"Proyek Arcadia," Adrian melanjutkan, "yang kita kerjakan selama ini, sebenarnya adalah visi Elena. Dia bermimpi tentang kompleks perumahan yang ramah lingkungan, terjangkau, namun tetap memiliki sentuhan seni dan kebudayaan. Aku mengambil idenya dan menjadikannya milikku, tanpa pernah mengakui bahwa itu berasal darinya."
Adrian berbalik menghadap Alena dengan ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelumnya—kombinasi antara kesedihan, penyesalan, dan sesuatu yang terlihat seperti... harapan?
"Saat kamu mengajukan konsep ulang minggu lalu, dengan ruang komunitas untuk seni dan musik, aku melihat Elena di hadapanku. Untuk pertama kalinya sejak kematiannya, aku merasa dia masih hidup melalui idenya. Dan itu..." Adrian menarik napas dalam-dalam, "...membuatku takut."
"
Takut?" Alena bertanya, tidak mengerti.
"Takut merasakan lagi, Alena. Takut peduli. Takut kehilangan." Adrian kembali ke kursinya. "Itulah sebabnya aku menolak idenya dengan kasar,
Pagi itu, Jakarta belum sepenuhnya terjaga. Langit mendung, tapi belum hujan. Alena melangkah pelan menyusuri taman kecil di sudut kota—tempat yang tak pernah ramai, tapi selalu hidup dalam ingatannya.Taman itu tidak berubah. Jalan setapaknya masih dihiasi daun-daun kering, bangku-bangku kayu tua tetap berdiri meski warnanya mulai pudar, dan suara burung dari pohon flamboyan di tengah taman masih seperti dulu—ramai, tapi menenangkan.Langkah Alena terhenti di sebuah bangku yang terletak di dekat danau kecil. Ia menatapnya sejenak. Bangku itu... dulu tempatnya dan Reno duduk berjam-jam. Ngobrol, diam, ketawa. Kadang cuma saling pandang tanpa bicara.Ia duduk perlahan, menyentuh permukaan kayu yang sudah mulai kasar dimakan waktu.“Gue kangen.” Kalimat itu keluar begitu saja. Pelan, tapi jelas. Bukan cuma pada sosok Reno. Tapi pada versi dirinya yang dulu—yang lebih ringan, lebih jujur, lebih hidup.Ia menatap air danau yang tenang, memantulkan langit kelabu. Matanya mulai basah, tapi
Balkon apartemen lantai 25 membentangkan panorama Jakarta malam hari seperti lukisan digital. Lampu-lampu gedung menjulang menciptakan mosaik cahaya yang gemerlap, tapi bagi Alena, semuanya terasa... kosong.Ia duduk sendirian, memegang segelas wine merah yang katanya seharga gaji satu bulan pekerja biasa—pilihan Adrian, tentu saja. Tapi malam itu, kemewahan tidak membawa apa-apa selain sunyi.Pikirannya terbang ke tempat yang jauh dari sini—teras rumah kontrakan Reno yang sempit, duduk di kursi plastik, minum teh botol, menatap gang kecil dengan jemuran dan suara anak-anak berlarian.Tidak mewah. Tapi damai. Dan damai itu terasa mahal sekarang.“Len, masih di luar?” suara Adrian memecah malam.Ia datang membawa dua gelas wine. Duduk di sebelah Alena, menyerahkan gelas yang lebih besar.“Pemandangannya keren, kan? Makanya gue pilih unit ini. View-nya paling oke di lantai ini.”Alena menerima gelas itu. Tersenyum seadanya. “Iya. Bagus.”“Besok malam gue dinner sama klien Jepang. Mereka
Malam itu, Alena kembali ke apartemen dengan langkah pelan. Sepulang dari Taman Suropati bersama Reno—setelah percakapan yang lama terpendam akhirnya menemukan ruangnya—ada banyak hal yang menggantung di hatinya. Hangat, tapi juga berat. Seolah ia baru membuka lemari kenangan yang lama terkunci, dan sekarang harus menghadapi isinya satu per satu.Saat membuka pintu, cahaya lampu temaram menyambutnya. Di ruang tamu, Adrian sedang duduk di sofa, laptop terbuka, headset menyangkut di telinga. Ia sedang dalam panggilan video dengan klien dari luar negeri, seperti biasa. Tatapannya serius, fokus sepenuhnya pada layar.Alena hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Adrian sempat melambaikan tangan sekilas, tapi tak memutus pembicaraan.Alena berjalan ke dapur, membuka lemari es dan menuang segelas air dingin. Ia duduk di meja makan, diam. Memperhatikan sekitar—ruang yang dulu terasa seperti tempat aman, kini justru terasa terlalu rapi, terlalu senyap. Tidak ada tawa. Tidak ada pertanyaan seper
"Alena?"Suara itu mengalun pelan, tapi langsung menembus lapisan hati yang sudah lama membeku. Lebih dalam dari yang ia ingat. Atau mungkin... ia memang sudah terlalu lama tidak mendengarnya. Suara yang menyebut namanya dengan cara paling lembut dan penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang memanggil rumahnya sendiri setelah lama tersesat.Alena menoleh. "Hai, Reno."Langkahnya terhenti di depan bangku taman yang tak banyak berubah sejak terakhir kali mereka duduk bersama. Tangannya gemetar sedikit, tapi senyumnya mencoba tetap stabil."Boleh duduk?""Tentu," jawab Reno sambil bergeser. "Ini... masih bangku kita, kan?"Kata "kita" melayang di udara sore yang mulai teduh, menggantung di antara dua hati yang belum benar-benar sembuh tapi saling mengenal.Mereka duduk bersebelahan, berjarak satu lengan. Tidak terlalu dekat untuk menyentuh luka lama, tapi cukup dekat untuk merasakan kembali getaran yang dulu pernah begitu familiar."Sering ke sini?" tanya Alena sambil menatap pohon ber
Studio apartemen yang Alena datangi ternyata lebih kecil dari yang ia bayangkan. Tapi justru itu yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Ruangan mungil itu terasa hangat, jujur, dan menyambut—seperti pelukan yang tak banyak bicara, tapi cukup untuk menenangkan.Ukuran ruang hanya sekitar tiga kali empat meter, tapi sebuah jendela besar menghadap timur terbuka lebar, membiarkan cahaya pagi menyusup masuk dengan lembut. Alena berdiri di tengah ruangan, membayangkan kanvas tergantung di dinding, cat minyak yang mengering di palet, dan dirinya duduk bersila di lantai, melukis dalam keheningan yang damai."Ini sudah termasuk listrik, air, dan Wi-Fi, Mbak. Kalau mau ambil kontrak setahun, bisa saya kurangin harganya sedikit," kata Pak Budi, pemilik unit itu, dengan senyum ramah.Alena mengangguk sambil memandang sekeliling. Dapur kecil dengan wastafel mungil dan kompor portable terletak di pojok ruangan. Tak ada yang mewah, tapi semuanya terasa cukup. Cukup untuk memulai kembali
Setelah percakapan panjang dengan Adrian, Alena memutuskan untuk tidak langsung menuju studio apartemen dengan kendaraan. Ia memilih berjalan kaki—menyusuri hiruk-pikuk kota yang biasa ia pandang dari balik kaca apartemen mewah lantai 25. Kini, ia ingin merasakannya… debu, panas, bunyi klakson, dan suara pedagang kaki lima yang bersahutan. Semuanya terasa nyata, berisik… tapi hidup.Langkahnya berhenti saat ia sampai di Taman Suropati. Ada sesuatu yang menggetarkan dadanya, seperti riak kecil yang tiba-tiba mengganggu permukaan tenang danau dalam. Ia duduk di bangku kayu tua di bawah pohon beringin yang rimbun. Bangku yang pernah jadi saksi percakapan penting dalam hidupnya—dengan Reno."Len, kamu pernah merasa kosong nggak? Di tengah keramaian?"Suara itu muncul dalam ingatannya, jernih seperti baru kemarin. Waktu itu mereka baru selesai makan bakso di gerobak pinggir jalan. Reno tiba-tiba mengajaknya duduk di taman ini."Kosong gimana maksudnya?" tanya Alena sambil memainkan daun ke