Sophia duduk di kafe favoritnya di Kemang, mengaduk latte sambil membaca artikel gossip online tentang "Skandal Perceraian Eksekutif Muda" yang masih menjadi trending topic. Foto Alena dan Reno dari pernikahan mereka lima tahun lalu terpampang jelas, begitu juga spekulasi tentang "pihak ketiga" yang tidak disebutkan namanya.Bibirnya melengkung ke atas. Perfect timing.Ponselnya bergetar. Pesan dari Adrian: "Alena putus denganku. Dia bilang perlu waktu untuk dirinya sendiri. I don't understand women."Sophia mengetik dengan cepat: "I'm sorry to hear that. Mau ketemu? I think you need someone to talk to.""Thanks, Soph. You're always there for me."Sophia meletakkan ponselnya dan membuka laptop. Dia sudah menyiapkan rencana ini sejak berminggu-minggu lalu, menunggu momen yang tepat. Dan sekarang, dengan Alena yang menghilang ke Bali dan Adrian yang patah hati, timing-nya tidak bisa lebih sempurna.Dia membuka email dan mulai mengetik kepada Pak Hartono, CEO perusahaan tempatnya bekerja
Alena duduk di teras villa kecil di Ubud, memandang hamparan sawah yang membentang di hadapannya. Sudah tiga minggu sejak ia tiba di Bali, mencari ketenangan yang tidak pernah ia temukan di Jakarta. Namun, ketenangan itu masih terasa jauh.Ponselnya terus berdering dengan panggilan dari berbagai nomor yang tidak ia kenal. Beberapa adalah wartawan, yang lain adalah teman-teman lama yang tiba-tiba peduli dengan kehidupannya. Ia sudah mengganti nomor telepon dua kali, tetapi entah bagaimana orang-orang masih bisa menemukannya."Kak Alena, ada yang mencari di depan," kata Wayan, pemilik villa, dengan nada khawatir.Alena menghela napas panjang. "Wartawan lagi?""Sepertinya tetangga dari Jakarta. Ibu-ibu, bilang keluarga dari suami kakak."Perut Alena langsung mual. Keluarga Reno. Mereka sudah menemukannya sampai ke sini."Bilang saja saya tidak ada, Pak Wayan.""Sudah, Kak. Tapi mereka bilang akan tunggu."Alena menutup mata, merasakan beban yang familiar kembali menekan dadanya. Tidak ad
Reno duduk di rumah yang dulunya dibaginya dengan Alena, dikelilingi oleh kotak-kotak packing. Sudah seminggu sejak dia memutuskan untuk pindah ke apartemen kecil di Jakarta Selatan. Rumah ini terlalu besar untuk satu orang, terlalu penuh dengan kenangan yang kini terasa menyakitkan.Dia mengangkat foto pernikahan mereka yang tergeletak di atas meja. Lima tahun lalu, dua orang muda yang percaya bahwa cinta bisa mengatasi segalanya. Sekarang, salah satu dari mereka sedang di Bali mencari kedamaian, sementara yang lain duduk di tengah reruntuhan kehidupan yang sudah direncanakan dengan matang.Ponselnya berdering. Papa."Reno, kamu sudah makan?""Sudah, Pa.""Bohong. Suara kamu lemas. Mama masak rendang, kamu mau Papa antarkan?""Tidak usah, Pa. Aku okay.""Reno," suara papanya berubah serius. "Kamu tidak okay. Tidak ada yang okay dalam situasi ini. Dan itu normal."Reno menutup mata. Sejak berita perceraiannya tersebar, keluarganya bersikap protective tapi juga confusing. Di satu sisi
Adrian menatap layar ponselnya untuk kesekian kalinya pagi itu. Tidak ada pesan dari Alena. Sudah dua minggu sejak percakapan terakhir mereka, dan keheningan itu mulai menggerogoti kewarasannya.Di kantornya yang mewah di lantai 35, Adrian duduk di kursi direkturnya tapi tidak bisa fokus pada laporan keuangan di depannya. Setiap angka mengingatkannya pada Alena—bagaimana dia dulu tertawa mendengar cerita-cerita Adrian tentang klien yang aneh, bagaimana mata Alena berbinar ketika Adrian bercerita tentang project baru."Sir?" suara sekretarisnya memotong lamunan. "Meeting dengan klien Singapura dalam lima belas menit.""Cancel," jawab Adrian tanpa mengalihkan pandangan dari jendela."Sir? Tapi ini meeting yang sudah di-reschedule dua kali.""Aku bilang cancel."Setelah sekretarisnya pergi dengan wajah bingung, Adrian mengambil ponselnya dan mengetik pesan yang kesekian kali:"Alena, please jawab aku. Aku tahu kamu hurt, tapi kita bisa bicara. Kita bisa fix ini."Dia menatap pesan itu la
Tiga hari setelah percakapan dengan Reno, Alena sedang mencoba menulis di warung kopi kecil di Ubud ketika ponselnya berdering. Nomor yang tidak dikenal dengan kode area Jakarta."Halo?""Alena." Suara dingin yang langsung mengirim firasat buruk ke perut Alena. Mama Reno."Mama..." Alena menelan ludah, tiba-tiba merasa seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah."Jangan panggil aku Mama. Kamu sudah tidak punya hak untuk itu."Alena merasakan dadanya sesak. Selama lima tahun pernikahan, mama Reno selalu memperlakukannya seperti anak sendiri. Sekarang suara wanita itu dingin seperti es."Aku dengar kamu masih di Bali. Kabur seperti pengecut setelah menghancurkan hidup anakku.""Mama, aku—""Jangan bela diri. Aku tidak menelepon untuk mendengar excuse kamu. Aku menelepon untuk memberitahu kamu bahwa keluarga kami tidak akan pernah memaafkan kamu."Alena menutup mata, merasakan air mata mulai mengalir."Reno adalah anak yang baik. Dia suami yang baik. Dia memberikan kamu segalanya—rum
Pagi itu matahari bersinar terang di Ubud, sangat kontras dengan perasaan Alena yang masih berkabut. Ia sedang menyeruput kopi di teras rumah tante Sari ketika ponselnya berdering. Nama "Reno" muncul di layar, membuat jantungnya berdegup kencang."Halo," jawab Alena dengan suara pelan."Alena," suara Reno terdengar lelah tapi tegas. "Kita perlu bicara. Beneran bicara kali ini.""Reno, aku—""Please. Aku sudah berpikir selama beberapa hari. Aku mau kita berbicara dengan kepala dingin, tanpa emosi yang menggebu-gebu seperti kemarin."Alena menutup mata. "Okay. Kamu mau bicara sekarang?""Kalau kamu tidak keberatan."Ada jeda yang panjang. Alena bisa mendengar suara Reno mengambil napas dalam-dalam di ujung telepon."Len, aku ingin kamu tahu bahwa aku sudah melalui banyak tahap dalam memproses semua ini. Anger, denial, bargaining, depression. Dan sekarang aku mencoba untuk sampai ke acceptance.""Reno...""Dengarkan aku dulu, please. Aku tahu kamu merasa guilty, dan honestly, sebagian da