"Proyek Arcadia," Adrian melanjutkan, "yang kita kerjakan selama ini, sebenarnya adalah visi Elena. Dia bermimpi tentang kompleks perumahan yang ramah lingkungan, terjangkau, namun tetap memiliki sentuhan seni dan kebudayaan. Aku mengambil idenya dan menjadikannya milikku, tanpa pernah mengakui bahwa itu berasal darinya."
Adrian berbalik menghadap Alena dengan ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelumnya—kombinasi antara kesedihan, penyesalan, dan sesuatu yang terlihat seperti... harapan?
"Saat kamu mengajukan konsep ulang minggu lalu, dengan ruang komunitas untuk seni dan musik, aku melihat Elena di hadapanku. Untuk pertama kalinya sejak kematiannya, aku merasa dia masih hidup melalui idenya. Dan itu..." Adrian menarik napas dalam-dalam, "...membuatku takut."
"
Takut?" Alena bertanya, tidak mengerti.
"Takut merasakan lagi, Alena. Takut peduli. Takut kehilangan." Adrian kembali ke kursinya. "Itulah sebabnya aku menolak idenya dengan kasar,
"Reno," bisiknya di antara isak tangis. "Maafkan aku."Tapi permintaan maaf itu hanya bergema di ruangan kosong. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang menjawab.Alena bangkit dengan langkah gontai, berjalan mengelilingi apartemen yang mendadak terasa asing. Tempat ini pernah menjadi rumah bagi mereka, penuh dengan kenangan dan tawa. Sekarang, ia hanya bisa melihat kekosongan.Di rak buku, foto-foto mereka masih berdiri dengan rapi. Alena dan Reno di pantai. Alena dan Reno di puncak gunung. Alena dan Reno dengan senyum yang tidak dipaksakan. Ia mengambil salah satu bingkai, jemarinya menelusuri wajah Reno yang tersenyum lebar."Apa yang telah kulakukan?" tanyanya pada foto itu.Suara ponselnya membuyarkan renungan. Nama Adrian muncul di layar, mengirimkan pesan singkat."Semalam luar biasa. Kapan kita bisa bertemu lagi?"Alena menatap pesan itu, sekujur tubuhnya terasa dingin meski matahari pagi mulai menembus tirai jendela. Dunia di luar terus berputar, tapi waktunya seolah berhent
Fajar baru saja menyingsing ketika Alena memasukkan kunci ke pintu apartemennya. Tubuhnya lelah, pikiran kusut, dan hatinya—entah di mana hatinya sekarang. Malam bersama Adrian selalu meninggalkan jejak yang sama: campuran antara euforia yang mulai memudar dan rasa bersalah yang semakin menguat.Suara kunci yang berputar dalam gembok terdengar terlalu keras di keheningan pagi. Alena melangkah masuk dengan hati-hati, seperti pencuri di rumahnya sendiri. Sepatu hak tinggi dilepas di ambang pintu, tas tangan diletakkan di meja samping, dan tubuhnya yang masih beraroma parfum Adrian ditarik dengan paksa menuju kamar mandi."Aku butuh mandi," gumamnya pada bayangan di cermin.Wanita yang menatapnya balik memiliki lingkaran hitam di bawah mata, riasan yang sedikit luntur, dan tatapan yang terlalu tua untuk usianya. Alena memalingkan wajah, tidak kuat bertatapan terlalu lama dengan versi dirinya yang ini.Air shower yang panas membasuh tubuhnya, tapi tidak bisa membasuh kenangan malam itu. T
Alena menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di ruang tamu apartemennya. Keheningan menyelimuti ruangan yang biasanya diisi dengan suara percakapan atau musik lembut. Lampu-lampu kota berkedip-kedip di luar jendela, menciptakan permainan bayangan di lantai. Malam terasa sunyi dan dingin.Jemarinya menggenggam ponsel, berulang kali mengusap layar hanya untuk mengunci kembali. Nama Reno muncul di daftar kontaknya, berhenti sejenak sebelum ibu jarinya mundur, tidak jadi menekan tombol panggilan."Apa yang harus kukatakan?" bisiknya pada diri sendiri.Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di kafe itu. Pertemuan yang berakhir dengan keheningan canggung dan tanda tanya yang menggantung. Reno menatapnya dengan mata yang tak bisa ia baca—perpaduan antara kekecewaan dan pengertian. Seolah ia tahu bahwa Alena tidak sepenuhnya hadir dalam percakapan mereka.Alena bangkit, berjalan menuju dapur. Apartemen yang sebelumnya selalu terasa seperti tempat berlindung kini hanya terasa se
Alena menatap pantulan dirinya di cermin lift, mengamati wajahnya yang semakin hari semakin tampak lelah. Sudah hampir sebulan sejak Adrian mulai berubah—perlahan, hampir tidak terlihat, tapi Alena merasakannya. Cara ia selalu ingin tahu di mana Alena berada, dengan siapa ia berbicara, bahkan apa yang ia pikirkan.Pintu lift terbuka, dan Alena melangkah keluar, menuju apartemen yang kini ia dan Adrian tinggali bersama. Apartemen itu luas dan indah, dengan pemandangan kota yang menakjubkan—jauh lebih baik dari tempat tinggalnya yang lama. Adrian telah menyarankan—atau lebih tepatnya, meyakinkannya—untuk pindah tiga minggu lalu."Ini akan lebih mudah bagi kita," katanya saat itu. "Aku bisa memastikan kau aman, dan kita bisa lebih sering bersama."Alena memasukkan kunci dan membuka pintu. Aroma masakan menyambutnya—Adrian sudah di rumah dan sedang memasak makan malam. Sebagian hatinya merasa hangat melihat Adrian berd
Adrian mengetuk-ngetuk penanya di atas meja kerja, matanya terpaku pada layar ponsel. Sudah lima belas menit sejak pesan terakhirnya kepada Alena, dan belum ada balasan. Kecemasan merambat di dadanya seperti sulur tanaman rambat, pelan namun persisten."Lima belas menit tanpa balasan," gumamnya pada diri sendiri. "Apa yang dia lakukan?"Pertemuannya dengan Sophia kemarin malam terus bermain di benaknya. Wanita itu telah menunjukkan foto-foto Alena bertemu dengan seorang pria yang tidak ia kenal, serta beberapa dokumen yang menunjukkan masa lalu Alena yang tidak pernah diceritakan padanya."Dia menyembunyikan banyak hal darimu, Adrian," kata-kata Sophia bergema dalam pikirannya. "Bagaimana kau bisa mencintai seseorang yang bahkan tidak kau kenal sepenuhnya?"Adrian menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu. Namun, benih keraguan sudah tertanam. Ia meraih ponselnya lagi dan menekan tombol panggilan."Halo?" Suara Alena akhirnya terdengar setelah deringan ketiga."Di ma
Mata Sophia menyipit saat ia mengamati Adrian dan Alena dari kejauhan. Mereka tampak bahagia, tangan saling bertaut sementara tawa mereka mengisi udara. Pemandangan itu membuat rahang Sophia mengeras. Sejak awal, Sophia telah yakin Alena hanyalah masalah yang berjalan dalam kehidupan Adrian. Seorang wanita dengan masa lalu yang rumit dan terlalu banyak rahasia."Mereka tidak akan bertahan," gumam Sophia pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kafe tempatnya duduk mengawasi. "Adrian terlalu baik untuk melihat siapa Alena sebenarnya."Sophia menyesap kopinya yang mulai dingin sambil berpikir. Inilah saatnya bertindak. Setelah berbulan-bulan mengamati dan menunggu, ia melihat celah dalam hubungan mereka. Adrian telah menceritakan tentang proyek penting di kantornya, bagaimana ia harus bekerja lembur untuk memenuhi tenggat waktu. Sementara itu, Alena semakin sering menerima telepon misterius yang membuatnya gelisah.Sophia merogoh tasnya dan mengeluarkan secarik kertas. Dua h
Adrian mengetahui bahwa Reno telah pergi, dan bukannya merasa bersalah, ia justru semakin gencar menunjukkan perhatiannya pada Alena. Ia kini muncul setiap hari dengan berbagai alasan—membawakan dokumen penting, mengantarkan makanan, atau sekadar "kebetulan lewat" di sekitar rumah Alena.Malam itu, Adrian mengajak Alena makan malam di sebuah restoran Italia mewah di pusat kota. Tempat itu redup dengan pencahayaan lilin dan alunan musik klasik yang lembut. Alena merasa tidak nyaman, namun ia tidak bisa menolak—Adrian adalah satu-satunya orang yang tahu tentang dokumen-dokumen itu, satu-satunya sekutunya dalam masalah besar yang kini ia hadapi."Kau terlihat cantik malam ini," puji Adrian sambil menuangkan anggur merah ke gelas Alena. "Aku senang akhirnya bisa melihatmu lebih rileks."Alena tersenyum tipis, matanya masih menyiratkan kegelisahan. "Aku tidak rileks, Adrian. Bagaimana bisa? Reno pergi, dan dokumen-dokumen itu—""Ssst," Adrian meletakkan jarinya di bibir sendiri, mengisyara
Sophia tersenyum. "Kedengarannya sempurna. Sangat kau sekali."Petugas memberi tanda bahwa waktu telah habis. Sophia bangkit dari kursinya."Selamat tinggal, Adrian. Semoga kau dan Alena mendapatkan kebahagiaan yang kalian berdua layak dapatkan."Adrian juga berdiri. "Terima kasih, Sophia. Dan semoga kau juga menemukan kedamaian."Saat keluar dari ruang kunjungan, Adrian merasa seperti telah menutup sebuah bab dalam hidupnya. Alena berdiri dari kursi di ruang tunggu begitu melihatnya."Bagaimana?" tanyanya cemas.Adrian memeluk Alena erat. "Dia minta maaf. Pada kita berdua."Dalam pelukan kekasihnya, Adrian menceritakan semua yang terjadi selama pertemuan tersebut, termasuk surat pengunduran diri yang kini ada di tangannya."Kau percaya dia benar-benar berubah?" tanya Alena hati-hati."Entahlah," jawab Adrian jujur. "Tapi aku ingin percaya bahwa setiap orang mampu berubah, seburuk apapun kesalahan yang telah mereka lakukan."Mereka berjalan keluar dari penjara menuju mobil yang terpar
Dengan ragu, Adrian menerima panggilan itu. "Halo?""Tuan Evans," suara Tomas terdengar di ujung telepon. "Saya menelepon untuk memberitahu bahwa Sophia ingin bertemu dengan Anda sebelum persidangannya minggu depan."Adrian tersentak. "Bertemu denganku? Untuk apa?""Dia tidak memberitahu saya detailnya," jawab Tomas. "Tapi dia sangat bersikeras. Dia bilang ada sesuatu yang penting yang ingin dia bicarakan dengan Anda.""Aku tidak yakin itu ide yang bagus," ucap Adrian. "Setelah semua yang terjadi.""Saya mengerti kekhawatiran Anda," Tomas berbicara dengan nada profesional. "Tapi pertemuan ini akan diadakan di penjara, dengan pengawasan penuh. Anda tidak akan berada dalam bahaya."Adrian menatap Alena, yang tampak khawatir mendengar percakapan itu. "Biarkan saya bicara dengan Alena terlebih dahulu," jawab Adrian akhirnya. "Saya akan memberitahu keputusan saya besok."Setelah menutup telepon, Adrian menceritakan semuanya pada Alena.