"Mana Kak Tama? Kartu Kak Hanna sudah dikembalikan?"
Gio menatap cemas pada Hanna yang akhirnya kembali ke kamarnya. Hanna yang sudah biasa menahan perasaannya pun mengangguk.
"Sudah dikembalikan sama Kak Tama," dusta Hanna menenangkan Gio.
"Syukur, Kak. Kalau kartunya belum dikembalikan, bagaimana mau bayar rumah sakit."
Hanna ingin menangis lagi mendengarnya, tapi ia hanya mengacak ringan rambut adiknya itu.
"Bagaimana membayar rumah sakit itu bukan urusanmu, Gio. Itu urusan Kak Hanna. Tapi karena sudah malam, kau tidur dulu ya. Kakak lupa Kakak masih ada urusan."
"Tapi Kakak kan baru datang. Temani Gio tidur dulu!"
Hanna terdiam sejenak. Hanna benar-benar harus mencari Tama, tapi Hanna juga tidak tega meninggalkan Gio. Hanna pun akhirnya tersenyum singkat dan mengangguk.
"Tentu! Kakak akan menemani Gio tidur dulu baru Kakak pergi ya."
Gio mengangguk patuh dan segera berbaring di ranjangnya. Hanna pun menatap teman sekamar Gio di sana dan menunduk sopan.
Gio dirawat di kamar yang berisi beberapa pasien dalam satu kamar. Kebetulan hari itu, yang terisi hanya dua ranjang.
Sambil menatap langit-langit kamar, Gio terus mengerjapkan matanya, tapi bukannya tidur, Gio malah bercerita.
"Kakak tahu, kemarin teman Gio bisa lari lima putaran lapangan sekolah. Cepat sekali seperti flash. Gio lari satu putaran sudah mau pingsan," seru Gio dengan polosnya.
"Kalau Gio rajin minum obat, Gio juga bisa lari seperti flash ya? Biar nanti Gio bisa kejar Kak Tama kalau Kak Tama lari-lari ...."
Hati Hanna miris mendengarnya. Di umurnya yang sudah sembilan tahun, Gio sudah mengerti banyak hal. Gio juga sudah mengerti bahwa ia punya sakit jantung yang membuatnya mudah lelah.
Namun, Gio tidak benar-benar paham betapa bahaya penyakitnya dan Gio juga masih ada di umur yang sangat antusias untuk terus bergerak aktif serta mencoba banyak hal.
Itulah yang membuat Hanna berusaha keras, sangat keras untuk membuat Gio bisa merasakan masa kecil yang normal dan bahagia seperti anak lainnya.
Hanna pun membelai sayang kepala adiknya itu dan mendaratkan kecupan sayang di dahinya.
"Bisa, Sayang. Bisa. Gio pasti bisa lari kencang seperti flash. Bahkan, besok besar, Gio bisa menjadi atlet lari."
Tatapan Gio berbinar-binar. "Lari putar lapangan sepak bola seperti di YouTube!"
Hanna mengangguk. "Tentu, Sayang! Tentu! Tapi sekarang Gio tidur dulu ya agar tenaga Gio cepat pulih dan Gio cepat sembuh."
"Okee, Kak!" sahut Gio yang langsung memejamkan matanya dan begitu cepat terlelap.
Hanna menghapus air matanya, tidak ada waktu untuk menangis lagi dan Hanna pun segera pergi dari rumah sakit menuju ke sebuah klub malam di sudut kota, klub malam elit tempat Tama biasa menghabiskan uangnya.
Hanna masuk ke klub itu dan ia pun langsung disambut oleh suara musik yang sangat keras, pencahayaan yang remang-remang, dan suasana yang sama sekali tidak Hanna sukai.
Bahkan jeduk jeduk musik di sana membuat jantung Hanna makin menghentak tidak karuan, tapi ia tetap harus mencari Tama karena Tama membawa semua uang yang ia punya.
"Gelap sekali! Bagaimana aku bisa menemukan Tama di sini?"
"Semoga aku menemukannya, ya Tuhan! Aku benar-benar tidak tahu harus mencari di mana kalau dia tidak di sini!"
Hanna melangkah sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
"Maaf, permisi!" ucap Hanna tanpa henti setiap kali ia menabrak seseorang.
Hanna pun terus melangkah sampai akhirnya ia melihat sosok pria yang ia cari. Pria tinggi dengan pakaian kasualnya yang acak-acakan. Tama terlihat sedang minum sambil tertawa bersama beberapa pria lainnya dan kemarahan Hanna pun membuncah melihatnya.
Tanpa mempedulikan apa pun, Hanna menghampiri Tama dan menarik tubuh Tama menghadap ke arahnya.
"Kembalikan uangku, Sialan!" geram Hanna cukup keras sampai beberapa orang langsung menoleh menatapnya.
Beberapa teman Tama pun kaget, tapi mereka langsung saling melirik melihat wanita cantik di samping Tama.
"Wow, apa kau tidak mau mengenalkan wanita cantik ini pada kami, Tama?"
Tama sendiri kaget melihat Hanna, tapi ia langsung mengibaskan tangannya.
"Jangan yang ini! Yang ini macan galak! Minggir dulu! Biar aku yang mengatasinya!"
Teman Tama hanya tertawa, sebelum mereka pergi meninggalkan Tama, sedangkan Tama langsung menatap adiknya itu.
"Aku tidak percaya kau menyusulku sampai ke sini, Hanna! Bukankah kau adalah wanita yang paling suci yang tidak mau masuk ke tempat seperti ini, hah?"
"Jangan banyak bicara! Kembalikan uangku dan kartu ATM-ku! Di mana hatimu, hah? Gio sedang ada di persimpangan hidup dan mati setiap kali penyakitnya kambuh, tapi kau malah membawa pergi semua uang yang sudah kutabung untuknya!" bentak Hanna yang suaranya tertelan oleh kerasnya musik di sana.
"Hei! Hei! Bukan hanya Gio yang butuh uang, aku juga kakakmu! Mengapa kau hanya peduli pada Gio?"
"Kakak? Kau ingat kalau kau kakakku? Seharusnya kau yang berjuang untukku, bukan hanya bisa menyusahkan aku! Dan apa? Kau butuh uang? Cari saja sendiri! Bekerja sana! Jangan hanya tahu menghabiskan uang dengan cara seperti ini! Kau hanya beban keluarga!"
"Jaga mulutmu, Hanna! Kau mau kutampar, hah? Tapi sial! Baiklah, uangnya sudah habis jadi aku hanya akan mengembalikan kartumu! Aku masih pengertian dengan tidak mengambil semuanya, tapi aku mau berpesan padamu, jangan bodoh, Hanna! Mana ada orang jaman sekarang yang masih memakai tanggal lahir sebagai pin ATM? Itu terlalu mudah."
Tatapan Hanna goyah mendengarnya. Ya, memang Hanna adalah wanita bodoh yang masih sangat jadul. Namun, ia menolak dihina oleh kakaknya itu.
"Itu bukan urusanmu, Dasar Pria Brengsek!"
"Ck, kau benar-benar macan menyebalkan! Tapi baiklah, ambil kembali kartumu, Adikku Sayang!"
Tama memberikan kartu Hanna dan Hanna langsung meraihnya kasar. Tama pun tersenyum miring sambil menarik tengkuk Hanna lalu mendaratkan bibirnya ke pelipis Hanna sampai Hanna menarik mundur kepalanya dengan jijik.
"Dasar menjijikkan! Jangan menyentuhku!"
"Itu tandanya aku menyayangi adikku kan? Terus hasilkan banyak uang untukku juga ya! Sampai jumpa!"
Tama melambaikan tangannya dan langsung melangkah santai pergi dari sana bersama teman-temannya sampai Hanna hanya bisa menatap punggung itu dengan begitu lelah.
"Sial! Pergi saja dari hidupku kalau kau hanya bisa menyusahkan aku, Tama! Brengsek!" geram Hanna tertahan.
Hanna pun langsung menyimpan kartunya dan berniat pergi dari sana saat mendadak suara seorang pria terdengar. Suara berat yang membuat debar jantung Hanna memacu makin tidak karuan.
"Baru saja menikah tapi kau sudah selingkuh dariku, Hanna?"
**"Wedding kiss yang heboh sekali. Haha. Sekali lagi selamat untuk kalian, Refi dan Susan." "Haha, Susan ini membuatku malu. Dia menciumku heboh sekali!" protes Refi. "Tapi kau juga suka kan?" Susan tersenyum gemas. Semua yang mendengarnya terkikik. Semua orang memberikan selamat sekali lagi pada Refi dan Susan setelah pemberkatan nikah berakhir. Mereka lanjut menjamu para undangan makan bersama. Refi pun membawa Susan bersamanya untuk dikenalkan pada semua anggota keluarganya. Begitu juga Susan melakukan hal yang sama. Louis juga menemani Refi menyapa beberapa klien yang diundang. Mereka begitu sibuk dengan tawa dan obrolan yang hangat. Sementara Tama sendiri sudah gelisah menatap sekelilingnya. Elva juga diundang, tapi sampai pemberkatan nikah selesai, wanita itu belum muncul juga. Tanpa ia ketahui, Elva masih menjadi Cassa dan ia harus live tadi saat pemberkatan nikah dilakukan. Selesai live, Cassa pun langsung berdandan dengan gaunnya. Ia tidak sempat mengeriting rambutnya d
"Jangan dengarkan ucapan Gio, dia suka ngawur." Tama mendadak salah tingkah di depan Elva, padahal Elva tidak bertanya apa-apa. Gio pun tidak pernah menyebut nama Elva. Elva sendiri hanya mengangguk malu. "Tidak apa, Pak. Tapi aku baru tahu ternyata Anda lucu sekali, padahal di kantor, Anda terlihat menyeramkan." "Ah, bukankah kita tidak boleh menilai seseorang dari penampilannya kan? Ya begitulah aku!" Elva mengangguk dan kembali tersenyum. Baru saja Tama ingin bicara lagi, tapi Gio sudah berlari menghampiri Elva. "Kak Elva, ayo main sama Gio!" "Eh, mau main apa, Gio?" "Ayo temani Gio saja!" Gio langsung menarik Elva bersamanya sampai Tama rasanya kecewa sendiri melihat Gio mengambil Elva darinya. "Dasar anak kecil sialan! Tidak lihat apa aku sedang mengobrol dengan Elva?" gumam Tama kesal. Namun, mendadak Tama mematung lagi melihat bagaimana reaksi Elva saat menemani Gio bermain. Elva berlari kecil saat Gio memintanya berlari. Elva tertawa saat Gio tertawa. Elva juga ber
"Ajak Elva ke pesta di rumah baruku hari Minggu besok, Tama." "Apa? Untuk apa aku mengajak Elva?" "Biar lebih ramai.""Keluargamu saja sudah terlalu ramai, Samuel. Tidak usah mengajaknya!" Beberapa hari sudah berlalu sejak Samuel kembali bekerja dan Samuel makin melihat kedekatan Tama dengan Elva. Sebagai seorang sahabat, Samuel pun berusaha makin mendekatkan mereka karena memang sudah waktunya Tama mendapatkan pasangan. Hanna sendiri juga terus meminta Samuel mengenalkan wanita untuk Tama. "Hei, aku yang punya pesta dan aku mau mengundang Elva, jadi kau harus datang membawanya besok." "Ya ampun, kau ada-ada saja, Samuel!" Tama mengomel, tapi jantungnya juga berdebar kencang karena untuk pertama kalinya, keluarga Samuel yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri akan melihat Elva. Tapi baiklah, Tama akan mengenalkan Elva sebagai asistennya. Toh, sama seperti Refi yang juga selalu ikut Louis dalam setiap acara keluarga. Tama pun mencari waktu siang itu dan mengajak Elva b
"Akhirnya kau pulang juga, Samuel!" "Apa kabar, Tama? Haha!" "Semuanya baik. Apa kabar, Nadine?" "Baik juga. Tapi silakan mengobrol, aku akan meninggalkan kalian di sini." Tama akhirnya baru sempat datang ke rumah Samuel malam itu untuk menyambut sahabatnya itu. Nadine pun meninggalkan keduanya di pinggir kolam renang untuk mengobrol bersama. "Jadi bagaimana pekerjaan dan proyel-proyek kita?" "Semuanya sangat lancar. Aku sudah menyiapkan semua laporannya agar kau bisa memeriksanya besok." "Kau memang yang terbaik, Tama." "Tapi kalau ada waktu, aku mau mempertemukanmu dengan teman-temanku yang mendadak mendapat hidayah dan ingin bekerja halal." "Teman-temanmu yang dulu itu? Wow, itu hebat sekali, Tama. Tentu saja aku mau bertemu mereka. Aku yakin mereka sama hebatnya denganmu, hanya mereka belum menemukan jalannya yang tepat." "Ya, aku juga lega sekali mendengarnya. Dan semoga mereka bisa berhasil juga." "Itu pasti! Nanti kita akan atur jadwalnya. Lalu bagaimana dengan Elva,
Tama memimpikan Elva malam itu. Asisten cantiknya itu berdiri di depannya tanpa kacamata, tanpa rambut keriting, dan tanpa bintik-bintik di wajahnya. Elva tersenyum padanya sampai membuat jantung Tama berdebar begitu kencang. Wanita itu terus mendekat dan mendekat, lalu memeluk leher Tama. Jantung Tama pun makin berdebar kencang saat wanita itu memajukan bibirnya. Elva akan menciumnya. Tama harus menerima atau menolak. Di satu sisi, Tama bosnya Elva. Tapi di sisi lain, Tama juga menginginkannya. Tama tidak bisa berpikir, tapi ia memejamkan matanya. Persetan dengan bos dan asisten, Tama ingin mencium Elva juga. Tama pun memejamkan matanya dan akhirnya memajukan bibirnya lalu mereka berciuman begitu heboh. "Kak Tama! Kak Tama! Mengapa menciumi guling? Kak Tama!" Suara teriakan Gio langsung membuat Tama tersentak kaget dan membelalak. "Apa? Apa? Ada kebakaran? Mengapa harus berteriak?" omel Tama kaget. "Apa yang kau lakukan di sini, Anak Kecil?" tanyanya lagi saat melihat Gio ber
Sejak makan siang berdua, Tama benar-benar melihat Elva dengan cara berbeda. Ia sudah tidak pernah mengatai asistennya itu jelek. Malahan, tatapan Tama tidak pernah berhenti mencari Elva sepanjang hari. Terkadang saat rapat, tatapan mereka akan diam-diam bertemu. Saat sedang makan siang dengan klien pun, Tama selalu berusaha mencuri pandang pada Elva. Bahkan, tidak terhitung berapa kali Tama membuat alasan agar ia bisa berdua saja dengan asistennya itu. Begitu juga Elva yang makin jatuh cinta pada Tama dan mulai lebih berani menunjukkan rasa tertariknya. Seperti sore itu, saat Elva mengetuk pintu ruangan Tama untuk mengantarkan kopi. "Selamat sore, Pak. Aku mengantarkan kopi untuk Anda." Tama sampai kaget sendiri. "Mengapa kau yang mengantarkan kopinya ke sini?" Elva mengulum senyumnya tersipu. "Kebetulan aku melihat office girl sedang sibuk. Karena itu, aku yang membuatkan kopinya.""Bahkan kau juga yang membuat kopinya?" Tama menganga tidak percaya, tapi ia benar-benar ingin