"Mana Kak Tama? Kartu Kak Hanna sudah dikembalikan?"
Gio menatap cemas pada Hanna yang akhirnya kembali ke kamarnya. Hanna yang sudah biasa menahan perasaannya pun mengangguk.
"Sudah dikembalikan sama Kak Tama," dusta Hanna menenangkan Gio.
"Syukur, Kak. Kalau kartunya belum dikembalikan, bagaimana mau bayar rumah sakit."
Hanna ingin menangis lagi mendengarnya, tapi ia hanya mengacak ringan rambut adiknya itu.
"Bagaimana membayar rumah sakit itu bukan urusanmu, Gio. Itu urusan Kak Hanna. Tapi karena sudah malam, kau tidur dulu ya. Kakak lupa Kakak masih ada urusan."
"Tapi Kakak kan baru datang. Temani Gio tidur dulu!"
Hanna terdiam sejenak. Hanna benar-benar harus mencari Tama, tapi Hanna juga tidak tega meninggalkan Gio. Hanna pun akhirnya tersenyum singkat dan mengangguk.
"Tentu! Kakak akan menemani Gio tidur dulu baru Kakak pergi ya."
Gio mengangguk patuh dan segera berbaring di ranjangnya. Hanna pun menatap teman sekamar Gio di sana dan menunduk sopan.
Gio dirawat di kamar yang berisi beberapa pasien dalam satu kamar. Kebetulan hari itu, yang terisi hanya dua ranjang.
Sambil menatap langit-langit kamar, Gio terus mengerjapkan matanya, tapi bukannya tidur, Gio malah bercerita.
"Kakak tahu, kemarin teman Gio bisa lari lima putaran lapangan sekolah. Cepat sekali seperti flash. Gio lari satu putaran sudah mau pingsan," seru Gio dengan polosnya.
"Kalau Gio rajin minum obat, Gio juga bisa lari seperti flash ya? Biar nanti Gio bisa kejar Kak Tama kalau Kak Tama lari-lari ...."
Hati Hanna miris mendengarnya. Di umurnya yang sudah sembilan tahun, Gio sudah mengerti banyak hal. Gio juga sudah mengerti bahwa ia punya sakit jantung yang membuatnya mudah lelah.
Namun, Gio tidak benar-benar paham betapa bahaya penyakitnya dan Gio juga masih ada di umur yang sangat antusias untuk terus bergerak aktif serta mencoba banyak hal.
Itulah yang membuat Hanna berusaha keras, sangat keras untuk membuat Gio bisa merasakan masa kecil yang normal dan bahagia seperti anak lainnya.
Hanna pun membelai sayang kepala adiknya itu dan mendaratkan kecupan sayang di dahinya.
"Bisa, Sayang. Bisa. Gio pasti bisa lari kencang seperti flash. Bahkan, besok besar, Gio bisa menjadi atlet lari."
Tatapan Gio berbinar-binar. "Lari putar lapangan sepak bola seperti di YouTube!"
Hanna mengangguk. "Tentu, Sayang! Tentu! Tapi sekarang Gio tidur dulu ya agar tenaga Gio cepat pulih dan Gio cepat sembuh."
"Okee, Kak!" sahut Gio yang langsung memejamkan matanya dan begitu cepat terlelap.
Hanna menghapus air matanya, tidak ada waktu untuk menangis lagi dan Hanna pun segera pergi dari rumah sakit menuju ke sebuah klub malam di sudut kota, klub malam elit tempat Tama biasa menghabiskan uangnya.
Hanna masuk ke klub itu dan ia pun langsung disambut oleh suara musik yang sangat keras, pencahayaan yang remang-remang, dan suasana yang sama sekali tidak Hanna sukai.
Bahkan jeduk jeduk musik di sana membuat jantung Hanna makin menghentak tidak karuan, tapi ia tetap harus mencari Tama karena Tama membawa semua uang yang ia punya.
"Gelap sekali! Bagaimana aku bisa menemukan Tama di sini?"
"Semoga aku menemukannya, ya Tuhan! Aku benar-benar tidak tahu harus mencari di mana kalau dia tidak di sini!"
Hanna melangkah sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
"Maaf, permisi!" ucap Hanna tanpa henti setiap kali ia menabrak seseorang.
Hanna pun terus melangkah sampai akhirnya ia melihat sosok pria yang ia cari. Pria tinggi dengan pakaian kasualnya yang acak-acakan. Tama terlihat sedang minum sambil tertawa bersama beberapa pria lainnya dan kemarahan Hanna pun membuncah melihatnya.
Tanpa mempedulikan apa pun, Hanna menghampiri Tama dan menarik tubuh Tama menghadap ke arahnya.
"Kembalikan uangku, Sialan!" geram Hanna cukup keras sampai beberapa orang langsung menoleh menatapnya.
Beberapa teman Tama pun kaget, tapi mereka langsung saling melirik melihat wanita cantik di samping Tama.
"Wow, apa kau tidak mau mengenalkan wanita cantik ini pada kami, Tama?"
Tama sendiri kaget melihat Hanna, tapi ia langsung mengibaskan tangannya.
"Jangan yang ini! Yang ini macan galak! Minggir dulu! Biar aku yang mengatasinya!"
Teman Tama hanya tertawa, sebelum mereka pergi meninggalkan Tama, sedangkan Tama langsung menatap adiknya itu.
"Aku tidak percaya kau menyusulku sampai ke sini, Hanna! Bukankah kau adalah wanita yang paling suci yang tidak mau masuk ke tempat seperti ini, hah?"
"Jangan banyak bicara! Kembalikan uangku dan kartu ATM-ku! Di mana hatimu, hah? Gio sedang ada di persimpangan hidup dan mati setiap kali penyakitnya kambuh, tapi kau malah membawa pergi semua uang yang sudah kutabung untuknya!" bentak Hanna yang suaranya tertelan oleh kerasnya musik di sana.
"Hei! Hei! Bukan hanya Gio yang butuh uang, aku juga kakakmu! Mengapa kau hanya peduli pada Gio?"
"Kakak? Kau ingat kalau kau kakakku? Seharusnya kau yang berjuang untukku, bukan hanya bisa menyusahkan aku! Dan apa? Kau butuh uang? Cari saja sendiri! Bekerja sana! Jangan hanya tahu menghabiskan uang dengan cara seperti ini! Kau hanya beban keluarga!"
"Jaga mulutmu, Hanna! Kau mau kutampar, hah? Tapi sial! Baiklah, uangnya sudah habis jadi aku hanya akan mengembalikan kartumu! Aku masih pengertian dengan tidak mengambil semuanya, tapi aku mau berpesan padamu, jangan bodoh, Hanna! Mana ada orang jaman sekarang yang masih memakai tanggal lahir sebagai pin ATM? Itu terlalu mudah."
Tatapan Hanna goyah mendengarnya. Ya, memang Hanna adalah wanita bodoh yang masih sangat jadul. Namun, ia menolak dihina oleh kakaknya itu.
"Itu bukan urusanmu, Dasar Pria Brengsek!"
"Ck, kau benar-benar macan menyebalkan! Tapi baiklah, ambil kembali kartumu, Adikku Sayang!"
Tama memberikan kartu Hanna dan Hanna langsung meraihnya kasar. Tama pun tersenyum miring sambil menarik tengkuk Hanna lalu mendaratkan bibirnya ke pelipis Hanna sampai Hanna menarik mundur kepalanya dengan jijik.
"Dasar menjijikkan! Jangan menyentuhku!"
"Itu tandanya aku menyayangi adikku kan? Terus hasilkan banyak uang untukku juga ya! Sampai jumpa!"
Tama melambaikan tangannya dan langsung melangkah santai pergi dari sana bersama teman-temannya sampai Hanna hanya bisa menatap punggung itu dengan begitu lelah.
"Sial! Pergi saja dari hidupku kalau kau hanya bisa menyusahkan aku, Tama! Brengsek!" geram Hanna tertahan.
Hanna pun langsung menyimpan kartunya dan berniat pergi dari sana saat mendadak suara seorang pria terdengar. Suara berat yang membuat debar jantung Hanna memacu makin tidak karuan.
"Baru saja menikah tapi kau sudah selingkuh dariku, Hanna?"
**Louis meneguk minumannya di sebuah klub malam itu. Pikirannya kusut, rasanya ia hampir gila setelah menjadi pria brengsek yang beristri dua. Bahkan, dalam mimpi pun, Louis tidak pernah membayangkan akan punya dua istri. Louis mencintai Indira hingga ia tidak peduli sekalipun wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu divonis mandul. Tapi sialnya, ambisi Indira untuk punya anak demi mendapat warisan membuat semuanya kacau seperti ini. "Seharusnya sejak awal aku tegas dan menolak pernikahan ini!" geram Louis sambil kembali meneguk minumannya sampai tandas. Baru saja Louis akan memanggil pelayan untuk mengisi lagi gelasnya saat ia melihat seorang wanita yang familiar di meja sudut. Cahaya remang-remang membuat tatapannya tidak jelas, tapi entah mengapa Louis masih bisa mengenali wanita itu. Hanna. Tidak sendiri, tapi bersama seorang pria yang memberikan sebuah kartu padanya. Louis pun makin membelalak saat melihat pria itu memeluk dan mencium pelipis Hanna. "Indira b
"Ingat, malam ini kau harus berhasil, Hanna!" Pesan Indira terus menggema di benak Hanna saat ia sudah berdiri di sudut ballroom hotel mewah milik Mahardhika Group, perusahaan Indira. Malam itu ada acara tahunan yang dihadiri oleh para karyawan dan klien perusahaan.Para tamu pun mulai berdatangan, termasuk seorang pria gagah yang melangkah masuk dengan jas hitam sempurna yang membalut tubuhnya.Aura dingin dan berwibawa yang pria itu pancarkan langsung menyedot perhatian banyak orang dan membuat debar jantung Hanna memacu tidak karuan, apalagi saat tangannya tanpa sengaja menyentuh botol obat di kantongnya. "Maafkan aku, aku juga terpaksa melakukannya," bisik Hanna bergetar. Di sisi lain, Louis sudah disambut banyak kenalannya di sana. Louis mempunyai perusahaan yang berbeda dengan Indira, namun Louis selalu mendukung pekerjaan istri tercintanya."Selamat malam, Pak Louis!" "Selamat malam!" "Senang sekali bertemu Anda di sini." Louis dan beberapa orang terlibat pembicaraan seri
Hanna melangkah begitu cepat menuju ke kamar Indira, tempat Indira sudah menunggunya di sana. Tangan Hanna masih gemetar dan napasnya masih sangat tersengal, tapi Indira malah tersenyum puas mendengar laporan Hanna. "Bagus, Hanna. Kau juga sudah menyampaikan pesanku kalau aku tidak enak badan kan?" "Aku sudah melakukannya seperti yang Anda perintahkan, Bu." "Baiklah, sekarang kau tinggal menunggunya di sini. Dia akan ke sini dan melampiaskan hasratnya, jadi layani dia dengan baik!" Hanna menahan napasnya sejenak mendengar kata melayani, tapi ia mengangguk. "Aku ... mengerti, Bu." "Aku akan meninggalkanmu dan kembali ke pesta karena pasti banyak orang mencariku saat ini." Indira pun segera melangkah ke arah pintu, tapi sebelum ia keluar, Indira mematikan semua lampunya sampai Hanna tersentak kaget. "Bu Indira ... lampunya ...." "Yang kau butuhkan hanya benihnya, dia tidak perlu melihat wajahmu!" ucap Indira, sebelum wanita itu keluar dan menutup pintunya rapat-rapat. Hanna sam
Louis benar-benar mematung sejenak merasakan perawan untuk pertama kalinya. Pertahanan Hanna sulit ditembus, sangat berbeda dengan Indira ketika mereka melakukan malam pertama.Napas Louis memburu. Sensasi yang baru saja ia rasakan seolah membekukan otaknya sesaat. Mustahil wanita murahan seperti Hanna masih perawan!Hanna sendiri sudah meneteskan air matanya karena rasa sakit yang menyiksa yang mencabik-cabik dirinya, tapi ia tidak bisa membiarkan Louis berhenti sampai ia berhasil mendapatkan benih pria itu. "Jangan berhenti, Pak! Kumohon..." lirih Hanna dengan tidak tahu malu. Louis ingin sekali mengumpati Hanna. Sisa kewarasannya pun mendesak ia mengakhiri semua--hentakan ini. Tapi sial! Ia sudah terlanjur masuk terlalu jauh. Tubuhnya sudah tenggelam dalam gairah yang tidak bisa dihentikan. Dan saat ia sudah berhasil menembusnya, ia tidak bisa berhenti begitu saja."Ini semua salahmu, Hanna!"Dan, memenangkan hasrat kelelakiannya, Louis melanjutkan gerakannya yang tadi sempat te
Indira masih duduk sendirian di ruang tamu rumahnya pagi itu. Rumahnya begitu sepi karena Louis belum pulang. Tentu saja Indira tahu di mana suaminya berada. Ya, Louis menghabiskan malam bersama Hanna. Bukan hal yang menyenangkan bagi Indira, tapi ini adalah rencananya sendiri. Jika ingin mendapatkan keturunan, Indira harus menyingkirkan egonya dan menerima kenyataan bahwa suaminya akan berbagi ranjang dengan wanita lain.Indira pun masih hanyut dalam lamunannya sendiri saat ponselnya berbunyi dan Indira langsung mengangkat telepon dari Hanna itu. "Bu Indira, aku sudah berhasil tidur dengan Pak Louis. Karena itu, bolehkah aku mendapatkan uang yang Anda janjikan?" Suara Hanna sedikit bergetar, tapi Indira tersenyum puas mendengarnya. "Bagus, Hanna! Aku juga sudah tahu kalau kau berhasil melakukannya semalam. Dan tentu saja aku bukan orang yang ingkar janji. Aku akan memberikan uangnya." Mendengar suara tegas Indira, Hanna pun bernapas lega. Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama
"Aku tidak bisa, Bu," tolak Hanna tanpa berpikir panjang. "Aku punya rumah dan adik yang tinggal bersamaku, aku tidak bisa meninggalkannya." "Adikmu masih di rumah sakit, sudah banyak yang menjaganya. Lagipula ini juga perintah, Hanna! Aku tidak sedang bertanya kau mau atau tidak!" tegas Indira. Dan sialnya, Hanna tidak pernah bisa menolak perintah Indira karena Indira selalu memaksa. Hanna pun berakhir dengan berbaring di tempat tidur yang asing malam itu, menatap langit-langit kamar tamu yang terasa begitu dingin dan sunyi.Hanna tidak ingin ada di sini. Ia tidak ingin tinggal serumah dengan Louis dan Indira.Hanna menghela napas panjang, menekan rasa frustrasinya.Bagaimana bisa ia tinggal di rumah pria yang begitu membencinya?Bagaimana bisa ia tidur nyenyak di tempat ini sementara setiap tatapan Louis padanya penuh dengan kemarahan dan penghinaan?Sementara itu, Louis akhirnya pulang ke rumah begitu larut dengan perasaan yang sangat buruk. Louis sengaja pergi karena Indira mema
Louis dan Hanna masih sama-sama mematung dengan debar jantung yang berkejaran. Keduanya sama-sama terpengaruh dengan kedekatan mereka. Namun, Hanna tersadar duluan dan langsung memalingkan wajahnya. "M-maafkan aku, Pak," ucap Hanna yang langsung bergerak menegakkan dirinya. Louis sendiri tersentak. Untuk sekian detik, sungguh Louis sempat berpikir untuk mencium Hanna lagi, tapi untung saja suara Hanna menyadarkannya dari kekhilafannya. Tanpa aba-aba, Louis pun melepaskan pelukannya dari Hanna dengan kasar sampai Hanna kembali terhuyung. Untungnya, Hanna langsung berpegangan pada meja di sampingnya. "Jadi ini modusmu lagi, hmm? Menyodorkan dirimu agar aku memelukmu? Aku tidak habis pikir dengan semua cara murahanmu ini, Hanna! Kau benar-benar tidak tahu malu!" Hanna menahan napasnya sejenak. Hanna bukan wanita lemah yang hanya bisa pasrah saat dihina dan direndahkan. Hanna pun sudah terus menahan dirinya menghadapi semua hinaan Louis padanya. "Apa hanya ada hal buruk tentang aku
"Kau menghilang di pesta kemarin dan aku tidak bisa meneleponmu, Hanna! Terpaksa aku yang melayani Bu Indira di sana." Susan, teman sekantor Hanna langsung menyambut Hanna begitu ia tiba di kantor pagi itu. Hanna berangkat terlalu siang sampai ia tidak sempat mampir ke rumah sakit lagi. "Maafkan aku, aku ada urusan mendadak waktu itu," sahut Hanna beralasan karena Susan juga tidak tahu tentang pernikahannya. "Setidaknya kau harus memberitahuku agar aku tahu harus melakukan apa, Hanna.""Baiklah, maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya." "Hmm, ya sudah. Eh, tapi kau tahu kalau malam itu Pak Louis juga menghilang? Banyak sekali yang menanyakan Pak Louis karena Bu Indira menyambut tamunya sendiri." Hanna memaksakan senyum dan tidak menjawabnya. Susan pun terus mengoceh sendiri dan Hanna hanya mendengarkan omelan temannya itu, sebelum mereka melanjutkan pekerjaan mereka hari itu. Hanna pun bisa bernapas lega karena Indira tidak ke kantor hari itu. Saat jam makan siang, Hanna juga b
"Indira! Indira! Sial! Itu benar-benar Indira!" geram Louis yang sudah mengepalkan tangannya penuh amarah. Ya, foto wanita di ponsel itu adalah foto Indira, wanita yang sama sekali tidak disangka oleh semua orang."Ya Tuhan, ini tidak mungkin! Tidak mungkin Indira tega melakukan itu, Xander!" seru Sena. "Itu Kakak Jahat!" pekik Gio juga. Sena pun akhirnya mengajak Gio keluar dari kamar agar ia tidak mendengar apa pun. Namun, ketegangan tetap dirasakan oleh semua orang, terutama Hanna yang hanya bisa terus menangis. Sebenci itukah Indira padanya kini sampai mantan bosnya itu ingin Hanna keguguran dan tidak bisa hamil lagi? Semua orang masih terlalu syok, tapi Tama yang melihat ekspresi mereka malah mengernyit. "Apa kalian mengenal wanita ini? Jadi aku tidak salah target? Wanita itu memang menginginkan Hanna keguguran?" Tatapan Tama goyah. "Tapi ... Indira ... itu nama yang kau sebutkan tadi kan?" Tama menatap Louis sejenak, sebelum ia kembali menatap Hanna. "Bukankah Indira itu
Suasana seketika hening saat Tama dan Hanna bertatapan di sana. Sampai saat Tama mengatakan sesuatu yang membuat Louis kembali meradang. "Maafkan aku, Hanna! Aku bersumpah aku tidak tahu itu kau! Aku ...." Belum sempat Tama menyelesaikan ucapannya, tapi Louis langsung maju lagi. Louis meraih kerah kaosnya sampai Tama berjinjit di hadapan Louis. "Apa maksudmu? Kau sengaja mau menabrak Hanna kan? Aku sudah mendengar ceritanya! Para saksi mata bilang motormu melaju lurus ke arah Hanna!" geram Louis penuh amarah. "Kau mau membunuh adik kandungnya sendiri, hah?" Semua orang sudah menahan napasnya kaget dengan kenyataan itu, sedangkan Hanna sudah bercucuran air mata mengingat kejadian mengerikan tadi. "Kau pria yang mengemudikan motor itu kan? Kau pelakunya kan? Kau harus ikut aku ke kantor polisi, Brengsek! Aku akan menjebloskanmu ke penjara! Dasar brengsek!" Buk!Tanpa bisa dicegah, Louis melayangkan tinjunya ke pipi Tama sampai Tama terhuyung dan menabrak meja. Kakinya belum kuat
Tama membuka matanya siang itu. Ia sempat pingsan selama hampir satu jam, sebelum akhirnya ia sadar. Kakinya yang robek sudah dijahit dan ia masih berada di ruang perawatan. Awalnya, tidak ada yang tahu bagaimana menghubungi keluarga Tama karena tidak ada yang mengenalnya. Namun, begitu sang sopir bercerita pada Sena bahwa Tama sempat menggendong Hanna untuk menolongnya, Sena pun langsung menanggung administrasi Tama, walaupun saat itu, belum ada yang tahu nama Tama. "Bu, pasiennya yang pingsan sudah sadar." "Ah, baiklah! Ayo kita lihat!" Sambil menunggu Louis yang masih menjenguk Hanna, Sena pun menuju ke kamar Tama, sedangkan Gio dititipkan pada Xander. "Di mana aku? Di mana ini?" Tama masih lemah dan linglung. "Anda ada di rumah sakit, Pak. Robek di kakinya juga sudah dijahit. Ada memar di dada dan di bagian lain, Anda butuh banyak istirahat." Secara ajaib, luka Tama tidak ada yang berakibat fatal, walaupun Tama tetap harus menjalani pemulihan yang tidak sebentar. Tama masi
"Bu Sena, Bu Hanna jatuh setelah ditabrak sepeda motor!" Sopir Sena langsung menelepon Sena begitu ia tiba di rumah sakit dan Sena pun langsung membelalak kaget mendengarnya. Keluarga Sena sendiri baru saja pulang dari rumah Hendra. Mereka terlibat pembicaraan yang cukup serius tentang hubungan Louis dan Indira, tapi mereka sudah sepakat tidak akan terlalu ikut campur. Biarkan anak-anak mereka bertanggung jawab atas hubungan mereka sendiri. Sena dan Xander pun naik satu mobil, sedangkan Louis membawa mobilnya sendiri, mobil yang berbeda. Sena pun begitu panik mendengar laporan sang sopir. "Apa, Pak? Di mana kejadiannya? Bagaimana Hanna? Kalian di mana sekarang?" Sang sopir segera memberitahu rumah sakitnya dan Sena meminta Xander segera menyusul ke rumah sakit. "Cepat, Xander! Ya Tuhan, semoga Hanna baik-baik saja!" "Sabar, Sayang! Kita berdoa saja!" seru Xander yang langsung melajukan mobilnya makin cepat ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Sena sendiri menelepon Louis dan Loui
Hanna masih mengobrol santai dengan sopir di mobilnya saat ia melihat jam dan jam pulang sekolah Gio sudah tiba. Biasanya Gio akan melangkah sumringah sambil membawa tas ranselnya dan Gio akan selalu tertawa senang melihat Hanna. Hanna pun akhirnya keluar dari mobil dan melangkah ke arah gerbang sekolah. Namun, sebelum ia tiba di gerbang, mendadak suara mesin sepeda motor terdengar sangat berisik dan laju motor yang begitu cepat terdengar di belakangnya. Sontak Hanna menoleh dan jantung Hanna pun langsung memacu kencang melihat motor yang memang sedang melaju kencang ke arahnya. Untuk sesaat, Hanna membelalak lebar dan kakinya mendadak kaku. Dalam kepanikannya, Hanna blank, ia harus menghindar atau tetap di tempatnya. Entahlah, Hanna panik, sangat panik, apalagi motor itu terlihat sengaja akan menabraknya. Sampai tidak lama kemudian, ia mendengar suara pria, seperti suara Tama. "Tidak! Hanna! Minggir!" Hanna masih membeku di tempatnya, tapi ia langsung berteriak saat ia pikir
"Aku dan Indira sudah tidak menemukan tujuan yang sama dalam pernikahan ini, Ayah." Louis menepati janjinya untuk bicara dengan Hendra pagi itu. Bukan hanya Louis, tapi Xander dan Sena ikut datang ke rumah Hendra untuk bertemu dengan besannya itu. Tidak hanya Hendra yang ada di sana, tapi juga Linda dan Indira. Tadinya Indira tidak mau datang, tapi Hendra tidak bisa dibantah. Hendra meminta orang menjemput dan memaksa Indira datang. Itulah pertama kalinya Hendra melihat anaknya yang bisa berdiri tegak, tidak lumpuh lagi seperti yang ia tahu selama ini. Indira pun sudah siap membela diri kalau Louis menjelekkannya di depan Hendra, tapi Louis sama sekali tidak mengatakan apa pun pada Hendra. Hendra sendiri bertanya-tanya, tapi ia terus terkejut melihat anaknya itu mendadak bisa berdiri tegak. "Ada apa ini, Louis? Ayah tahu kau adalah pria yang gentle, mungkin kau mau menyembunyikan keburukan anak Ayah, tapi Ayah juga perlu tahu apa yang dia lakukan kan? Apa ini ada hubungannya deng
Indira masih menatap pria frustasi di hadapannya sambil tersenyum tipis. Postur pria itu tinggi besar, wajahnya cukup tampan, kulitnya putih, tapi rambutnya acak-acakan, dan penampilannya tidak terawat. Pria itu sendiri sudah memicingkan mata menatap Indira, ia mengernyit sambil menyimpan kembali ponselnya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Kau bicara denganku?" tanya pria itu. "Ya, aku mendengarmu menelepon dan aku tahu kau butuh pekerjaan. Aku bisa memberimu pekerjaan dengan bayaran yang tinggi." Tatapan pria itu langsung berbinar-binar. Ia tersenyum sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Untuk sesaat, sosok itu terlihat lebih tampan saat rambutnya ditata lebih rapi. "Hmm, baiklah, aku tanya dulu, apa kau ini sejenis ... Tante Girang, hah?" "Apa maksudmu Tante Girang, hah?" pekik Indira sambil membelalak kaget. "Ah, haha, tidak! Kau terlihat seperti wanita kaya yang haus belaian!" Indira menahan napasnya sejenak mendengar ucapan pria tidak tahu sopan santun itu.
"Hanna!" Hanna mematung kaget melihat Sena dan Adrianna sudah berdiri di depan pintu rumahnya pagi itu setelah ia mengantar Gio ke sekolah. "Tante Sena! Bu Adrianna!" "Panggil aku Kak saja, Hanna! Tidak usah memanggilku Bu lagi," seru Adrianna dengan nada yang melembut. "Ah, itu ...." Belum sempat Hanna menjawabnya, mendadak Sena sudah maju untuk memeluknya. "Menantuku ... Hanna ...," ucap Sena sambil memeluk Hanna begitu hangat. Hanna kembali mematung dan tidak tahu harus melakukan apa, membalas pelukan Sena atau melepaskannya karena ia tidak pantas dipeluk. "Tante Sena, ini ...." "Panggil Mama saja! Kau menantu Mama, Hanna." Tatapan Hanna langsung berkaca-kaca mendengarnya. Jantungnya memacu kencang dan ia tidak menyangka pada akhirnya pernikahannya dengan Louis akan diketahui orang banyak. Apa Louis yang menceritakannya? Hanna makin tegang memikirkannya. Namun, Sena yang melepas pelukannya pun langsung membelai kepala Hanna dengan sayang. "Louis sudah menceritakan semu
"Aku akan menceraikan Indira." Louis akhirnya pulang ke rumah orang tuanya. Ya, tempat yang paling nyaman adalah keluarga. Saat Louis sedang punya masalah dengan Indira, sebisa mungkin Louis tidak mencari keluarganya karena ia tidak ingin membebani mereka. Louis melarikan diri dengan alkohol dan terus bersikap baik-baik saja. Namun, saat masalahnya sudah sebesar ini, tidak ada tempat lain yang bisa ia tuju, selain keluarganya. Sesukses apa pun dirinya, sebanyak apa pun orang yang bisa menghibur dan mendukungnya, Louis tetap membutuhkan orang tuanya, keluarganya. Xander dan Sena yang ada di rumah sore itu pun mematung mendengar ucapan Louis. Begitu juga dengan Adrianna yang saat itu ada di sana. "Apa yang kau katakan, Louis? Indira sedang lumpuh dan kau malah ingin menceraikannya? Pria macam apa kau, Louis? Papa tidak membesarkanmu untuk menjadi pria brengsek seperti ini!" geram Xander yang langsung bangkit berdiri dari kursinya saking marahnya. "Sabar, Xander! Sabar! Anakku tida