"Katakan padaku," kata Claire sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, "apa tujuan terbesarmu saat ini? Apa hal yang membuatmu bersemangat untuk bangun setiap pagi?"
Pertanyaan yang penuh. Dulu, Adrian akan langsung berbicara tentang promosi berikutnya, kesepakatan bisnis berikutnya, pencapaian berikutnya. Sekarang, jawabannya lebih kompleks.
"Aku ingin menjadi orang yang lebih baik," jawab Adrian hati-hati. "Lebih profesional, lebih baik berteman, lebih baik... pasangan, kalau suatu hari nanti aku punya pasangan lagi."
"Pasangan?" Claire tertarik. "Jadi terapinya tentang masalah hubungan?"
Adrian menyadari bahwa ia telah mengungkapkan terlalu banyak. "Sebagian."
"Hubungan baru-baru ini berakhir buruk?"
"Claire..."
"Maaf, aku tidak mencoba untuk mengintip. Hanya... prihatin. Aku peduli padamu, Adrian. Aku selalu begitu."
Ada ketulusan dalam pernyataan itu yang membuat kewaspadaan Adrian sedikit menurun. "Ya, hubungan baru-baru i
Hari itu, langit Jakarta cerah. Tapi hati Alena tetap mendung. Bukan karena hujan, tapi karena terlalu lama tak tahu arah.Ia duduk di kafe kecil di daerah Blok M—tempat yang dulu sering ia datangi bersama teman-teman lamanya sebelum hidupnya berubah total. Tidak ada lampu kristal, tidak ada wine mahal. Hanya kursi kayu sederhana, suara musik indie dari speaker tua, dan aroma kopi yang menenangkan.Ia melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul empat sore. Satu per satu, wajah-wajah yang dulu akrab mulai bermunculan.“Alena?” suara itu memecah lamunannya.“Raya!” Alena berdiri, memeluk sahabatnya yang dulu satu organisasi kampus. Menyusul di belakangnya ada Bimo, dan kemudian Dira. Mereka bertiga, sahabat lama yang dulu tahu persis siapa Alena sebelum dunia glamor menelannya.“Wah, lama banget nggak ketemu! Gue hampir nggak ngenalin lo, Len!” ujar Bimo sambil tersenyum lebar.“Gue juga,” ti
Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Jakarta mulai sibuk dengan lalu lintas dan deru kehidupan. Tapi di dalam apartemen megah di lantai 25 itu, keheningan terasa membungkam.Alena duduk di meja rias. Rambutnya sudah disanggul rapi oleh stylist yang datang pagi-pagi. Di atas tempat tidur, terhampar dua pilihan gaun: satu merah anggun dengan potongan terbuka di punggung, satu lagi hitam klasik dengan detail emas di kerah.Ia tidak memilih satupun.Karena Adrian yang memilihkan keduanya. Dan seperti hari-hari sebelumnya, pilihan Alena tidak pernah benar-benar penting.“Yang merah, ya?” tanya Adrian dari pintu, dengan senyum ringan yang sudah tak lagi ia percaya.Alena mengangguk, pelan. Senyum yang ia berikan terasa dipaksakan. “Oke.”Beberapa bulan terakhir terasa seperti hari yang diulang-ulang: bangun, dirias, ikut Adrian ke acara sosial, tertawa saat harus tertawa, mengangguk saat harus setuju. Makan malam dengan kolega, m
Alena berdiri di depan cermin besar yang menggantung di kamar tidur apartemen mewah mereka—ruang yang dulunya terasa seperti mimpi. Pencahayaannya sempurna. Pantulan dirinya terlihat nyaris tanpa cela: rambut tertata rapi, riasan lembut, gaun mahal yang dipilihkan Adrian, dan sepatu yang konon hanya dibuat satu pasang di Asia Tenggara.Tapi siapa yang ia lihat di cermin... bukan dirinya.Ia tatap pantulan matanya sendiri. Mata yang dulu hidup, sekarang tampak tenang tapi kosong. Seperti danau yang permukaannya tak beriak, tapi di dalamnya—dingin dan sunyi.“Gue siapa, ya?” gumamnya pelan.Dulu, ketika Adrian datang ke hidupnya, semuanya terasa seperti keajaiban. Ia membukakan pintu-pintu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: restoran bintang lima, liburan dadakan ke Eropa, koneksi dengan orang-orang penting yang memandangnya bukan sebagai ‘Alena si biasa’, tapi sebagai pasangan dari seseorang yang berkuasa.Awalnya memabukkan. Tapi makin lama, mabuk itu berubah jadi pusing yang ter
Adrian masih duduk di sofa, memandangi ruang tamunya yang sunyi. Sisa aroma parfum Alena masih tertinggal di udara, bercampur dengan wangi kopi yang belum sempat disentuh.Wajahnya datar. Tidak marah, tidak sedih, tidak juga tenang. Hanya kosong. Seperti seseorang yang mencoba memahami sesuatu yang terlalu dalam untuk diurai dalam satu pertemuan.Ia mengingat satu per satu kalimat Alena tadi—tentang kehilangan diri, tentang rasa hampa, tentang hidup yang terlalu besar untuk dijalani dengan tenang. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak tahu harus berkata apa.Alena berjalan turun dari gedung apartemen dengan langkah yang tidak terburu-buru. Tangannya tidak gemetar, tapi jantungnya berdetak seperti genderang yang tak bisa dihentikan. Ia tidak menangis. Bukan karena kuat, tapi karena hatinya sedang sibuk menyusun ulang dirinya sendiri.“Jadi ini rasanya memutuskan untuk jujur…” pikirnya dalam diam.Ia duduk di kursi halte tak jauh dari apartemen itu. Jakarta masih mendung, angin sore memba
Pagi itu, Jakarta belum sepenuhnya terjaga. Langit mendung, tapi belum hujan. Alena melangkah pelan menyusuri taman kecil di sudut kota—tempat yang tak pernah ramai, tapi selalu hidup dalam ingatannya.Taman itu tidak berubah. Jalan setapaknya masih dihiasi daun-daun kering, bangku-bangku kayu tua tetap berdiri meski warnanya mulai pudar, dan suara burung dari pohon flamboyan di tengah taman masih seperti dulu—ramai, tapi menenangkan.Langkah Alena terhenti di sebuah bangku yang terletak di dekat danau kecil. Ia menatapnya sejenak. Bangku itu... dulu tempatnya dan Reno duduk berjam-jam. Ngobrol, diam, ketawa. Kadang cuma saling pandang tanpa bicara.Ia duduk perlahan, menyentuh permukaan kayu yang sudah mulai kasar dimakan waktu.“Gue kangen.” Kalimat itu keluar begitu saja. Pelan, tapi jelas. Bukan cuma pada sosok Reno. Tapi pada versi dirinya yang dulu—yang lebih ringan, lebih jujur, lebih hidup.Ia menatap air danau yang tenang, memantulkan langit kelabu. Matanya mulai basah, tapi
Balkon apartemen lantai 25 membentangkan panorama Jakarta malam hari seperti lukisan digital. Lampu-lampu gedung menjulang menciptakan mosaik cahaya yang gemerlap, tapi bagi Alena, semuanya terasa... kosong.Ia duduk sendirian, memegang segelas wine merah yang katanya seharga gaji satu bulan pekerja biasa—pilihan Adrian, tentu saja. Tapi malam itu, kemewahan tidak membawa apa-apa selain sunyi.Pikirannya terbang ke tempat yang jauh dari sini—teras rumah kontrakan Reno yang sempit, duduk di kursi plastik, minum teh botol, menatap gang kecil dengan jemuran dan suara anak-anak berlarian.Tidak mewah. Tapi damai. Dan damai itu terasa mahal sekarang.“Len, masih di luar?” suara Adrian memecah malam.Ia datang membawa dua gelas wine. Duduk di sebelah Alena, menyerahkan gelas yang lebih besar.“Pemandangannya keren, kan? Makanya gue pilih unit ini. View-nya paling oke di lantai ini.”Alena menerima gelas itu. Tersenyum seadanya. “Iya. Bagus.”“Besok malam gue dinner sama klien Jepang. Mereka