rumah kita, Ma?"Pertanyaan sederhana itu membuat Alena menyadari betapa banyak hal yang harus mereka pikirkan dan atur. Dimana Devano akan tinggal? Bagaimana mengurus dokumen-dokumennya? Bagaimana menjelaskan situasi ini pada Maya dan orang tua David?"Devano akan tinggal dengan mama sekarang," Alena menjawab sambil memeluk anaknya lebih erat.Rahman yang duduk di depan mereka bersiap
Alena terduduk lemas di lantai pondok yang dingin, menatap anak laki-laki yang masih terisak di samping Clarissa yang terluka. Seluruh dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Anak yang selama lima tahun dia pikir sudah tiada ternyata hidup, tumbuh besar tanpa dia ketahui."Mama..." anak itu berbisik sambil mengusap air mata di pipinya. "Mama Clarissa sakit."Suara tembakan di luar masih berlangsung, tapi Alena seolah tidak mendengar apa-apa. Seluruh perhatiannya terfokus pada anak di hadapannya."Siapa namamu, sayang?" Alena bertanya dengan suara bergetar."David," anak itu menjawab sambil menatap Alena dengan mata yang familiar. "Mama Clarissa bilang nama asli aku Devano, tapi aku lebih suka dipanggil David."Devano. Nama yang Alena berikan untuk anaknya lima tahun lalu. Anak yang dia pikir meninggal saat lahir prematur karena komplikasi kehamilan yang disembunyikannya dari Adrian."Devano..." Alena berbisik, air mata mulai mengalir deras. "Anakku."David tiba-tiba muncul di jendela, w
Speedboat bermesin ganda itu melaju dengan kecepatan tinggi membelah ombak Laut Jawa menuju Kepulauan Seribu. Angin laut yang kencang membuat rambut Alena berkibar-kibar, namun matanya tetap fokus menatap horizon dimana pulau tujuan mereka berada.David duduk di sampingnya, sesekali melirik wajah tunangannya yang penuh konsentrasi. "Len, kamu yakin dengan ini? Kita masih bisa kembali dan membiarkan tim khusus yang menangani.""Tidak," Alena menggeleng tegas. "Clarissa dan anaknya sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan karena Adrian. Aku tidak akan membiarkan mereka menjadi korban terakhir dari obsesinya."Rahman yang duduk di depan mereka sambil memeriksa peralatan komunikasi, menoleh ke belakang. "Pulau itu memang tempat yang strategis untuk menyembunyikan sesuatu. Jauh dari jalur pelayaran umum, tidak berpenghuni, dan hanya bisa diakses dengan perahu kecil.""Bagaimana Adrian bisa tahu tempat seperti itu?" David bertanya."Adrian punya banyak koneksi gelap," Alena menjawab dengan
Dua hari setelah lamaran David, rumah sakit masih menjadi tempat yang tidak bisa mereka tinggalkan sepenuhnya. Alena duduk di samping tempat tidur Sarah yang masih terbaring lemah, sementara David berdiri di belakangnya dengan sikap waspada. Rahman juga hadir sebagai saksi dalam percakapan yang mungkin akan mengungkap rahasia terakhir Adrian."Kamu bilang Adrian punya rahasia tentang anak," Alena memulai pembicaraan dengan suara tenang namun tegas. "Anak siapa?"Sarah menatap Alena dengan pandangan yang sulit dibaca. Tidak lagi ada api dendam di matanya, namun tergantikan dengan sesuatu yang lebih kompleks—penyesalan bercampur dengan kelegaan aneh."Sebelum aku bercerita," Sarah berkata pelan, "aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Tentang semua yang sudah terjadi. Tentang Maya, keluarga David, tentang semua kesakitan yang telah kami timbulkan.""Kami menghargai permintaan maafmu," David menjawab diplomatik. "Tapi sekarang kami ingin mendengar tentang rahasia itu."Sarah menghela na